MALAIKAT PENOLONG

1179 Words
Ambulans meraung-raung di sepanjang jalanan menuju Tokyo Metropolitan Hiroo Hospital. Mereka melarikan Fitri yang tengah kritis ke rumah sakit. Jill sangat cemas. Di dalam hati ia terus bertanya-tanya apa sebenarnya yang sudah terjadi pada teman barunya itu. Fitri kehilangan banyak darah. Namun, persediaan darah yang sama dengannya sedang habis. Jill mencoba menghubungi beberapa orang temannya, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang memiliki golongan darah yang sama. Sementara itu, seorang pemuda yang berdiri di sebelah Jill terlihat sedang tersenyum-senyum saat memandang kamera di tangannya. Mengetahui bahwa gadis di sebelahnya tengah mencari seseorang berdarah O, pemuda bertubuh jangkung tersebut mendekati Jill. Dengan berbahasa Inggris ia menyapa Jill. “Kamu mencari orang berdarah O?” “Iya. Benar sekali.” “Darahku O,” ujar pemuda itu tersenyum. “Really?” Jill sangat senang karena pemuda berambut sebahu yang awut-awutan itu—yang memakai kacamata bulat—bersedia mendonorkan darahnya untuk Fitri. *** “Sekali lagi, terima kasih banyak.” Jill kembali membungkukkan badan. Ia benar-benar lega setelah mengetahui proses transfusi darah berjalan lancar. Ia sangat bersyukur bisa bertemu pemuda sipit berwajah tampan yang dengan senang hati mendonorkan darah untuk teman barunya itu. “Sama-sama. Kalau begitu, aku permisi dulu. Sampaikan salamku untuk temanmu.” Pemuda tersebut tersenyum. Jill membalas dengan senyuman manis dan khas karena dua gigi serinya yang besar seperti gigi kelinci. Pemuda yang hendak mengeja langkah itu tiba-tiba berhenti, kemudian berujar. “You are so beautiful.” Ia tersenyum sambil mengedip genit. “Domo arigatougozaimashita.” Jill tersipu malu. Ia kembali tersenyum dengan gigi kelinci yang semakin membuatnya terlihat sangat manis. Pemuda itu bergerak menuju lobi rumah sakit, meninggalkan gadis bule yang masih tersipu malu karena pujiannya. *** “Apa yang sebenarnya terjadi, Fitri?” Jill segera menyampaikan rasa penasarannya begitu Fitri siuman “Kitano-san ingin memerkosaku. Aku berusaha melindungi diri sampai akhirnya terjatuh, hingga kepalaku terbentur dan tidak sadarkan diri lagi.” Fitri menceritakan kejadian yang dialaminya. “Ka-Kazuma!?” Ponsel di tangan Jill jatuh dan berderai. Ia sangat kaget mendengar berita yang barusan melompat dari mulut Fitri. Air mukanya terlihat seakan mendidih. Matanya memerah dan memancarkan air mata luka. Jill tak kuasa membendung air kesedihan itu. Fitri yang berada di sana menjadi merasa bersalah. “Jill, sorry. I didn’t mean to....” Kalimat yang ingin diutarakan Fitri terhenti karena Jill menyetopnya. “Okay. I know it,” ujar Jill berusaha untuk menenangkan perasaannya yang berkecamuk. “Fitri, kamu harus divisum. Aku khawatir jika ....” Jill tak kuasa meneruskan kalimatnya. Hanya air mata yang menjelaskan kegundahannya.. Meskipun pakaian Fitri tak terlihat acak-acakkan seperti habis diperkosa, tetapi Jill tetap membawa Fitri ke ruang visum untuk memastikan bahwa Fitri memang baik-baik saja. Dan hasil visum menunjukkan bahwa Fitri tak mengalami p*******n. “Maafkan aku, Fitri. Aku sudah membahayakan nyawamu.” Jill merangkul Fitri dengan terisak. Betapa pun ia sangat marah dengan perbuatan Kazuma, tetapi rasa cintanya juga sangat besar pada pemuda itu. Pergolakan batin membuat dirinya tak kuasa menahan air mata. “Laki-laki b***t! Pantas saja aku tidak bertemu dengannya tadi, dia telah berbohong dan mencuri kunci kamarku,” ungkap Jill sambil menghapus bulir luka yang terus mengalir itu. “Sudahlah, Jill. Aku tidak apa-apa.” Fitri melepaskan rangkulan mereka. “Aku merasa bersalah padamu, Fitri,” ujar Jill lagi dengan tatapan yang menjelaskan bahwa bukan hanya rasa bersalah yang ada di hatinya saat itu, tetapi ada luka lain yang lebih mendominasi dan Fitri sangat mengerti. “Aku baik-baik saja. Kitano-san tidak memerkosaku, ‘kan? Sudahlah, Jill, berhentilah membohongi perasaan. Aku tahu kamu sedang berusaha menyembunyikan lukamu. Aku minta maaf atas kejadian ini.” Kali ini Fitri yang merasa dirinya bersalah. Ia menekur dan tercenung. “Ya ampun, Fitri, kenapa sekarang kamu yang meminta maaf? Kamu sama sekali tidak bersalah. Dirimu adalah korban, bukan?” Jill memegang tangan Fitri. “Kamu tidak marah padaku?” tanya Jill lagi sambil mengangkat dagu Fitri. Jill berusaha melupakan sejenak rasa gundahnya. Ia tak ingin membebani Fitri dengan luka yang baru saja menghampirinya. “Tentu saja tidak. Tidak ada alasanku untuk marah padamu.” Fitri menurunkan tangan Jill dari dagunya dan menggenggam tangan gadis bule itu. “Aku baik-baik saja. Kuharap kamu pun begitu.” Fitri berusaha meyakinkan Jill. “Iya, aku juga. Oh ya, sebagai tanda maafku, kamu boleh meminta apa pun. Aku akan mengabulkannya.” Jill mengeratkan genggaman tangan mereka. “Benarkah? Kalau begitu aku ingin kamu tidak melakukan aborsi,” jawab Fitri tanpa pikir panjang. “Bisakah kamu meminta yang lain?” Jill terlihat keberatan. Ia melepaskan genggaman tangan mereka dan mengedarkan pandangannya ke arah jendela kamar, tatapannya menerawang. "Aku tidak menginginkan yang lain " Fitri menggeleng. Jill bergeming—cukup lama. Sementara Fitri pun tak berniat mengganti permintaannya. “Baiklah, aku tidak akan melakukannya,” ujar Jill akhirnya mantap. Entah terpaksa atau bagaimana, yang jelas dia terlihat berusaha meyakinkan diri. Fitri sangat senang mendengar jawaban Jill. Tanpa dikomandoi, ia menghambur ke pelukan gadis itu. “Terima kasih, Jill.” Terima kasih, Ya Allah. “Oh ya, tadi kamu kehabisan banyak darah, untung saja ada malaikat penolong yang mendonorkan darah untukmu.” Jill melepaskan pelukan mereka. “Malaikat penolong?” Fitri mengernyit. “Iya. Tadi dia titip salam untukmu.” “Siapa namanya?” “Aduh keterlaluan sekali aku. Aku lupa menanyakan namanya. Yang kuingat, pemuda itu tinggi, berkumis, urakan, rambutnya sebahu, memakai kacamata bulat, dan ... dia sangat seksi. Oh my god!” Jill terlihat bersemangat. Padahal baru saja ia merasa dunianya hancur karena perbuatan yang dilakukan Kazuma, kini dirinya terlihat baik-baik saja—mungkin. “Ah, memangnya di dunia ini cuma satu orang saja yang punya ciri-ciri seperti itu?” Fitri memberengut. “Sorry.” Jill tersenyum, tetapi dengan ekspresi tak enak hati. “Padahal aku, kan, ingin berterima kasih padanya.” Fitri masih terlihat kecewa. “Maaf, ya. Yang paling kuingat adalah dia sangat pandai merayu.” Jill tersenyum-senyum. “Selain gigimu yang mirip kelinci, kamu juga punya perilaku yang sama. Kamu Playgirl. Dasar Miss Rabbit.” Fitri menertawakan sahabat barunya itu. *** Kondisi Fitri sudah pulih dan dokter sudah mengizinkan pulang. Giliran Jill yang berurusan dengan dokter. Bukan karena sakit, tetapi ia ingin mengganti giginya yang terlihat seperti gigi kelinci. Entah bagaimana ia sangat terganggu dengan giginya yang menurut Fitri membuat Jill terlihat lebih cantik, meskipun Fitri sering menggoda sahabat bulenya itu dengan panggilan “Miss Rabbit”. Cukup lama Fitri menunggu. Akhirnya Jill keluar dari ruangan praktek dentist. Dengan sengaja ia menyunggingkan senyuman pada Fitri. Ternyata, bukan hanya giginya yang ia ganti. Jill juga menggunakan kawat gigi dan entah kenapa warna hitam menjadi pilihannya. “Kamu jelek sekali sekarang. Aku suka kamu yang sebelumnya.” “Kamu ini. I’m not confident.” “Sekarang gigimu terlihat seperti gigi manusia purba yang tidak pernah digosok. Dasar Gigi Hitam!” Fitri menertawakan Jill. “Kamu selalu saja meledekku. Untung saja kepalamu masih diperban. Lihat saja nanti kalo perbannya sudah dibuka, akan kupukul!” gerutu Jill sambil membimbing Fitri menuju mobilnya. Kedua gadis itu saling menertawakan satu sama lain. Ini semua karena Kazuma pernah memintaku, Fitri. Begitulah kalimat yang hanya tebersit di dalam hati Jill.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD