MENCARI TUHAN

1089 Words
Hujan tak kunjung berhenti. Langit malam membentang tanpa bintang-bintang. Cuaca buruk itu menyebabkan terganggunya aktivitas lalu-lintas. Macetnya jalanan membuat pemuda itu memilih berselancar di media sosial untuk menghilangkan kejenuhan sebuah penantian panjang. Menunggu giliran mobil yang dikendarainya bisa kembali berjalan di tengah kemacetan parah itu ibarat menantikan keong yang beringsut-ingsut ingin pindah dari sawah satu ke sawah di sebelahnya, sangat lama dan membosankan. “Apakah Tuhan itu ada?” Pertanyaan itu adalah judul sebuah artikel yang muncul di beranda f******k-nya. Ia tak tertarik untuk membaca berita itu. Dirinya memang tak percaya Tuhan, sehingga informasi yang ada dalam karya tulis itu sama sekali tak dibutuhkannya. Sosok berambut gondrong itu dengan santai mengabaikan begitu saja pembahasan tentang Tuhan tersebut dan memilih menikmati hal-hal lain yang menurutnya bagus. Hingga akhirnya apa yang ditunggu-tunggunya pun datang, kesempatan untuk menjalankan kembali kendaraan roda empat yang akan mengantarkannya pulang ke apartemennya di Tokyo. *** “Apakah Tuhan itu ada?” Tiba-tiba Umehara Takashi teringat tentang judul artikel yang sempat muncul di beranda f******k. Informasi yang tadinya tak menarik justru memancing rasa ingin tahunya. Takashi buru-buru masuk ke kamar untuk bisa mengaktifkan kembali ponselnya yang kehabisan baterai agar bisa mencari tahu tentang artikel itu. Namun, ia teringat bahwa dirinya tak perlu menunggu gawainya terisi. “Bukankah aku punya komputer? Kenapa harus menunggu ponsel?” ujarnya sambil cengar-cengir sendiri. Setelah sekian lama ia tak memedulikan tentang hal-hal berbau ketuhanan, diawali dengan tak sengaja melihat artikel, kali ini pemuda itu tergerak untuk mengetikkan pertanyaan tersebut di laman pencarian internet. Sebenarnya ia tak percaya dengan keberadaan Tuhan, sehingga tak perlu lagi mencari tahu. Namun, ketidakpercayaannya itu seakan membuat dirinya seperti tak memiliki tujuan, tak tahu arah. Ia menyadari hidupnya terasa hampa, hambar, tak jelas, tak beraturan, dan kacau. Namun, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah dirinya mempercayai Tuhan? Sementara tak ada hal yang bisa membuatnya mengakui keberadaan-Nya. Lagi pula dirinya tak yakin, apakah dengan mempercayai Tuhan ia akan menemukan ketenangan? Pemuda jangkung bermata minimalis itu meraih botol sake yang isinya sudah tinggal sedikit dan menenggaknya hingga habis. Minuman beralkohol sisanya tadi siang itu cukup untuk menghangatkan tubuhnya dari dinginnya udara di luar sana. Setelah menaruh wadah kaca transparan berwarna hijau yang sudah kosong itu di atas meja, ia kembali fokus membaca beberapa artikel yang muncul sebagai hasil dari pencariannya. Namun, tetap saja tak ada jawaban yang memuaskan batin. Sosok berambut gondrong itu memutuskan untuk mematikan komputer dan mengganti aktivitasnya. Sosok tampan berwajah oriental itu meninggalkan meja komputer, beranjak mendekati rak buku yang berada di sudut kamar yang berukuran tak terlalu besar itu, kemudian mengambil sebuah kamera yang selalu setia menemani ke mana saja ia pergi. Sebagai seorang fotografer sewaan, benda pemotret yang tengah digenggamnya itu sudah diibaratkan seperti cangkul untuk seorang petani, stetoskop untuk seorang dokter, kanvas untuk pelukis, benar-benar berguna untuknya. Ia mengutak-atik benda penyimpan gambar di tangannya itu, memandangi setiap foto yang muncul sebagai hasil jepretannya. Potret terbaru yang muncul adalah dua orang gadis belia yang menyewa jasanya di sebuah kafe di daerah Okubo. Pemuda itu tersenyum-senyum sendiri saat mengingat tingkah genit dua sosok cantik tersebut. Figur berwajah oriental tersebut masih ingat bagaimana centilnya kedua gadis itu mencium pipinya. Tiba-tiba fokus netranya terarah pada sosok lain yang tak sengaja ikut tertangkap dalam potretan tersebut. Sosok gadis berpenampilan unik yang mengenakan sesuatu di kepalanya, entah syal atau topi. Entahlah. Ia belum pernah melihat orang berpenampilan aneh seperti itu. “Menarik juga style gadis ini,” gumamnya sambil mengangguk-angguk, mengiyakan pendapatnya sendiri. Takashi kembali memperhatikan gadis itu dengan saksama. Ia menebak bahwa sosok berpakaian tak lazim, menurutnya, itu memiliki wajah yang cantik, tetapi sayang tangkapan kameranya tak fokus pada sosok itu, sehingga potretannya sama sekali tak jelas. Tokk! Tokk! Tokk! Seseorang mengetuk-ngetuk pintu kamar itu. Ia yakin bahwa sosok di luar sana—tentu saja adalah pemilik apartemen—yang tak lain adalah sang kekasih yang pulang dari rumah sakit. Hamasaki Akane, dokter jelita yang sudah sekian tahun berpacaran dan tinggal bersamanya tanpa ikatan pernikahan. Takashi berjalan ke arah pintu untuk membiarkan gadis itu masuk. “Halo, Sayang.” Gadis bertubuh ramping itu langsung menyapa Takashi dan menghadiahi pacarnya itu dengan ciuman di pipi, kemudian ia menepuk-nepuk pipi pemuda yang sangat dicintainya itu dengan manja. Akane meletakkan stetoskop dan tasnya di atas tempat tidur, membuka seragam dokter yang dikenakannya, meraih handuk yang menggantung di jemuran portabel dan menuju kamar mandi untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di tubuhnya setelah seharian bekerja. Sebelum masuk ke kamar mandi pandangan Akane terarah ke atas meja dan mendapati botol sake di sana. “Taka, Kau mabuk?” Akane mengarahkan pandangan pada kekasihnya yang saat ini sudah mengenyakkan tubuh di atas tempat tidur. “Itu hanya sake, Akane.” “Kau yakin hanya minum sake,’kan? Tidak minum yang lain?” “Aku hanya minum sake. Aku minum untuk menghangatkan badan saja.” Takashi tahu Akane sudah berkali-kali mengingatkannya untuk berhenti meminum minuman beralkohol lain selain sake. Hanya minuman olahan rendaman beras itu yang masih diizinkan Akane untuk diminum Takashi, selain untuk menjaga kesehatan Akane tak suka bau alkohol. Sejak mereka berpacaran, Takashi sudah berhenti meminum minuman keras, selain sake, tetapi Akane tetap saja nyinyir mengingatkannya. “Ya sudah, kalau begitu aku mandi dulu, ya, Sayang.” Akane hendak mengeja langkah menju kamar mandi. Namun, tiba-tiba Takashi memintanya untuk berhenti sebentar. “Ada apa, Sayang?” “Menurutmu Tuhan itu ada atau tidak, Akane?” “Kenapa tiba-tiba membahas ini, sih, Taka?” Akane sangat heran karena tiba-tiba pacarnya itu menanyakan sesuatu yang ia tahu selama ini tak pernah menarik untuk Takashi. “Seperti yang kau tahu, aku percaya tuhan itu ada. Kau sendiri sering lihat,kan, aku sering berdoa? Kepada siapa aku berdoa jika bukan kepada Tuhan?” Akane menunda rencananya untuk mandi. Ia menghampiri Takashi dan duduk di bibir tempat tidur. “Katakan padaku apa yang terjadi. Apa yang membuatmu tiba-tiba membahas Tuhan, Sayang?”Akane membelai rambut Takashi dengan lembut. “Aku hanya tiba-tiba tertarik untuk membahasnya. Oh ya, ngomong-ngomong apa kau bisa terima jika pacarmu tak mempercayai hal yang kau percayai?” Takashi melirik Akane agar bisa melihat bagaimana ekspresi gadis cantik itu. “Aku tidak masalah jika kau tak mempercayai Tuhan. Aku sangat menghargai privasimu, Sayang. Aku hanya bingung, apa yang sebenarnya menimpamu? Kenapa kau jadi aneh seperti ini?” “Aku penasaran. Aku ingin mencari Tuhan.” “Mencari Tuhan?” Akane mengangkat kedua alisnya. Ia merasa pacarnya menjadi aneh. Dirinya tak masalah jika Takashi ingin belajar tentang Tuhan. Namun, perubahan yang tiba-tiba itu terkesan sangat aneh. Akane meninggalkan Takashi, yang sibuk bermain ponsel, dan melanjutkan rencananya untuk mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD