Epilog

1587 Words
Setelah menyemprotkan wewangian di pakaian berwarna putihnya, Takashi keluar dari kamar. Ia sudah rapi dengan setelan baju koko dan celana sirwal. Hari ini akan menjadi kali pertama untuknya melaksanakan salat Jumat. Menjadi seorang mualaf dan menikahi wanita muslim memang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Mungkin dulu ia tak pernah mempercayai agama apa pun dan menganggap semua agama sama saja, tetapi saat ini dirinya benar-benar percaya bahwa hanya Islam agama yang benar dan wanita muslim yang dinikahinya adalah satu-satunya wanita yang akan menemani hidupnya. Takashi menuju dapur dan mendapati sang istri sedang mencuci piring. Ia berjalan mengendap-endap, mendekati wanita yang dicintainya tersebut Wanita berambut panjang itu tak menyadari keberadaan sang suami. Ia sibuk mencuci piring sambil terdengar bersalawat pelan—suaranya terdengar berpacu dengan bunyi air keran. "Sholalallahua'lamuhammad, sholallahua'laiwassalam, sholalallahua'lamuhamad, sholallahua'laiwassalam." Ia sangat menghayati setiap pujian-pujian indah itu meluncur syahdu dari mulutnya. Tak terasa air matanya mengalir. Ia sangat terharu. Rasa cinta pada Rasulullah SAW semakin subur di dadanya. Tiba-tiba, dengan mesra dirinya dipeluk dari belakang dan refleks sosok cantik itu pun membalikkan badannya. “Anata sudah selesai? Wah, wangi dan tampan sekali," ujarnya sambil mencubit hidung mancung Takashi dengan gemas. Kemudian ia memandangi laki-laki di hadapannya itu dalam-dalam, ia merasa ada sesuatu yang belum dikenakan suaminya itu dan kembali bersuara "Sepertinya ada yang kurang, nih,” ujarnya sambil menepuk-nepuk pipi sang suami mesra. “Yang tidak kurang hanya cinta saya padamu, Suada-chan.” Takashi balas mencubit mesra pipi sang istri dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih erat melingkar di pinggang wanita yang dicintainya itu. “Ih, gombal. Tunggu di sini sebentar, ya.” Fitri melepaskan pelukan suaminya itu. Ia berlari menuju kamar. Tidak begitu lama, Fitri kembali membawa sebuah kopiah. Ia mendekati Takashi dan meminta pemuda jangkung itu berjongkok, kemudian memasang kopiah itu di kepala Takashi dan tersenyum.“Wah, Anata keren,” puji Fitri. Takashi membelai rambut wanita di hadapannya itu dan mencium kening Fitri.“I love you, istriku.” “I love you too, suamiku.” Akhirnya kalimat yang sangat ditunggunya pun ia dengar. Takashi kembali memeluk erat wanita di hadapannya itu. *** Usai salat Duha berjamaah, Fitri yang masih mengenakan mukena menghampiri sang suami, menyalami imamnya itu dan mencium punggung tangan Takashi. Sementara pria yang sudah menikahinya itu mencium puncak kepala Fitri penuh cinta. "Oh ya, Anata. Dulu aku pernah kecelakaan dan kehabisan banyak darah, kemudian Alhamdulillah ternyata ada laki-laki Jepang yang mendonorkan darahnya untukku. Aku ingin berterimakasih, tapi aku tidak tahu siapa orang itu. Jadi, terima kasihnya aku wakilkan pada Anata saja, ya." Fitri bersandar manja di pundak Takashi dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang sang suami. "Hontou?" Takashi melirik wanita yang masih merebahkan kepala di pundaknya itu. "Iya. Jill yang waktu itu bertemu dengannya. Tapi, sayang sekali Jill tidak meminta nomor ponselnya. Saat ditanya Jill hanya bilang kalo laki-laki itu tampan. Hanya itu yang tak lupa dilakukan, Jill. Mengingat ketampanan orang. Dasar Jill. Aku jadi rindu padanya." Fitri mengarahkan pandangan pada Takashi yang masih memandanginya. "Jadi, Suada-chan berharap yang jadi suami Suada-chan adalah orang yang sudah mendonorkan darah itu. Ah, saya cemburu!" Takashi memasang ekspresi manyun. "Ih, aku tidak pernah mengatakan seperti itu, loh, Anata. Aku, kan, hanya mau berterimakasih." Fitri gantian memasang wajah cemberut. Kedua pipi wanita itu mengembang. "Kalau begitu, yokatta. Ja, soredewa ayo bilang lagi bahwa Suada-chan mencintai saya dan hanya saya satu-satunya laki-laki yang Suada-chan cintai." "Tidak mau. Anata terlalu percaya diri. Anata menyebalkan. Aku benci Anata." Fitri masih merajuk. Ia memonyongkan bibirnya dan memandang ke arah suami dengan ekspresi sebal. Takashi mengerti bahwa istrinya itu tak mengatakan hal sebenarnya. Ekspresi cemberut sang istri membuatnya sangat gemas. Ia lantas menghadiahkan ciuman mesra di pipi tembam Fitri. *** Takashi mengambil handuk kecil yang tergantung di jemuran portabel yang terletak tepat di depan kamar mandi, kemudian mengarahkan pandangan ke cermin kecil yang menggantung di dinding di hadapannya sambil mengelap wajahnya yang basah. Takashi menatap wajahnya sendiri. Mata sipit, hidung mancung dan kulit yang putih. "Masyaallah. Alhamdulillah. Terima kasih sudah memberikan wajah tampan ini, ya, Allah. Terima kasih juga telah memberikan istri yang sangat sempurna untuk saya." Tiba-tiba ia teringat dengan cerita Fitri tentang laki-laki Jepang yang sudah mendonorkan darah pada istrinya itu. "Ya ampun. Saya ingat! Jadi karena itu, ya, saya tidak asing dengan Jill. Jadi, gadis bule yang mencari donor darah untuk temannya itu adalah Jill. Dan temannya itu adalah Suada-chan. Istri saya sendiri? Masyaallah." Takashi tersenyum-senyum. Ia sangat bahagia karena ternyata laki-laki yang dimaksud Fitri adalah dirinya, meskipun sang istri tak mengetahui itu. Takashi bertekad untuk merahasiakan hal itu. Biarlah hanya Tuhan dan dirinya yang tahu. *** Pemuda jangkung itu berdiri di depan ruang UGD sambil menelepon. “Aku menunggumu di depan UGD, Sayang,” ujarnya dengan ekspresi wajah yang terlihat sangat senang. “Oh, oke. Lanjutkan saja. Aku akan sabar menunggu. Bye, Honey. I love you.” Ia memonyongkan bibir ke ponsel seakan-akan sedang mengecup sang kekasih. Ia menyimpan ponsel, kemudian mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tas dan mengutak-atik benda di tangannya tersebut sambil tersenyum-senyum. Sementara di sebelahnya seorang gadis bule yang baru keluar dari ruang UGD terlihat panik dan kemudian menelepon seseorang. Hal itu membuat fokusnya berpindah arah. Ia penasaran dengan hal yang membuat sosok berambut cokelat itu terlihat demikian. “Halo, Nath. Apa golongan darahmu? Temanku sekarat dan sangat membutuhkan darah O.” Gadis bule itu menyampaikan kalimatnya dengan suara bergetar, seperti tengah menahan tangis. Entah apa jawaban dari orang yang diteleponnya, gadis berambut cokelat itu terlihat gusar.Ia masih berusaha menghubungi teman-temannya yang lain, tetapi tetap sama, jawaban mereka tak ada yang sesuai harapan. Dengan merapikan rambut yang awut-awutan dan memperbaiki letak kacamatanya, pemuda jangkung itu kemudian berjalan mendekati gadis tersebut. Dengan berbahasa Inggris ia bertanya pada si gadis bule. “Kamu mencari orang berdarah O, ya?” “Iya benar. Susah sekali menemukan orang dengan darah O. Aku sudah menanyakan pada banyak orang. Oh Tuhan, aku benar-benar bingung. Temanku kehabisan banyak darah." Gadis bule itu mulai menyerah. Ekspresi cemasnya menjelaskan bahwa ia sangat mengkhawatirkan orang yang sedang dicarikan donor darah tersebut. “Tenanglah. Jangan khawatir begitu. Darahku O. Jika kamu tidak keberatan aku akan mendonorkan darahku.” Pemuda itu menawarkan. “Really? Mana mungkin aku keberatan. Aku sangat senang dan berterimakasih. Kalau begitu, ayo kuantar ke ruang transfusi." Gadis itu terlihat sangat bersemangat, kemudian mengantarkan pemuda itu ke ruangan transfusi darah. Perawat yang ada di sana meminta si pemuda untuk berbaring di tempat tidur yang bersebelahan dengan tempat tidur orang yang akan menerima darah, seorang gadis pingsan dengan kepala dan sebagian wajahnya dibalut perban. Sementara saat darahnya mengaliri selang yang menuju nadi si gadis, pemuda itu terus memandangi sosok yang belum sadarkan diri itu. “Kamu pasti juga cantik seperti temanmu, tapi sayang aku tidak bisa melihat wajahmu dengan jelas." Si pemuda masih terus memandangi sosok yang tengah berbaring itu dengan saksama. "Ngomong-ngomong, apa yang terjadi padamu, ya? Kuharap kamu kembali sehat dan aku bisa melihat wajahmu dengan jelas suatu saat." Ia masih terus bergumam dengan bahasa Jepang yang--tentu saja--sangat lancar sampai akhirnya ia sadar bahwa proses transfusi darah sudah selesai. Sosok berwajah tampan itu memutuskan untuk segera keluar dari ruangan tersebut, meskipun sudah dicegat oleh perawat karena dirinya dianjurkan untuk istirahat sejenak. “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Pacarku sedang menunggu. Aku harus segera pergi.” Pemuda itu buru-buru meninggalkan ruangan tersebut. Hal itu membuat gadis bule yang sedang menunggu di luar menjadi kaget karena melihatnya yang buru-buru. “Apakah proses transfusinya berjalan lancar?” tanya gadis itu sambil mengernyitkan dahinya. “Tentu saja. Oh ya, aku permisi dulu, ya.” “Tidakkah kamu ingin beristirahat sebentar? Kelihatannya kamu masih lemas.” Gadis tersebut khawatir. Ia tahu bahwa orang yang sudah mendonorkan darah seharusnya beristirahat serta mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi untuk mengembalikan stamina. Sementara pemuda itu, jangankan makan dan minum yang bergizi, istirahat saja tidak dilakukannya. “Tidak. Itu tidak perlu. Aku baik-baik saja.” “Kalau begitu minumlah ini.” Gadis tersebut memberikan sebuah s**u kotak. “Oh ya, terima kasih karena sudah mendonorkan darahmu untuk temanku,” ujar gadis berambut cokelat itu sambil membungkukkan badan. “Iya, sama-sama. Senang bisa membantu. Semoga temanmu segera sembuh.” Pemuda itu meraih minuman tersebut. “Sekali lagi, terima kasih banyak.” Gadis tersebut kembali membungkukkan badan. “Sama-sama. Kalau begitu, aku permisi dulu. Sampaikan salamku untuk temanmu.” Pemuda tersebut tersenyum dan gadis bule itu membalasnya dengan senyuman manis dan khas karena dua gigi serinya yang besar seperti gigi kelinci. Pemuda yang hendak mengeja langkah itu tiba-tiba berhenti, kemudian berujar.“You are so beautiful!” Ia tersenyum sambil mengedip genit, kemudian kembali melanjutkan langkahnya dan menuju lobi rumah sakit. Beberapa saat kemudian, seorang gadis cantik berambut sebahu dan mengenakan pakaian dokter mendekat ke arahnya. “Taka, maaf sudah menunggu lama.” “It’s okay, Honey,” ujar pemuda tersebut, mencium kedua pipi sosok cantik itu dan memeluknya erat. “Kamu sangat baik.” Gadis itu mengencangkan pelukannya. “Tentu saja karena aku Umehara Takashi. Oh ya, ini kacamatamu.” Pemuda itu melepaskan pelukannya dan memasangkan kacamata yang tadi ia pakai pada gadis berpakaian dokter itu dengan mesra. “Mmm ... barusan aku bertemu dengan seorang gadis yang sangat manis, giginya terlihat seperti gigi kelinci ... so cute.” Pemuda itu tersenyum-senyum seperti seseorang yang tengah jatuh cinta. “Hugh, dasar nakal!” Gadis berkacamata bulat itu memukul pemuda itu dengan stetoskop yang dipegangnya. SELESAI *** Honto? : Benarkah? Yokatta : Syukurlah Anata : Kamu ( ungkapan Anata biasa digunakan seorang istri untuk memanggil suaminya) Ja soredewa : Ya sudah kalau begitu Celana sirwal : Celana cingkrang ( untuk laki-laki muslim)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD