Rindu Dari Masa Lalu

1192 Words
Fitri terenyak di sudut tempat tidur. Ia terlihat menerawang. Pikirannya tak tenang. Bayangan Afash terus menerus mengganggunya. “Ya Allah, kenapa hamba kembali memikirkan Bang Afash? Kenapa hamba merindukan semua yang pernah dilalui bersamanya?” Air kesedihan itu membasahi pipi Fitri. “Astaghfirullah! Ya Allah, ada apa ini? Tidak! Aku tidak boleh seperti ini.” Fitri merebahkan tubuhnya di atas kasur dan mencoba memejamkan mata. Waktu memang masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan tak biasanya Fitri tidur secepat ini, tetapi ia berencana tidur lebih awal—agar bisa bangun lebih awal pula—untuk melaksanakan Salat Tahajud. Namun, hatinya tak tenang dan hal itu sangat mengganggu proses tidurnya. Ia berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran itu. “Bismillahirrahmanirra him,” gumamnya pelan. “Suada-chan! Chotto matte!” Seseorang terdengar berteriak. Fitri tersentak dari tidurnya yang baru saja dimulai. “Astagfirullahal’adzim, cuma mimpi.” Fitri memegang d**a kirinya, terasa jantungnya berdetak sangat kencang. “Takashi-san, kenapa aku tiba-tiba memimpikannya? Ya Allah, ampuni hamba atas rasa yang mengganggu ini.” Fitri meraih ponselnya. “Masih jam sembilan, lebih baik aku tahajud sekarang.” Fitri bangkit dari tempat tidur dan hendak menuju kamar mandi. Namun, ponselnya bergetar membuat langkah yang sudah diejanya terhenti. Ia memeriksa pesan yang barusan masuk di w******p-nya. “Nomor baru? Siapa, ya?” gumam Fitri seraya mengutak-atik ponselnya untuk membuka pesan tersebut. [Assalamualaikum, Fit] [Maaf, aku ganggu kamu malam-malam. Sebenernya enggak enak sih gangguin jam segini, tapi dari tadi aku terus kepikiran, jadi enggak bisa tidur. Tadi aku pengen nanya langsung ke kamu, tapi jadi keputus gara-gara bosku nelpn. Aku pengen nanya, bolehkan?] Sebuah pesan dari kontak baru, tetapi setelah membacanya Fitri bisa menebak dari siapa pesan itu. Dan setelah memeriksa nama yang tertera di bagian bawah nomor ponsel pengirim, sudah bisa dipastikan bahwa Afash adalah pengirimnya. [Waalaikumussalam] [Ini Bg Afash,ya? Mau nanya apa, ya, Bg? Fitri sangat penasaran dengan pertanyaan yang akan diberikan Afash sehingga harus menghubunginya malam-malam. Setelah mengirimkan balasan pesan Afash, Fitri menunggu dengan perasaan yang menggebu-gebu. Namun, balasan Afash tak kunjung datang, tak secepat Fitri membalasnya. “Ya ampun, kenapa aku terbawa perasaan seperti ini, ya? Aku enggak boleh berharap lebih. Ya Allah, kenapa semua terasa seperti kembali ke waktu pertama kali aku ketemu, Bang Afash?” gumam Fitri. Ponsel Fitri kembali bergetar. [Mmm...] [Kamu beneran belum punya pasangan, kan, Fit?] [Kamu masih suka sama aku?] Fitri sangat kaget saat membaca balasan dari Afash. “Bang Afash, kok, bisa tahu kalau aku pernah suka sama dia, ya?” Fitri bergumam pelan. Tiba-tiba ia merasa tak nyaman dengan pertanyaan Afash. Ada rasa ganjil di hatinya dengan sikap Afash yang tanpa basa-basi bertanya tentang hal yang sama sekali tak pernah diungkapkan Fitri sebelumnya. “Bang Afash, kok, kesannya terlalu pede, ya? Kok, dia nanya kayak gini?” Fitri menggumam. Dirinya sangat bingung dengan apa yang harus diketiknya untuk menjawab pertanyaan Afash. “Enggak usah dibalas aja, deh. Aku bingung.” Fitri meletakkan ponselnya di atas meja di samping tempat tidur. Lagi- lagi ponselnya kembali menari-nari. Rasa penasaran membuat Fitri kembali membaca pesan masuk itu. [Fit?] [Kok cuma di-read?] [Fit?] [Aku suka sama kamu Fit] “HAH?!” Fitri benar-benar kaget saat membaca kalimat paling bawah dari pesan Afash yang bertubi-tubi masuk. “Kok, aku jadi enggak nyaman ya sama cara Bang Afash? Terkesan terburu-buru dan mendesak banget. Duh ... Ya Allah apa yang harus kulakukan?” Fitri mematikan sambungan internet dari ponselnya. Seperti rencana awalnya, ia pun menuju kamar mandi untuk berwudu. **" Pikiran Fitri tertuju pada pesan yang semalam dikirim Afash, sehingga dirinya tak bisa fokus melakukan apa pun aktivitasnya. Bahkan saat memasak pun dirinya tak fokus. “A-Au!” Tak sengaja dirinya memegang sendok goreng yang terletak di dalam panci penggorengan tanpa menggunakan lampin. “Astagfirullahal’adzim,” ucap Fitri sambil meniup-niup jarinya yang melepuh. Tokk! Tokk! Tokk! “Assalamualaikum, Fitri!” Makdang Burhan terdengar memanggilnya dari luar. “Waalaikumussalam. Iya, tunggu sebentar Makdang!” Fitri mematikan kompor dan berlari ke arah pintu keluar dan membukanya. “Ada apa, Makdang?” “Si Afash, pagi-pagi udah nelpon gua, katanya hape lu mati.” Makdang Burhan terlihat kesal. "HAH! Bang Afash nelpon Makdang pagi-pagi cuma mau bahas itu?” Fitri mengernyitkan dahi. “Iya. Lu aktifin hape lu, dah. Daripada gua yang direcokin.” Makdang Burhan menggerutu sambil meninggalkan Fitri yang terlihat kebingungan. “Makdang, Fitri masak nasi goreng, nih!” Fitri sedikit berteriak karena Makdang Burhan sudah sampai di rumahnya yang terletak tepat di sebelah rumah Fitri. “Anterin!” teriak Makdang Burhan. "Oke, Makdang. Nanti Fitri antar.” Fitri menutup pintu rumahnya dan bergerak menuju kamar. Ia bermaksud akan mengaktifkan sambungan internet ponselnya agar Afash bisa kembali menghubungi. Baru saja sambungan internet terhubung, bertubi-tubi pesan dari Afash masuk. [Assalamualaikum, Fit.] [Fit, kamu kok enggak bales chat aku lagi? Kamu merasa terganggu ya?] [Maaf kalo iya] [Mungkin semuanya terkesan buru-buru, tapi aku bener-bener bagaimana untuk memulainya.] [Fit?] [Assalamualaikum. Pagi Fit] [Fit?] Fitri bergeming sejenak memikirkan jawaban yang bisa dia berikan pada Afash. Perlahan ia mengetikkan apa yang tebersit di pikirannya. [Waalaikumussaalam Bg] [Maaf aku baru balas. Tentang chat Abang semalam Abg nggak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti, tapi perihal perasaan abang sama aku, mungkin ini terlalu buru-buru Bg] Fitri mengirimkan pesan tersebut dengan perasaan tak keruan. Berharap kalimat balasannya tak melukai atau menyinggung perasaan Afash. [Mungkin bagi kamu terburu-buru. Tapi aku sudah lama menunggu pertemuan ini dan sangat berharap lebih saat kamu mengatakan belum memiliki pasangan] [Tapi nggak apa-apa kok. Kalo memang kamu merasa ini terburu-buru, aku akan menunggu. Aku benar-benar sayang sama kamu, Fit.] Semakin tak jelas irama degup jantung Fitri. Rasa tak nyaman karena ungkapan cinta Afash—yang terburu-buru—menjelma menjadi rasa kasihan, bersalah dan tak tega. “Ya Allah, mungkinkah Bang Afash adalah jodoh hamba? Mungkinkah ini adalah kode darimu agar hamba segera menikah? Benarkah dia mencintai hamba? Jika benar, ampuni hamba yang membiarkannya berdosa karena telah menyimpan rasa tak halal ini, ya Allah.” Fitri menghela napas dan mengetikkan pesan balasan untuk menjawab pesan Afash. “Bismillahirrahmanirrahim,” gumam Fitri sambil memencet tombol kirim. [Aku bingung harus menjawab seperti apa, makanya semalam langsung menonaktifkan sambungan internet. Tapi setelah direnungkan, aku nggak bisa menyalahkan rasa yang abg simpan untukku karena itu adalah fitrah. Hanya saja aku takut abg berdosa gara-gara memikirkan aku yang tak halal buat abg. Jadi lebih baik kita jalani semua sesuai perintah Allah, ya, Bg.] Tak perlu menunggu waktu lama, balasan Afash langsung masuk. [Maksudnya, Fit] [Apakah kamu bermaksud ‘lebih baik kita menikah’ begitu?] [Apakah kamu bersedia menjadi istriku?] [Insyaallah. Jika memang kita sudah dipilih Allah untuk menjadi pasangan, maka aku siap bg. Tapi kurasa lebih baik kita nggak usah berhubungan lewat chat lagi. Jika ingin membahas perihal rencana ini silakan temui Makdang selaku waliku di sini. Terima kasih. Assalamualaikum] [Baiklah. Terima kasih untuk jawaban yang sangat kutunggu ini Fit. Tapi tunggu dulu, masih ada yang ingin kutanyakan. Kapan aku bisa datang ke rumahmu untuk bisa melamar secara langsung di hadapan walimu?] [Mmm ... Kira-kira seminggu lagi, Bg. Assalamualaikum] Fitri meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian merenung. “Ya Allah, hamba harap ini adalah pilihan yg tepat,” gumam Fitri sambil mengembuskan napas. “Aku harus Salat Istikharah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD