Dilema

1946 Words
Tepat pukul tiga dini hari. Alarm ponsel yang sudah diatur untuk berdering, membuat Fitri terbangun dari tidurnya yang cukup nyenyak. Seperti biasa dirinya memang selalu bangun untuk melaksanakan Salat Tahajud. Kali ini bukan hanya Tahajud, tetapi juga Istikharah. Dengan kondisi kesadaran yang masih dalam proses menuju maksimal, dirinya bergerak ke kamar mandi untuk berwudu. Ia benar-benar berharap dengan melaksanakan Salat Istikharah dirinya semakin yakin untuk menerima lamaran Afash. “Ya Allah, jika memang Bang Afash adalah jodoh yang telah engkau pilihkan untuk hamba, maka hamba mohon tetapkanlah keyakinan hamba untuk menerimanya. Satukan kami dalam ikatan halal pernikahan. Amin.” Fitri sangat tenang setelah melakukan Salat Istikharah. Sudah ia mantapkan hatinya dengan hal yang ia pilih. Ponsel yang terletak di atas meja berdering. Sebuah panggilan video dari akun Line Jill. “Hai, Jill. Apa kabar? Aku rindu padamu dan juga Ken.” “Iya aku juga. Oh ya, aku ada informasi buatmu.” Gadis berambut cokelat itu terlihat serius. “Informasi apa?” Fitri penasaran. Ia menarik kursi kecil di samping tempat tidur dan duduk. “Informasi tentang Ume-san. Dia....” Panggilan video itu terputus. Kualitas jaringan yang buruk membuat informasi dari Jill menggantung. Fitri sangat penasaran dan mencoba menghubungi Jill kembali, tetapi tak bisa terhubung, membuat gadis itu menjadi semakin tak tahu arah. Takashi-san? Apa yang terjadi padanya? Fitri merasa khawatir pada pemuda bermata sipit itu. Perasaannya tak bisa dibohongi saat mendengar nama pemuda tersebut, dirinya kembali merasakan hal yang ingin dilupakan. Cinta? Benar. Ia mencintai pemuda itu. Ia sangat merindukan Takashi. Tiba-tiba, air mata Fitri menitik. “Ya Allah. Kenapa hamba kembali ragu untuk menerima Bang Afash? Apa yang harus hamba lakukan?” Fitri yang awalnya sudah merasa yakin untuk menerima cinta Afash tiba-tiba merasa ragu. Bukannya bertambah yakin untuk menerima Afash, pikiran Fitri malah semakin tak keruan. Ia terlihat uring-uringan, sebentar duduk, sebentar berbaring, duduk, berbaring, dan kemudian mondar-mandir tak jelas. “Astagfirullahal’adzim. Kenapa aku seperti orang bodoh begini, ya Allah? Harusnya aku istikharah lagi, ‘kan? Iya. Aku harus Istikharah lagi.” Fitri bergerak menuju kamar mandi untuk berwudu. “Ya Allah, hamba kembali beristikharah berharap akan petunjukmu, jika Bang Afash adalah calon imam hamba. Yakinkan hamba. Jangan ragukan lagi hati ini. Jangan hadirkan lagi rasa untuk Takashi, ya Allah.” Kali ini Fitri tak sanggup membendung air mata, apalagi saat berharap dirinya bisa melupakan Takashi. Fitri menanggalkan mukena dan menggantungkan kembali. Perasaannya masih belum tenang, tetapi setidaknya ia sudah dua kali beristikharah sehingga ia berharap sebentar lagi dirinya akan menemukan jawaban atas keraguan yang menderanya saat ini. Tokk! Tokk! Tokk! “Assalamualaikum!” Seseorang mengetuk pintu dan mengucapkan salam dari luar. Fitri mengenakan jilbab dan bergerak ke arah pintu dan membukanya. “Waalaikumussalam.” Fitri terkejut saat mengetahui siapa tamunya. “Ba-Bang Afash?” “Maaf, Fit, aku tiba-tiba datang. Aku hanya ingin memberi ini.” Afash memberikan sebuah kotak. “A-apa ini, Bang?” Fitri mengernyit. “Buka saja nanti. Oh ya, aku permisi dulu. Assalamualaikum.” “Wa-waalaikumussalam.” Mobil Afash bergerak menjauh dan Fitri masih terpaku berdiri di depan pintu, sementara kotak di tangannya—terlihat sangat mengundang penasaran— masih digenggamnya. Etek Maryam—yang ternyata sudah memperhatikannya semenjak Afash datang dan kemudian pergi lagi—terlihat menuju rumah Fitri. “Fit, si Afash ngapain ke sini?” “Bang Afash cuma ngasih ini, Tek.” Fitri menunjukkan kotak di tangannya. “Oh gitu, ya. Lain kali kalau ada tamu laki-laki, lu panggil Etek atau Makdang, ya,” “Iya, Tek, insyaallah pasti aku panggil. Tadi itu, Bang Afash cuma sebentar, jadi aku belum sempat manggil Etek.” “Iya, tadi Etek liat, kok. Oh ya, tadi Afash nelpon Makdang lu, katanya minggu depan mau ke sini, makanya tadi Etek heran, kok, dia udah nongol aja. Ya udah, Etek ke rumah dulu. Lu udah sarapan? Etek masak lontong, noh.” “Udah, kok, Tek. Tapi nanti aku minta lontongnya, ya.” "Ambil aja ke rumah. Udah. Lu masuk, dah. Selamat membuka hadiah dari calon suami.” Etek Maryam tersenyum-senyum menggoda Fitri, kemudian bergerak menuju rumahnya. Fitri menutup pintu dan buru-buru menuju kamar. Ia sebenarnya sangat penasaran dengan apa isi kotak yang diberi oleh Afash barusan. Ia menggunting pita yang mengikat kotak itu dengan hati-hati, perlahan ia menarik benda yang tersimpan di dalamnya. Betapa terkejutnya Fitri saat bertemu kembali dengan benda miliknya yang dulu pernah hilang. “Di-diariku? Ja-jadi Bang Afash yang nemuin? Pantesan Bang Afash tahu kalo aku pernah suka sama dia.” Fitri membolak-balik catatan kenangan itu. Curahan isi hatinya tentang rasa yang ia simpan untuk Afash. Segala bentuk kebahagiaan saat jatuh cinta terlukiskan dalam tulisannya itu. Kegalauan masa lalu kembali hadir mengundang air matanya untuk terbit. Di bagian tengah diari itu Fitri menemukan secarik kertas yang dilipat. Fit, Maaf ya. Aku dulu nggak jujur kalo aku yang nemuin diari kamu. Maaf juga kalo aku nggak berbakat menulis dengan bahasa yang indah seperti yang kamu gunakan dalam menulis curhatan kamu ini. Aku hanya menulis apa yang kurasa. Apa adanya, Fit. Terima kasih, ya, untuk semua kebaikan kamu. Untuk semua rasa yang kamu simpan untukku. Mungkin dulu aku terlalu jahat. Setelah membaca diarimu, aku malah berniat ingin memberimu harapan palsu. Entah apa yang aku pikirkan saat itu? Aku benar-benar picik, bertingkah seakan menyukaimu, tapi malah melamar wanita lain. Kupikir aku akan menjadi pria hebat karena berhasil membuat seorang wanita patah hati. Namun, setelah kita tak pernah bertemu lagi. Akhirnya aku sadar bahwa aku justru merindukanmu. Aku pikir diri ini tak mencintaimu, tapi setelah kepergianmu aku menjadi tersiksa oleh perasaanku sendiri. Maafkan aku Fit. Aku benar-benar menyayangimu. Tak bisa terbendung air mata Fitri yang menderas setelah membaca ungkapan maaf dan rasa bersalah dari Afash. Sikap terus terang Afash membuat Fitri menjadi menaruh empati pada pemuda itu. Ia bisa merasakan kesungguhan Afash. Dirinya semakin yakin untuk menerima Afash. “Mungkin ini adalah jawaban dari Istikharahku barusan. Alhamdulillah.” Fitri menyeka air mata. Sejauh-jauh hati yang sempat terjatuh pada pria bermata sipit itu, ternyata cinta pertama adalah pemenangnya. Mungkin. Saat ini hati Fitri sudah yakin dengan keputusannya untuk menikah dengan Afash. Namun, tiba-tiba gadis itu kembali teringat pada panggilan Jill yang terputus. “Ada apa, ya, Jill meneleponku? Apa yang terjadi dengan Takashi? Apa aku coba telepon lagi untuk memastikan?” Fitri meraih ponselnya dan bersiap-siap untuk menghubungi Jill. “Ng ... enggak jadi ah, paling juga Jill mau bilang tentang pernikahan Takashi dan Akane.” Fitri mengurungkan niat dan mengempaskan ponselnya begitu saja di atas kasur, kemudian berjalan ke luar, ia berniat ingin ke rumah Makdang Burhan untuk makan lontong buatan Etek Maryam. *** Tak terasa waktu seminggu berjalan begitu cepat. Hari yang mendebarkan itu datang bersama seseorang yang menciptakan debaran itu. Afash sudah berada di rumahnya, sedang berkelakar dengan Makdang Burhan dan menikmati bolu pisang buatan Fitri. Sementara Etek Maryam menuju kamar Fitri untuk memanggil gadis yang akan dilamar itu. “Fit, Afash udah datang, noh!” teriak Etek Maryam di luar kamar Fitri. Fitri yang baru saja selesai salat Istikharah—untuk ketiga kalinya—menanggalkan dan menggantung mukenanya. “Iya, Tek, Fitri make jilbab dulu.” Fitri mengenakan jilbab berwarna cokelat muda itu. “Bismillahirrahmanirrahim.” Fitri memantapkan hati, dengan langkah sedikit gemetar ia menuju ruang tamu. Ia mencoba mengatur napasnya dan dengan yakin dirinya berjalan mendekati ketiga orang yang terlihat sangat akrab bercerita itu. “Assalamualaikum.” Fitri menyapa mereka, kemudian menunduk, ia tak sanggup bertatapan dengan pemuda yang duduk di antara Makdang Burhan dan Etek Maryam tersebut. “Waalaikumussalam.” Ketiga orang itu menjawab dengan serempak. “Duduk Fit!” pinta Makdang Burhan. Fitri pun manut dengan perintah itu. Lagi-lagi ia duduk di sebelah Etek Maryam. “Karena Fitri sudah di sini, saya langsung aja ke tujuan, ya, Makdang? Tek?” pinta Afash sopan. “Oh ya udah, silakan.” Makdang Burhan mengangguk-angguk. “Baiklah. Bismillahirrahmanirrahim. Dengan disaksikan Makdang Burhan dan Etek Maryam, aku ingin melamarmu, Fit. Apa kamu bersedia menerima lamaran ini?” Afash memandangi Fitri dengan tatapan penuh harap. Entah apa yang sedang dipikirkan Fitri, ia terlihat tak fokus dengan pertanyaan Afash. Dirinya yang tadi sudah yakin akan mengatakan “iya” tiba-tiba malah kembali didera keraguan. Tak tahu apa penyebabnya tiba-tiba pemuda Jepang itu kembali mengganggu ingatan Fitri. Astagfirullahal’adzim. Ya Allah, ada apa ini? Kenapa hamba tiba-tiba malah memikirkan Takashi lagi? Ya Allah, ampuni hamba, kenapa hamba kembali memikirkan laki-laki yang mungkin saja sudah menjadi suami orang? Astagfirullahal’adzim ... Astagfirullahal’adzim ... Astagfirullahal’adzim “Bagaimana, Fit?” Etek Maryam yang bingung melihat Fitri bermenung pun mencoba memanggilnya, dan tentu saja hal itu membuat Fitri tersentak. “Astagfirullahal’adzim.” Fitri menghela napas perlahan. “Aku ... aku ... sebelumnya aku ... sebelumnya aku ... ng ... aku minta maaf, Bang Afash. Mungkin Bang Afash akan kaget, marah dan bahkan membenciku. Aku enggak tahu, kenapa tiba-tiba menjadi ragu. Aku tidak bisa menerima lamaran ini, Bang.” Entah sejak kapan Fitri berubah pikiran. Ia tiba-tiba mengubah jawaban yang sudah direncanakannya jauh hari. Afash spontan berdiri. Tentu saja ia sangat kaget. Gurat wajah pemuda itu menjelaskan bahwa ia sangat kecewa dan marah. Matanya memerah, kedua alisnya naik. Dirinya benar-benar tak menyangka bahwa jawaban Fitri akan berubah begitu saja. Pemuda itu bergeming dan tercenung. Ia terlihat berusaha menahan air mata. “Apa maksud semua ini, Fit?” Afash masih berusaha menahan kesedihan. “Maafkan aku, Bang. Aku takut menerima sesuatu dalam keraguan. Aku takut kita sama-sama kecewa nantinya. Sekali lagi maafkan aku.” Fitri tertunduk, air matanya tak sanggup ia tahan. “Fit! Kamu mau mempermainkan aku, ya? Aku udah nungguin kamu selama bertahun-tahun, tapi ini balesan kamu? HAH?” Afash sangat emosi, sehingga dengan refleks dirinya mengarahkan telunjuknya ke Fitri. “Eeh, apa-apaan lu nunjuk-nunjuk ponakan gua? Lu udah denger, kan, jawaban Fitri? Jadi, lu kagak punya hak buat maksa dia nerima lu. Mau lu kata udah nunggu dia seribu tahun, kalo dia kagak demen jangan dipaksa gitu, dong!” Makdang Burhan spontan berdiri. “Makdang, biarkan saja Bang Afash melampiaskan amarahnya, semua ini salah Fitri. Fitri yang menjanjikan pernikahan itu.” Fitri terisak. “Bang Afash maafkan aku.” Fitri memohon. “Cukup, Fit. Enggak perlu minta maaf, terima kasih untuk jawaban yang sudah aku tunggu selama bertahun-tahun. Aku harap kamu juga akan merasakan bagaimana rasanya betapa sakit sebuah penolakan!” Afash terlihat sangat emosi. Makdang Burhan naik pitam. "Eh, lu mendingan pegi, dah, dari sini! Pake segala nyumpahin ponakan gua!” usir Makdang Burhan. “Oke, aku akan pergi!” Tanpa berpamitan pada siapa pun, Afash berjalan menuju mobilnya. Ia masuk dan membanting pintu kendaraan roda empat tersebut sangat keras dan dengan hitungan menit, kendaraan tersebut melaju kencang dan menjauh. Fitri terlihat bermenung, cukup lama. Kedua manik matanya entah memandang ke mana? Gadis bermata bulat itu terlihat menerawang. Ia merasa sangat bersalah pada Afash. Etek Maryam yang mengerti dengan kondisi perasaan Fitri saat itu mencoba mendekati. “Sudahlah, Fit, jangan terlalu menyalahkan diri. Semua sudah terjadi.” Etek Maryam merangkul Fitri. Makdang Burhan juga mendekati Fitri, tetapi dengan ekspresi marah. “Fit, coba lu jelasin ke gua, apa maksudnya tadi lu bilang kalo lu yang janjiin pernikahan?” “Maafin Fitri Makdang. Iya, Fitri yang janjiin ke Bang Afash bahwa Fitri akan menerima lamarannya, tapi tiba-tiba Fitri merasa ragu, makanya Fitri langsung tolak.” Fitri menunduk. “Jujur, ya, Fit, gua marah banget sama lu. Lu itu udah dewasa, tapi gegabah. Kagak mikir dengan mateng! Gua mau nanya lagi ke lu, atas dasar apa lu tiba-tiba nolak dia? Padahal awalnya lu berencana menerima. Apa ada laki-laki lain?” “Fitri belum bisa cerita apa-apa, Makdang.” Fitri masih menekur. Air matanya semakin berderai. “HAH! SERAH, DAH!” Makdang Burhan meninggalkan rumah Fitri dengan ekspresi sangat gusar. Sementara Etek Maryam kembali merangkul Fitri yang terisak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD