Spring of Love

1500 Words
Universal Haneda. Gedung apartemen yang sangat dekat dengan bandara internasional Jepang, Bandara Haneda, terletak di distrik Ota, Tokyo. Meskipun berukuran kecil, tetapi bangunan ini tetap terlihat elegan dan berkelas. “Suada-chan, ini apartemen Jill.” “Wah, sepertinya apartemen ini sangat nyaman, ya?” Fitri memandangi bangunan bertingkat yang didesain cukup modern itu. Seperti halnya tempat-tempat di Jepang lain, apartemen itu sangat bersih dan memberi kesan nyaman untuk orang yang berkunjung ke sana. “Setelah menikah nanti kita liburan dan menginap di sini, ya?” Pemuda sipit itu menaikturunkan kedua alisnya secara bergantian, mengarahkan pandangan pada gadis di sebelahnya yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Pernyataan Takashi membuat pipi Fitri merona, ia menjadi salah tingkah karena pemuda itu membahas tentang pernikahan. “Ayo kita masuk,” ajak Takashi. Fitri hanya mengangguk dan mengikuti Takashi. Kamar Jill terletak di lantai atas, sehingga mereka harus menggunakan lift. “Kamu sering ke sini?” tanya Fitri saat Takashi memencet angka dua pada tombol lift. “Dua kali dengan ini. Pertama waktu saya mengantar Ken ke rumah sakit saat demam.” Mereka berjalan menyusuri koridor di lantai dua gedung itu sampai akhirnya berhenti di depan pintu bernomor tujuh puluh sembilan dan Takashi mengetuk pintu tersebut. “Wah, ternyata kalian. Ayo silakan masuk.” Jill terlihat sangat senang ketika dua sahabatnya itu datang bersama. “Sepertinya saya sudah berhasil membuat dua orang ini bertemu, ya?” Jill tersenyum-senyum. “Iya, terima kasih Jill, tapi temanmu yang satu ini sangat pemarah,” ujar Takashi sambil cekikikan, membuat kedua mata Fitri membola. “Kamu ini selalu saja meledek saya.” Fitri cemberut. “Kalian berdua ini sangat cocok,” sela Jill. “Ngomong-ngomong mana Ken?” Pandangan Fitri beredar mencari sosok bocah kecil itu. “Dia pergi jalan-jalan dengan ayahnya.” “Ayahnya?! Kitano-san?” Fitri sangat kaget. “Iya. Akhir-akhir ini dia sangat sering menjenguk Ken. Dia banyak berubah dan tadi ....” Jill tiba-tiba terdiam. “Ta ... Tadi apa, Jill?” “Di ... dia ... mmm ... dia melamarku.” Jill menunduk seperti tengah menahan kesedihan. “Dia melamarmu? Wah berita bagus, bukan? Tapi, kok, kamu sepertinya tidak bahagia?” “Aku sudah memutuskan untuk menjadi orang tua tunggal untuk Ken.” “Lo ... loh? Jill, jangan bohongi perasaanmu! Aku tahu kamu masih mencintai Kitano-san.” Fitri sangat keberatan dengan keputusan Jill. “Tapi aku belum bisa memaafkan perbuatannya waktu itu padamu, Fitri.” “Come on, Jill. Aku saja sudah lupa dengan kejadian itu. Meskipun aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, aku yakin saat ini Kitano-san sudah benar-benar berubah. Buktinya dia ingin bertanggungjawab, ‘kan?” “Ta ... pi, Fi ....” “No. I don’t want to hear your reason. Sekarang tatap mataku dan jika kamu benar-benar menganggapku sahabat. Jawab sejujurnya pertanyaanku. Apa kamu benar-benar tidak mencintai Kitano-san lagi?” Fitri menatap mata Jill dengan tajam. Namun, Jill tak sanggup memberi jawaban apa-apa. Air mata gadis itu berlinang dan kemudian Jill menghambur memeluk Fitri. “Sampai saat ini aku tidak bisa melupakannya.” Jill terisak. “Kalau begitu tidak ada alasan untuk menolak lamarannya, bukan?” Fitri melepaskan pelukan Jill dan menatap gadis itu lekat, tetapi gadis itu masih bergeming. “Jill. Say Okay ... please.” “Ng ... Ng ....” “Come on.” “Ng ... o ... ok ... okay.” “Alhamdulillahirrabilal’amin.” Dua orang yang bersahabat itu sama-sama mengencangkan pelukan satu sama lain, sementara Takashi ikut larut dalam sukacita itu. Pemuda bermata sipit itu tersenyum bahagia. “Oh ya, bagaimana jika kita bertiga pergi ke Bandara Haneda untuk menyaksikan syuting perdanaku?” usul Fitri. “Ide bagus. Ayo.” Takashi menimpali. *** Fitri mendapati pemandangan yang berbeda saat masuk ke mobil Jill. Tak ada lagi botol-botol yang bergelimpangan, juga bau rokok yang menyesakkan. Kini kendaraan itu sangat rapi dan wangi. Hanya mainan Ken yang membuat mobil itu terlihat penuh. Takashi duduk di belakang, di antara mainan Ken. “Ngomong-ngomong berapa lama kamu di Jepang, Fitri?” tanya Jill. “Sampai syutingnya selesai. Kira-kira satu bulan.” “Kalau begitu, kamu harus bersabar dulu, ya, Ume-san,” ujar Jill melirik pemuda yang terjebak di antara mainan-mainan itu. “Bersabar kenapa?” Takashi terlihat bingung. “Bersabar menunggu calon istrimu selesai bekerja, baru kalian bisa menikah.” Jill tersenyum usil. “Tentu saja aku harus bersabar. Bukankah beberapa tahun ini aku telah membuktikan?” “Daripada membahas tentang kami berdua, bagaimana jika kita membahas tentang kamu dan Kitano-san. Kapan kamu akan menikah dengannya?” Fitri menimpali. “Menurut pendapatmu bagaimana?” Jill melirik Fitri yang duduk di sebelahnya. “Menurutku secepatnya. Seminggu lagi?” “Cepat sekali. Aku, kan, belum ada persiapan, lagi pula kamu, kan, sibuk. Siapa yang akan membantuku?” “Kamu tenang saja. Aku pasti membantumu jika tidak sibuk. Lagi pula ada Takashi-san yang selalu siap membantu. Iya, kan, Takashi-san?” Fitri melirik Takashi. “Tentu saja.” Takashi menyetujui. Jill meminta Takashi mengambilkan boneka tedy bear yang sedang bersandar manis di antara tumpukan mainan Ken. Jill menimpuk boneka tersebut pada Fitri. “Kamu ini, kupikir kamu akan bilang begini “Tenang saja, Jill, aku yang akan membantumu. Ternyata kamu hanya mengandalkan Ume-san!” Jill menggerutu. “Aku pasti membantumu jika tidak ada syuting, Temanku.” “Ya sudahlah, kamu sibuk sekali!” Fitri merayu Jill yang cemberut. Sesekali dicubitnya pipi Jill. Takashi hanya tersenyum-senyum melihat mereka. *** Fitri yang baru saja selesai syuting segera menuju gereja tempat Jill dan Kazuma melangsungkan pernikahan. Namun, sebagai seorang muslimah yang taat ia tak ikut masuk ke gereja, meskipun dengan alasan toleransi, karena baginya toleransi beragama bukan seperti yang kebanyakan orang lakukan saat ini, 'mengkambinghitamkan’ kata toleransi sebagai alasan ikut merayakan hari besar agama lain atau ikut bersukacita di dalam tempat ibadah agama lain. Bagi Fitri makna kata toleransi tak sesempit itu, ia sangat menghormati kegiatan beribadah agama lain dengan tidak mencampuri atau pun mengganggunya. Hari bahagia Jill dan Kazuma berlangsung dengan khidmat. Di depan pendeta mereka mengikrarkan janji suci pernikahan. Kedua pasangan suami istri itu kemudian terlihat berlari ke arah buah hatinya dan menggendong bocah itu bersama-sama. Ken, bocah kecil itu terlihat bahagia menyaksikan kedua orangtuanya telah menikah. Sementara Fitri menyaksikan peristiwa sakral itu dari layar besar yang diletakkan di luar gereja. “Alhamdulillah.” Fitri menghapus bulir haru yang mengalir hangat di pipinya. Fitri yang sedang larut dalam keharuan itu, tiba-tiba merasakan ponselnya bergetar, sebuah panggilan telepon dari nomor Takashi. “Halo, Assalamualaikum, Takashi-san.” “Wa-wa-al ... kum ... wa-wa ... maaf aku belum hapal. Mmm ... Suada-chan di mana?” “Oh baiklah. Kapan-kapan kita belajar, ya. Saya di luar gereja. Kamu?” “Oh, saya di dalam. Tunggu di sana, ya.” Beberapa menit kemudian Fitri melihat Takashi keluar dari gereja dan berjalan ke arahnya. “Kenapa tidak masuk saja, Suada-chan?” “Saya tidak bisa masuk ke gereja.” “Kenapa?” Takashi mengernyit. “Hanya ingin taat pada Islam. Islam sangat menghargai perbedaan, tetapi Islam tidak pernah memuliakan kita yang mencampuradukkan agama. Menurutku masuk ke tempat ibadah agama lain tanpa alasan yang urgent termasuk ke dalam tindakan itu.” “Sou desuka? Sumimasen karena saya sudah melakukan itu.” Takashi membungkukkan badannya. “Daijobu ... daijobu.” Fitri ikut membungkukkan badan. “Ya sudah. Kalau begitu saya berjanji bahwa saya tidak akan masuk rumah ibadah agama lain kecuali dalam keadaan darurat. Kita tunggu Jill dan Kitano-san di sini. Oh ya, saya akan beritahu Jill bahwa kita di sini,” ujar Takashi sambil mengirimi Jill pesan singkat. Sementara Fitri mengambil dan menghidupkan laptopnya. “Bagaimana syuting hari ini?” “Alhamdulillah lancar, Takashi-san.” Fitri menjawab pertanyaan itu tanpa menoleh pada Takashi. Ia terlihat fokus pada layar laptop. Takashi melihat sebuah gulungan kertas yang menyembul dari tas Fitri. Ia tertarik untuk mengetahui apa yang tertulis di sana. Ia menarik benda itu pelan-pelan tanpa diketahui oleh Fitri. Pemuda itu tersenyum-senyum saat membaca tulisan dari gulungan kertas yang ternyata adalah naskah film yang sedang digarap oleh Fitri. Sepertinya ia sadar bahwa kisah yang ditulis Fitri itu sebenarnya adalah curahan hati Fitri sendiri. Namun, ia tak menanyakan hal itu karena Takashi sadar bahwa gadis itu tak akan mengakui jika ia menanyakan hal tersebut sekarang. Akan ada saat yang tepat untuk mendengarkan ungkapan cinta dari gadis itu. Fitri sama sekali tak menyadari bahwa Takashi sedang membaca naskahnya. Ia sibuk berkutat dengan laptop, menyaksikan video syuting hari ini yang baru selesai. Saat Takashi mengembalikan gulungan kertas itu ke dalam tas, dan bahkan sampai Jill keluar bersama keluarga kecilnya dari gereja—dengan senyum yang mengembang di bibir mereka—Fitri masih fokus ke layar laptopnya. *** Tidak terasa waktu sebulan sudah berlalu. Usai sudah aktivitas syuting film perdananya. Fitri dan rombongannya siap untuk kembali ke Indonesia. Mereka yang pada awalnya berjumlah tiga puluh orang bertambah empat orang lagi. Takashi, Jill, Kazuma dan Ken. Tak ada luka yang abadi *** Sou desuka : oh begitu daijobu : Tidak apa-apa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD