“Konyol? Kau bilang pertunangan ini konyol?! Oh, ingatkan aku untuk menamparmu saat kembali ke rumah nanti"
*****
Tok! Tok! Tok!
Edwin terbangun mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ia mengerang kesal, matanya masih sangat berat. Ia butuh tidur lebih hari ini. Ia menghiraukan ketukan tersebut dan meraih guling kesayangannya kembali.
1 detik.. 2 detik..
Tok! Tok! Tok!
Edwin mengerang melempar gulingnya ke sembarang arah.
"Siapa yang berani menggangguku sepagi ini!”, erangnya lalu dengan langkah gontai membuka pintu kamarnya dan sebuah buket bunga yang indah terpampang di hadapannya menutupi sosok yang memegang bunga tersebut dan...
"Taraaaaaa! Surprise!!!! Morning, Ed! Aku membawa buket ini untukmu, aku merangkainya sendiri loh! Bahkan aku juga yang menanam bunga-bunganya. Aku ingat belum memberi apa-apa kepadamu kemarin, jadi kuputuskan untuk membuat rangkaian bunga untukmu. Bagaimana? Kau suka kan? Iya kan? Iya kan? Suka kan?"
Eerrrggghhh!! Seharusnya kubiarkan saja pintu itu tertutup, erang Edwin dalam hatinya.
"Arsenia. Ini masih pagi, kau sudah datang mengacaukan tidurku. Aku butuh tidur Arsenia, aku lelah”, kesal Edwin.
"Yaah.. tapi mom yang menyuruhku kesini pagi-pagi. Katanya kau ingin mengajakku jalan-jalan hari ini. Kita mau ke mana? Senangnya diajak jalan-jalan denganmu. Ternyata kau romantis juga ya, ku kira ka..."
"Wait! Siapa yang bilang aku akan mengajakmu jalan-jalan hari ini?”, potongnya.
"Mommy",jawab Arsenia.
Edwin kembali mengerang menahan kekesalan dalam dirinya.
"Aku tidak mengajakmu jalan-jalan Ar, mommy hanya mengada-ada”, geram Edwin.
Arsenia terdiam.
"Jadi kau tidak mengajakku pergi hari ini?”, tanya Arsenia.
"Tidak sama sekali”, jawab Edwin dengan lugas.
Arsenia tersenyum. Ia menarik tangan Edwin untuk memegang buket bunga yang sejak tadi dipegangnya.
"Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu ya. Selamat istirahat kembali”, ujarnya lalu berbalik meninggalkan Edwin yang masih menatapnya. Pria itu kembali mengerang. Ia sedikit menyesal telah berkata ketus pada gadis tersebut. Tanpa pikir panjang ia melangkah menyusul Arsenia, ia melihat gadis itu sudah di pekarangan mansion-nya akan menuju pintu gerbang.
"Arsenia",panggilnya.
Langkah gadis itu terhenti dan ia membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara yang memanggilnya. Gadis itu menarik sebelah alisnya menatap Edwin yang masih menggunakan piama lengkap di depannya. Tangannya kirinya bertumpu pada pinggangnya. Sedangkan Edwin mengurut keningnya melihat penampilan Arsenia. Dress yang sangat pendek. Tidak. Itu hanya seperti sebuah atasan berwarna broken white dengan bunga-bunga di bagian depan.
Apa gadis ini gila! Pekiknya
"Ada apa?"
"Apa yang kau pakai?"
Keduanya bertanya secara bersamaan. Arsenia menghela nafasnya.
"Oke, who's first?",tanya Arsenia.
"Kau dulu, jawab pertanyaanku”, jawab Edwin datar.
Arsenia mengangkat bahunya.
"Well, aku pakai baju. Kau pikir aku pakai karung?”, sarkasmenya.
"Tidak bukan itu, bukankah aku sudah bil.."
"Giliranmu yang menjawab”, sela Arsenia.
"Aku hanya memastikan kalau kau keluar di pintu yang benar mengingat mansion ini memiliki banyak pintu"
Arsenia mendengus mendengar jawaban tak masuk akal dari tunangannya.
"Terima kasih sudah mengingatkan, aku tidak terlalu bodoh untuk mengingat di mana pintu keluar mansion ini”, ucap Arsenia.
Edwin berdeham menutupi rasa malunya menyadari ia telah memberi jawaban yang tak masuk akal. Tapi bukan Edwin namanya jika ia tak bisa mengontrol raut wajahnya menjadi datar.
"Giliranmu menjawab, apa yang kau pakai? Bukankah sudah kubilang jangan berpakaian minim seperti itu?”, tanyanya.
"Bajuku seperti ini semua, bagaimana dong?",balas Arsenia.
"Bohong”, sentak Edwin.
"Tidak, aku tidak suka berbohong. Kau bisa cek isi lemariku sendiri”, jawab Arsenia dengan tenang.
"Kalau begitu jangan muncul di hadapanku jika kau masih berpakaian seperti itu”, desak Edwin.
Arsenia mengangkat alisnya lagi.
"Ok”, jawabnya singkat lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah pintu keluar mansion. Edwin tak percaya gertakannya hanya dianggap angin lalu oleh gadis di hadapannya.
"Kita sudahi saja pertunangan ini kalau kau masih terus membantah”, ancam Edwin.
Arsenia tergelak dan kembali memutar tubuhnya ke arah pria tersebut.
"Siapa yang semalam memohon untuk tidak memutuskan pertunangan ini?”, sindir Arsenia.
Edwin kembali bungkam.
"Kau pulang naik apa?"
"Ojek online"
Sontak mata Edwin melebar dengan sempurna.
"Tidak boleh!”, sergahnya.
"Waw! Kau seperti seorang pria yang sangat mencintai dan melindungi tunangannya, apa kau sudah mencintaiku, Ed?", tantang Arsenia.
"Ada apa ini?"
Keduanya berpaling mendengar suara yang menginterupsi mereka. Ternyata Elena.
"Tidak ada apa-apa, mom”, jawab Edwin senormal mungkin.
"Kalian bertengkar?", tanya Elena lagi.
"Tidak, mom. Kami tidak bertengkar”, jawab Edwin lagi.
"Baguslah kalau begitu. Ed, kenapa kau masih menggunakan piamamu? Segera bersiap, ajaklah tunanganmu pergi. Ini hari Sabtu, waktunya kalian menghabiskan waktu berdua”, perintah Elena.
"Ehm.. sepertinya Ed lelah, mom. Mungkin lain kali saja kami jalan-jalan”, sela Arsenia yang dihadiahi tatapan sinis dari Edwin.
"Tidak, kau sudah jauh-jauh datang demi anak manja ini. Kalian harus keluar”, desak Elena.
"Baik, mom. Aku mandi dulu, Arsen kau masuklah dulu. Tunggu aku bersiap, kita akan pergi",ucap Edwin lalu berlalu masuk ke dalam mansion-nya.
*****
Arsenia menggerutu. Ia pikir akan menyenangkan menunggu seraya men-stalking akun i********: milik tunangannya. Dan sekarang ia menyesal bertanya kepada Elena nama akun i********: milik Edwin. Bukannya senang, ia malah kesal sendiri melihat banyak foto tunangannya bersama perempuan-perempuan langsing dan cantik. Kebanyakan mereka berasal dari Brazil. Ya, Edwin pernah tinggal selama 3 tahun di negeri asal sepak bola tersebut untuk mengurus cabang Angkasa Corps yang ada di sana. Tapi... Arsenia tak menyangka foto-fotonya akan sebanyak itu! Dan Edwin tersenyum tampak bahagia sekali!
Terlihat ia seperti menerima sebuah surat dari seorang wanita, lalu foto ia memeluk seorang gadis berambut pirang di sebuah lapangan basket, dan berfoto bersama dua gadis cantik di sebuah tempat. Arsenia merasa kepalanya panas seperti berasap.
Huft! Aku jadi ragu apakah ia benar-benar mencintai kak Alleta melihat senyumnya yang luar biasa dengan wanita-wanita itu, lihat ini! Apa-apaan ia sampai memeluk wanita ini dengan mesra! Aku saja yang tunangannya tidak pernah dipeluk seperti itu, paling cium-cium aja. Itupun.. eh kok ngomongin cium sih! Sial, ia tampan sekali, apalagi dengan janggut halus yang belum dicukur itu, oh dan rambutnya yang berantakan! Tidaaaaak, aku tak kuat, dia tampan sekaliii!!! pikir Arsenia.
Tanpa ia sadari Edwin telah siap dan kini tengah memperhatikan gadis yang tengah menggerutu seraya menatap layar ponselnya.
"Apa yang kau lihat?",tanyanya.
Gadis itu tersentak dan sedikit terpana melihat penampilan Edwin yang terlihat santai tapi tidak menghilangkan ketampanannya. Pria itu memakai sweater berwarna abu-abu terang yang dipadukan celana denim berwarna biru langit dan kacamata hitam yang bertengger di kerah jaketnya.
Oh.. God, gumam Arsenia dalam hati.
"Apa yang kau lihat?",tanya Edwin lagi.
"Tidak ada”, jawab Arsenia.
"Ayo jalan”, ajaknya. Gadis itu mengangguk lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendahului Edwin. Pria itu mengernyit melihatnya yang berjalan tanpa kata.
Kenapa dia? Tak biasanya diam seperti itu, biasanya kan dia seperti petasan banting, pikir Edwin.
*****
Edwin’s POV
Dan ternyata aku salah, Arsenia tetaplah Arsenia. Ia memekik riang ketika kuajak ke tempat wisata berupa miniatur-miniatur icon dunia. Ia tak bisa berhenti memekik, berbicara, dan melompat-lompat layaknya anak kecil. Padahal ia sedang menggunakan baju sialan yang kurang bahan itu, tak sedikit mata pria-pria b******k itu menatapnya dengan lapar. Seperti saat ini, Arsenia meminta untuk difoto di miniatur jalanan di kota New York dengan semangat.
Sebenarnya aku geli melihatnya yang seperti anak kecil ini, tapi aku juga kesal melihat kakinya yang terekspos kemana-mana. Aku heran, kenapa energinya tak habis padahal aku saja yang melihatnya sudah lelah. Apalagi sudah hampir seharian kami mengelilingi tempat ini. Ckckck
"Ed, hitung dulu sampai tiga agar aku siap”, pintanya
Aku mengangguk seraya mengarahkan kamera ke arahnya.
"1..2..3.."
"Lagi!”, serunya, kuanggukkan lagi kepalaku.
"1..2..ti..."
Tunggu, siapa pria yang tiba-tiba masuk ke frame kameraku? Aku menurunkan ponsel pintarku dan mengernyit melihat Arsenia yang tampak dengan senang hati berbicara dengan pria asing tersebut. Pria yang cukup tampan, walau tak setampan diriku. Dan laki-laki itu mencium pipi Arsenia. Mereka tampak bahagia dan asyik berbicara. Bahkan tangan pria itu seenaknya mengacak-acak rambut Arsenia.
Sial! Dia mengacuhkanku begitu saja.
Aku berjalan mendekati mereka, kita lihat siapa yang akan menang.
*****
Arsenia’s POV
Hari ini aku senaaaang sekali, aku diajak Edwin mengunjungi museum icon-icon yang ada di dunia. Sudah lama aku ingin main kesini, tapi tidak ada yang mengajak. Edwin dengan sabar meladeni aku yang terlalu bersemangat.
Dan sekarang aku sangat ingin di foto dengan latar belakang jalanan Kota New York. Dengan semangat aku bersiap di spot tersebut.
"Ed, hitung dulu sampai tiga agar aku siap”, pintaku dan ia mengangguk.
Aku segera tersenyum saat ia mengarahkan ponselnya ke arahku.
"1..2..3.."
"Lagi!”, seruku bersemangat dan lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan olehnya. Tak apa, sudah biasa.
"1..2..ti.."
"Arsenia?"
Aku menoleh ketika seseorang memanggilku. Pria tampan. Ia menatapku dari atas ke bawah dengan penuh minat.
"Ya, benar kau Arsenia kan? Waw! Penampilanmu sungguh berbeda sekarang”, serunya senang. Aku mengangguk.
"Ya, kau.. siapa? Apa aku mengenalmu?", tanyaku bingung. Pria itu terkekeh.
"Aku Brian, teman SMA mu. Kau ingat?”, ujarnya.
Aku terbelalak menatap pria di hadapanku.
Astaga! Brian? Brian yang dulu suka di-bully karena bertubuh besar dan hitam ini sekarang bisa setampan ini? Ya ampuun!!
"Brian?! Oh! Astaga, what happened to you? Bagaimana kau bisa menjadi..."
"Tampan?", tebaknya dan sontak aku mengangguk semangat. Ia tergelak dan berjalan mendekat lalu mengecup pipiku. Astaga lagi! Kurasa wajahku merona sekarang.
"Kau apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kau selalu mangkir dari reuni SMA”, ujarnya.
"Aku baik. Ya, aku malas mendengar bully-an mereka. Sudah bosan, lagi pula aku sibuk meneruskan usaha florist orang tuaku”, jawabku.
"Jangan minder, kau itu cantik, Ar"
Oke. Jangan buat aku ge-er, Brian.
"Yayaya, terserah kau saja. Aku tidak seperti kau yang menjelma menjadi pangeran tamvan yang jadi pujaan banyak wanita. Tamvan. Pakai V bukan P. Itu artinya kadar ketampananmu di atas rata-rata",celotehku.
Ia kembali tergelak seraya mengacak rambut ombakku. Aku memberengut.
"Ish! Nanti rambutku berantakan, Bri!!",rengekku.
"Kau tak berubah, tetap cerewet dan ceria”, sautnya.
"Oh tentu saja, Arsen gitu loh”, balasku jumawa.
Ia kembali tertawa lalu berdeham.
"Well, kau kesini sama siapa? Bagaimana kalau kita jalan bersama? Kebetula..."
"Sayang, kau ke mana saja"
Aku menoleh dan.. Oh, my.. Edwin tersenyum dengan sangat memesona, tangannya merangkul pinggangku dan mengecup pelipisku dengan mesra.
EDWIIIIIIIIIIN!!! JANGAN BUAT JANTUNGKU CLUBBING DI DALAM SANA!!!
"Dia siapa, Ar?", tanya Brian.
Edwin telah menyodorkan tangannya sebelum aku menjawab Brian.
"Kenalkan, aku Edwin. Tunangan Arsenia",ucap Edwin dengan memberi penekanan pada kata 'tunangan'.
Brian memandang kami secara bergantian.
"Kau... sudah bertunangan?", tanyanya yang akhirnya bersuara.
Aku mengangguk.
"Ya, aku sudah bertunangan. Ini tunanganku, Edwin. Dan Ed, ini Brian teman SMA-ku",jawabku. Entah kenapa aku merasa gugup dipandangi oleh dua pria tampan ini.
Edwin menarik sebelah alisnya.
"Oh.. hanya teman SMA”, ucapnya.
Sontak aku memukul lengannya pelan dengan memberinya tatapan 'jangan bicara seperti itu bisa tidak, sih!'
"Wow, banyak sekali perubahan dari dirimu, Ar. Sepertinya kita harus ngobrol lain waktu”, ucap Brian.
Aku hendak menjawab dengan semangat, tentu saja aku mau.
"Te.."
"Maaf sepertinya tidak bisa, kami sedang sibuk mengurus persiapan pernikahan kami"
Apa? Pernikahan?
Aku menatap Edwin bingung. Orang ini kenapa sih?
Brian terkekeh.
"Tak perlu cemburu, bro. Aku dan Arsenia teman lama, yah.. walaupun jika kondisinya dia belum bertunangan aku akan dengan senang hati mendekatinya. Tapi tenanglah, aku tak akan merebutnya darimu”, jelasnya dengan nada yang sedikit... menantang.
Cemburu?
Aku semakin bingung. Ada apa dengan pria-pria ini? Edwin tiba-tiba memperlakukanku seperti aku tunangan tercintanya. Dan Brian, apa tadi dia bilang? Mendekatiku jika belum bertunangan? Kurasa Brian habis mabuk semalam. Tapi wajahnya terlihat segar tuh, malah tampan. Hmm...
"Tidak ada yang bisa merebut sesuatu yang sudah menjadi milikku”, balas Edwin angkuh.
"Oke. Brian, boleh aku minta kartu nama atau kontakmu? Aku akan menghubungimu nanti”, pintaku.
Brian tersenyum manis, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu nama dari dalam domoet kulit berwarna hitam.
"Ini kartu namaku. Call me, Ar. We need to talk”, ucapnya.
Aku tersenyum seraya mengangguk.
"Oke!”, seruku. Brian kembali terkekeh.
"Ya sudah, aku duluan. See you",pamitnya.
"Daaagh! See you!",seruku.
Setelah Brian menghilang di kerumunan orang aku menatap Edwin dengan jengkel.
"Kau ini kenapa sih, Ed? Jangan bersikap seolah-olah kau mencintaiku sepenuh hati dan tidak ingin tunanganmu direbut orang lain!”, seruku.
Edwin menatapku datar.
"Seperti yang kukatakan tadi, walaupun aku tidak mencintaimu tapi aku tidak mau membagi sesuatu yang sudah menjadi milikku. Dan kau masih tunanganku, dan aku tak suka jika kau bermain di belakangku”, tekannya.
"Di belakang apa? Kau pikir aku selingkuh hanya dengan berbicara dengan kawan lamaku? Kau sendiri, lihat akun Instagrammu. Tidak kurang banyak foto dengan wanita-wanita itu. Apakah aku protes?! Bahkan fotoku yang tunanganmu saja tidak ada di sosial mediamu! Dan perlu kau ingat aku manusia, bukan sesuatu. Aku bisa pergi darimu kapan saja. Dan apa tadi kau bilang? Pernikahan? Hahaha.. ingatkan aku siapa yang tidak menginginkan pertunangan ini”, geramku.
Kulihat wajahnya mengeras mendengar jawabanku.
"Sekali lagi kutekankan, jangan main-main dengan pria lain di belakangku sampai pertunangan konyol ini berakhir".
Aku terperangah.
"Konyol? Kau bilang pertunangan ini konyol?! Oh, ingatkan aku untuk menamparmu saat kembali ke rumah nanti. Aku tidak mau mencoreng nama baik pemilik Angkasa Corps yang terkenal hanya karena menamparnya di tempat wisata”, geramku.
"Kau.."
"Sudah sudah, sekarang kau berdiri di dini dan kufoto",potongku.
"Aku tidak.."
"Ayolah, kau belum foto di mana pun"
"Baiklah”, jawabnya. Ia mengambil kacamata hitamnya dan memakainya.
"Kenapa pakai sunglasses?", kau tidak tau ya ketampananmu semakin bertambah jika memakai itu. tanyaku
"I want it",jawabnya.
Aku berjalan dan memosisikan kamera ponselku, pria itu tersenyum dengan sangat... tampan. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung jaketnya dan... ckrek!
Oh, Tuhan.. ingatkan aku untuk mencetak foto ini besar-besar nanti!
"Bagaimana? Bagus tidak?",sarkasmenya.
"Cih! Kau pikir aku harus jawab apa?”, kesalku.
Ia terkekeh mengusap kepalaku. Wait! Dia apa? Aku mendongak menatapnya. Sontak wajahku memanas, ia tersenyum hangat menatapku dibalik kacamata hitamnya.
"Ayo makan, kau pasti lapar berceloteh dan berlari-lari seharian ini”, ajaknya seraya menggenggam tanganku.
"Oh ya, tadi mom chat kamu diminta menginap di mansion malam ini”, tambahnya.
"Lhaa? Aku kan gak bawa baju?”, panikku.
"Pulang dari sini kita mampir ke rumahmu lalu ke rumahku”, putusnya
"Oke”, balasku. Pria itu tersenyum lagi dibalik kacamata hitamnya.
Ed, bisakah kau memperlihatkan senyum itu hanya untukku?
*****