11. Blow Up

2033 Words
"Cukup!" *****   Edwin Benarkah apa yang kukatakan tadi? Apakah itu benar? Aku mencintainya? Tapi sejak kapan? Aku tidak pernah menyukainya apalagi mencintainya, aku hanya mengikuti alur pertunangan ini. Semuanya. Tanpa terkecuali. Itu adalah murni karena aku ingin melihat mommy-ku bahagia. Tapi... kenapa aku mengucapkan kalimat itu di luar kesadaranku hanya karena terbawa suasana dan euforia ciuman yang... ah lupakan! Bagaimana jika aku yang pergi meninggalkan kehidupan ini? Sial! Kenapa kalimat itu selalu terngiang dikepalaku?! Aku ingin mengakhiri semuanya dengan baik jika waktunya telah tiba, aku akan mengakhiri permainan ini dan hidup dengan bebas. Alleta Sylvannya. Ya, Alleta. Hanya Alleta yang ada dihatiku. Bukan yang lain. Tapi pikiran kotormu selalu membayangkan kelembutan bibirnya 'kan, bodoh Menyebalkan! Ada apa denganku! ***** Arsenia mengernyitkan dahinya melihat keadaan ruang makan yang kosong. Ia melirik ke arah jam dinding berukiran klasik di ruang tersebut. Aneh, sudah jam 7 malam kenapa masih sepi? Ke mana semua orang? Pikirnya. Cklek Matanya tertuju pada pintu yang telah berayun terbuka. Seketika wajahnya merona melihat Edwin yang dengan tampannya memasuki ruang makan, ia teringat akan ciuman mereka tadi sore. Dan Arsenia sangat bahagia mengetahui Edwin juga mencintainya. Kening pria tersebut berkerut melihat suasana kosong ruang makan. "Ke mana semua orang?”, tanyanya. "Entahlah, aku juga baru sampai di sini”, jawab Arsenia. Edwin memalingkan tatapannya ke arah lain dan hal itu membuat dahi Arsenia kembali berkerut. Dilihatnya pria itu melangkahkan kakinya ke arah pintu lain di ruangan tersebut. "Kau mau ke mana?”, tanya Arsenia "Bukan urusanmu" Diam. Seketika Arsenia terdiam mendengar jawaban ketus dari Edwin. Bukankah harusnya ia bersikap lebih lembut setelah pernyataan tadi sore? Kenapa ia kembali bersikap seperti itu? Apakah semua itu hanya ucapan manis dimulutnya saja? Gadis itu menahan air matanya dengan sekuat tenaga. Rasanya malu. Malu sampai-sampai rasanya ia ingin pergi dari mansion itu sekarang juga. Ia kehilangan kepercayaan dirinya melihat Edwin yang sama sekali tidak terlihat seperti orang yang mencintai pasangannya. "Permisi, nona Arsenia" Seorang pelayan menghampiri Arsenia dengan sopan. "Iya, ada apa?”, tanya Arsenia. "Makan malam hari ini diadakan di halaman belakang mansion, tuan dan nyonya membuat pesta api unggun di halaman belakang”, jawabnya. "Api unggun?", ulang Arsenia. Pelayan itu mengangguk. "Apa Edwin sudah di sana?" tanya Arsenia. "Iya nona, semua sudah berkumpul di sana. Hanya nona Arsenia yang belum bergabung. mari saya antar" "Tidak perlu, aku sudah tau jalan ke halaman belakang. Terima kasih sudah memberitahuku”, ucap Arsenia lalu melangkahkan kakinya ke arah pesta tersebut. Kau membuatku bingung, Ed. ***** "Arsenia, ayo sini”, panggil Alleta saat melihat Arsenia keluar dari pintu belakang mansion. Gadis itu tersenyum, ia melirik ke arah Edwin yang sama sekali tidak memedulikan kehadirannya. Sialnya, ia duduk berhadapan langsung dengan pria itu. Dan Edwin tetap mengacuhkan kehadirannya. "Ekhem, baiklah.. karena semua sudah berkumpul, aku dan Alleta ingin menyampaikan sesuatu”, ucap Edward. "Apa itu, Son?", tanya Elena. Edward dan Alleta saling bertatapan dan tersenyum penuh perasaan. Dan hal itu membuat Arsenia tersenyum lirih melihat kebahagiaan yang mungkin tidak akan didapatkannya dengan Edwin. "Jumlah keluarga kita akan bertambah, Alleta tengah mengandung anak kami yang kelima”, lugas Edward dengan wajah yang sangat berseri. Sontak suasana menjadi riuh mendengar berita tersebut. Arsenia menatap Edwin yang membeku seketika mendengar kabar tersebut, wajah pria tersebut memerah lalu dengan cepat ia menerbitkan senyum cerahnya. Ia memeluk Edward dan mengucapkan selamat kepada pasangan itu. Arsenia berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum kepada Alleta. "Akhirnya ada kabar bahagia lagi dari kalian, mom sangat senang”, seru Elena. George ikut tersenyum dan merangkul istrinya dengan mesra. Rasa canggung menyeruak di sekitar Arsenia, sungguh ia hanya ingin pergi dari mansion ini dan menghilang. "Ekhem, sekarang tinggal Edwin dan Arsenia",saut George. "Maksud daddy?",tanya Edwin. "Yaa.. kapan kalian memberi kami cucu?”, tanya George. "WHAT'S!?",Seru Edwin. Arsenia hanya terdiam seraya mencerna pertanyaan George. Memberi kami cucu? Kami.. cucu..? Itu berarti.. Oh! Pikir Arsenia. Sontak wajahnya memanas, ia sangat malu saat ini. "Hahaha, dad.. mereka harus menikah dulu baru memberi kalian cucu”, celetuk Edward. "Kalau begitu dipercepat saja”, seru Elena. "Maaf, saya permisi ke toilet”, sanggah Arsenia dan langsung beranjak pergi meninggalkan obrolan yang menurutnya menyebalkan. Ia berjalan masuk ke arah dapur, ia butuh air. Sekarang. Suasana dapur sangat sepi, ia bersandar pada meja marmer kokoh sambil menegak air. Kepalanya terasa pening, ia tertawa kecil. Menikah katanya? Hahaha.. nikahkan aku dengannya lalu dalam beberapa bulan aku akan mati entah bunuh diri ataupun dibunuh olehnya yang hanya memikirkan iparnya, ejek Arsenia dalam hatinya. Ia kembali mengisi gelas yang sudah kosong tersebut, lalu menegaknya habis kembali sampai ada sedikit air yang mengalir ke dagunya. "Kau kenapa?" Lagi-lagi ia tersentak dengan kehadiran orang lain yang tidak disadarinya. Namun ia berhasil mengontrol mimik wajahnya agar tetap tenang. Ia melirik Edwin dengan sedikit jengah. "Bukan urusanmu”, balasnya. Pria itu menahan marah mendengar Arsenia membalikkan kata-katanya tadi. "Kau marah kepadaku?”, geramnya. Arsenia hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Untuk apa kau kesini? Ah.. pasti karena takut dinilai buruk di depan keluargamu ya? Aku ingat itu", sarkas Arsenia. Dengan sigap Edwin berjalan mendekatinya dan... Plak! Edwin menatap nyalang pada Arsenia. "Apa maksudmu menamparku, Arsenia!?",bentak Edwin. "Tadi siang aku sudah minta diingatkan untuk menamparmu kan? Apa katamu tadi? Kau mencintaiku, oh! Bukan, ini pertunangan konyol kan? Bagaimana kalau kita selesaikan saja sesuatu yang kau sebut dengan pertunangan konyol ini? Aku akan dengan senang hati menerima hmmft" Ucapannya terhenti dikala Edwin telah melumat bibir Arsenia dengan kasar. Gadis itu memekik saat tubuhnya terangkat dan didudukkan di meja marmer belakangnya. Ia mendorong Edwin sekuat tenaga namun pria tersebut malah menarik tengkuk Arsenia lebih kencang. Kasar. Sangat kasar sampai-sampai Arsenia merasakan aroma besi di mulutnya, Edwin menggigit bibirnya hingga terluka. Ia menahan rasa geli sekuat tenaga ketika tangan Edwin meraba pahanya yang tidak tertutup itu. Akhirnya Edwin melepaskan ciumannya saat keduanya telah kehabisan oksigen. "Apa yang kau lakukan!”, bentak Arsenia berusaha mendorong Edwin yang tetap bertahan mengunci tubuhnya. Pandangan mata pria tersebut menggelap, percampuran antara gairah dan amarah menjadi satu. "Kau dengarkan kalau dad minta cucu dari kita?”, desisnya. Arsenia menahan desahannya saat Edwin menghisap lehernya dengan kuat. Sebuah  desahan lolos saat tangan Edwin meremas d**a Arsenia dengan pelan. "Ekhem!" "No!",Edwin mengumpat secara otomatis ketika seseorang mengganggu aktivitasnya. Dilihatnya Edward telah bersandar di pintu dengan senyum menggoda. "What are you doing, kak!?",seru Edwin. Arsenia? Ia sibuk menutup wajahnya dengan telapak tangannya karena terlalu malu tertangkap basah seperti itu. "Aku hanya cemas kalian lama tidak kembali, dan ternyata, well.." "Berhenti menggodaku kak”, geram Edwin. Edward mengangkat bahunya dengan santai. "Get a room, bro",celotehnya lalu pergi meninggalkan Edwin dan Arsenia dalam kecanggungan. Arsenia yang telah bangkit kesadarannya mendorong bahu Edwin dengan kuat dan melenggang pergi secepat mungkin yang hanya diikuti oleh tatapan Edwin yang masih terkaget atas sentakan gadis itu. Ia menghela nafasnya dengan berat. Ia hampir melewati batas dan sesaat lupa akan tujuannya. Ia berjalan dengan langkah gontai menuju ruang baca tempat biasa ia mencari ketenangan. Langkahnya terhenti melihat ruang kerja ayahnya terbuka, ia mendekat untuk melihat siapa yang ada di dalam. "George, kadang aku takut tentang hal ini" Pria itu mendengar suara Elena yang tengah berbincang dengan George. Bukankah mereka di halaman belakang tadi? Kenapa mom dan dad ada di ruang kerja daddy? Pikir Edwin, ia memutuskan untuk mendengarkan pembicaraan orang tuanya. "Jangan terlalu khawatir, sayang. Aku yakin Arsenia akan berhasil memikat hati Ed”, ucap George. Pria itu kembali mengernyit. "Tapi, Arsenia yang menjadi korban di sini. Sampai sekarang Ed terlihat belum bisa mencintai tunangannya. Aku bisa mengetahui bahwa Arsenia cukup tertekan dengan pertunangan ini, suamiku”, jelas Elena. "Ya, aku bisa melihat itu juga dengan jelas. Ed bahkan tidak peduli ketika tunangannya belum berkumpul dan ketika datang ia justru mengacuhkan tunangannya”, ucap George membenarkan pernyataan istrinya. "George, terkadang.. aku mempunyai pemikiran bodoh bahwa sepertinya Ed menyukai Alleta lebih dari sekedar kakak iparnya”, celetuk Elena. Sontak tubuh Edwin menegang mendengarnya. "Tidak, sayang. Ia hanya mengagumi Alleta terlalu dalam karena sejak kecil ia selalu dimanja oleh Alleta saat kita semua sedang sibuk menata perusahaan. Tapi jika itu memang benar, maka putra kita telah salah menilai perasaannya”, ujar George. "Hhh... entahlah suamiku, aku.. aku berharap semua akan baik-baik saja. Sejujurnya aku tidak suka berbohong seperti ini, aku tidak suka berpura-pura sakit seperti ini. Tapi semua kulakukan agar Edwin bisa berpaling dari rasa yang ia tunjukan pada wanita yang salah. Dan aku juga tidak tau kenapa perasaanku mengatakan Arsenia lah yang bisa mengubahnya" Brak! George dan Elena tersentak saat Edwin membuka pintu ruangan tersebut dengan kasar. Mereka berdiri menatap Edwin yang menatap mereka dengan penuh kemarahan. "Jadi kalian bohong selama ini?”, desisnya. "Ed”, panggil Elena. "KALIAN BOHONG SELAMA INI DAN MENJEBAKKU KE DALAM SEBUAH HUBUNGAN YANG TIDAK AKU INGINKAN!?",seru Edwin. "Ed, dengarkan penjelasan kami dulu, nak”, ucap George. "APA LAGI DAD? SEMUA YANG KALIAN BICARAKAN TADI SUDAH JELAS! DAN MOM, TAU KAH KAU AKU BEGITU TAKUT KEHILANGANMU DAN MENURUTI PERMINTAAN MOM UNTUK BERTUNANGAN DENGAN GADIS MENYEBALKAN ITU!! AKU KECEWA DENGAN KALIAN, AKU KECEWA!" "Ada apa ini?!",sela Edward yang datang setelah mendapat laporan dari salah satu pelayan bahwa orang tua dan adiknya bertengkar. "Silakan bertanya pada orang tua yang telah membohongi kita mentah-mentah”, jawab Edwin. Edward dan Alleta berjalan menghampiri George dan Elena yang sejak tadi hanya menangis. Alleta menarik Elena ke dalam pelukannya. "Ada apa mom? Apa yang terjadi?”, tanya Alleta. "Mom dan dad berbohong tentang sakit yang diderita mom hanya untuk menjebakku ke dalam pertunangan yang sama sekali tidak kuinginkan!", jelas Edwin. "Benarkah? Syukurlah kalau mom tidak menderita sakit apa pun, kami sangat khawatir”, ucap Alleta. "YA! MEMANG! DAN ITU SEMUA HANYA UNTUK MENJEBAKKU KE DALAM SEBUAH PERTUNANGAN DENGAN PEREMPUAN MENYEBALKAN ITU!”, Bentak Edwin. "EDWIN! JAGA UCAPANMU KEPADA MOM DAN DAD!", Bentak Edward. "AKU TIDAK SUKA DIBOHONGI SEPERTI INI!”, Balas Edwin. "Ada apa ini?" Seketika semua orang menatap kedatangan Arsenia. Gadis itu melihat situasi yang membuat dahinya mengerut. "Ada apa ini? Ed, ada apa? Kenapa aku mendengar suara teriakan?", tanya Arsenia lagi. "Bisakah kau pergi dari sini?”, ucap Edwin. "A.. apa?”, tanya Arsenia dengan ragu. "KUBILANG BISAKAH KAU PERGI DARI SINI!" Arsenia berjangkit mundur dengan kaget dan takut melihat kemarahan Edwin. "CUKUP, ED! JANGAN MEMBENTAK WANITA YANG TIDAK BERSALAH, JANGAN JADI PECUNDANG!",Seru George yang akhirnya bersuara. "AKU TIDAK PEDULI, YANG AKU MAU DIA PERGI DARI RUMAH INI SEKARANG JUGA! AKU MUAK DENGANNYA! KARENA BERTEMU DIA MOM BERPURA-PURA SAKIT DAN MENJERATKU KEDALAM PERTUNANGAN SIALAN INI!" "EDWIN!", bentak Edward. PLAK! PLAK! Semua orang terdiam saat Arsenia menampar pipi Edwin dengan begitu kencang. Gadis itu tersenyum. Air matanya telah mengalir di wajahnya, namun dengan tegas mengusap air matanya. "Arsenia",Elena berjalan menghampirinya. Gadis itu tetap memasang senyumnya, ia menggeleng dan melangkah mundur sebagai tanda penolakan. Tangis Elena semakin meruak, Alleta dan George dengan sigap memeluknya. "It's ok nyonya Elena, saya tidak apa-apa. Saya permisi, terima kasih atas kebaikan Anda kepada saya selama ini. Dan maaf jika kehadiran saya membuat keluarga Anda diwarnai pertengkaran seperti ini. Ed, redamkan amarahmu. Bersyukurlah kau masih memiliki orang tua yang sangat menyayangimu. Hargai dan hormati mereka. Bahagiakan mereka sebelum kau menyesal”, ucap Arsenia lalu keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan luka yang sangat mendalam di dalam hatinya. ***** Arsenia berlari secepat mungkin. Ia mengacuhkan panggilan Alleta yang berusaha menahan kepergiannya tadi. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin. Ia berlari tanpa melihat arah. Air matanya sudah tak terbendung lagi, ia lelah menjadi gadis tegar. Ia terus berlari sampai nafasnya terengah. Ia sudah tak kuat lagi untuk berlari. Tubuhnya ambruk dan terduduk di trotoar jalan. Ia memeluk kedua kakinya, menyusupkan wajahnya di antara tangannya dan menangis sejadi-jadinya. Tangisan yang sangat sirat akan kesakitan yang tertahan, membuat siapa pun yang mendengarnya akan ikut menitikkan air mata. "Semua orang jahat! Tidak ada yang peduli kepadaku! Apa salahku!? Semua orang yang kusayangi pergi meninggalkanku! Mama.. Papa.. aku rindu kalian, aku ingin bertemu kalian.. aku sudah lelah dengan semuanya. Aku lelah ma.. pa.. ajak aku, kumohon ajak aku bersama kalian" Ia sudah tak bisa menahannya, ia ingin melepaskan semuanya. Dan hanya dengan tangis ini ia bisa sedikit melampiaskannya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD