Kesalahpahaman

3075 Words
Fitri menghampiri Makdang Burhan yang sedang sibuk memberi makan ayam jago kesayangannya—di kandang di samping rumah—di antara rumahnya dan rumah Fitri. Langkah gadis itu gemetar saat perlahan-lahan dirinya sampai di hadapan sang Paman yang sedang marah itu. “Assalamualaikum, Makdang,” sapa Fitri dengan suara yang terbata-bata. “Waalaikumussalam.” Makdang Burhan menjawab salam tanpa menoleh. “Makdang.” Fitri berusaha kembali menyapa, tetapi tak digubris. Pria bertubuh cukup tambun tersebut tetap sibuk mengelus ayam jago berjambul merah itu. “Fi-Fitri pengin minta maaf, Makdang. Fitri sadar apa yang dilakukan terkesan mempermainkan perasaan banyak orang, tetapi Fitri enggak bisa membohongi perasaan, tiba-tiba saja keraguan itu datang, makanya Fitri langsung batalin rencana menerima lamaran itu, Makdang.” Gadis itu menunduk setelah mencoba menjelaskan panjang lebar. Makdang Burhan akhirnya menggerakkan kepala dan mendongak pada Fitri. Ia bergeming cukup lama, memandangi keponakannya yang tengah menunduk itu, kemudian Makdang Burhan berdiri tepat di hadapan Fitri. “Iya, gua maapin, yang penting lu jangan ngulang kesalahan yang sama aja, dah. Udah sono balik ke rumah, banyak t*i di sini.” Ungkapan Makdang Burhan benar-benar membuat Fitri lega. Dengan langkah tenang Fitri masuk ke rumah Makdang Burhan, menemui Etek Maryam yang sedang asyik menonton TV. “Alhamdulillah, Tek, Makdang udah enggak marah lagi,” ungkap Fitri senang sambil duduk di sebelah Etek Maryam. “Oh, syukurlah kalau begitu.” Etek Maryam tersenyum, tetapi matanya tak berpaling dari FTV kesukaannya yang selalu tayang siang hari. *** Sudah hampir satu tahun Fitri tinggal di Depok—kota kelahirannya—ia menghabiskan hari-hari hanya untuk menulis novel yang saat ini sudah hampir selesai. Ia mulai mencari-cari penerbit yang akan menerbitkan karyanya itu. Tiba-tiba, ia teringat seseorang. “Oh iya, aku, kan, bisa tanya Mas King,” gumam Fitri mengambil kartu nama King dari dompetnya.“ Aku akan menemui Mas King,” gumamnya lagi. *** Fitri menghentikan langkahnya di depan rumah bercat hijau muda itu. Seorang perempuan paruh baya terlihat sedang menyapu halaman. “Assalamualaikum, Bu. Apa benar ini rumahnya Mas King Iswandi?” “Waalaikumussalam ... benar. Ada perlu apa, ya?” tanya perempuan paruh baya itu sambil menghentikan aktivitas menyapunya. “Saya ada perlu dengan Mas King, Bu. Saya Fitri ... saya ....” Belum selesai Fitri menjelaskan siapa dirinya dan maksud kedatangannya, perempuan paruh baya itu langsung memotong pembicaraan. “Calon bojo-nya Iswan, ‘kan?” tebak perempuan itu dengan senyuman mengembang di bibirnya. “Bu-Bukan, Bu. Saya ....” ujar Fitri serbasalah. Ia ingin menjelaskan, tetapi perempuan paruh baya itu langsung menarik tangan gadis itu untuk masuk ke rumahnya. “Ayo, masuk. Jangan malu-malu. Saya Astuti, ibunya Iswan.” Fitri masuk ke rumah tersebut. Bangunan yang terlihat kecil dari luar ternyata memiliki ruangan yang luas. Dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran khas Jawa. Pernak-pernik di dalam rumah itu juga sangat kental dengan adat Jawa. Fitri sangat kagum dengan apa yang dilihatnya. “Duduk dulu ya, Ndok. Ibu mau buatkan minum,” ujar wanita paruh baya itu. “Ng ... enggak usah repot-repot, Bu.” Ibu Astuti sudah sampai di dapur saat Fitri baru saja menyelesaikan perkataannya. Sosok yang diperkirakan berumur setengah abad itu terlalu bersemangat menerima kehadiran Fitri di sana, saking bersemangat ia malah menyangka Fitri adalah calon istri King. Tak lama waktu berjalan, Ibu Astuti kembali dengan membawa cangkir berisi teh dan sebuah piring kecil berisi klepon. “Silakan dicicipi, Ndok. Siapa tadi namamu? Ibu jadi lupa.” Ibu Astuti duduk di sebelah Fitri. “Terima kasih, Bu. Nama saya Fitri, sebenarnya saya ....” “Wah, itu Iswan sudah datang. Ibu senang sekali kalo Iswan punya calon istri kayak kamu, bukan sama bule ndak beragama itu.” Ucapan Ibu Astuti membuat Fitri semakin bingung. “Assalamualaikum.” King berdiri di ambang pintu. “Waalaikumussalam, Mas King.” “Wah, Dik Fitri. Maaf, ya, jadi nunguin saya.” “Biasa aja, kok, Mas.” “Oh ya, Bu, ini Dik Fitri yang pernah Iswan ceritain dulu, yang kuliah di Jepang.” King memperkenalkan Fitri pada ibunya. “Jadi, kamu bukan calon bojo-nya Iswan?” Ibu Astuti terlihat kecewa. Dilihat dari sikap beliau, sepertinya ia sangat suka pada Fitri dan sangat berharap bahwa gadis itu adalah calon menantunya. Ia menarik tangan King dan mengajak masuk ke sebuah ruangan yang terlihat seperti sebuah kamar. Tak lama kemudian, ibu dan anak itu keluar menuju ruang tamu. “Nak Fitri sudah menikah atau sudah punya calon suami?” tanya Bu Astuti. “Be-Belum, Bu.” Fitri menggeleng. Keningnya berkerut karena bingung. “Wah. Cocok sekali, nih.” “Maksud Ibu?” Fitri semakin bingung. “Ibu ingin melamarmu buat Iswan,” jawab wanita paruh baya itu tanpa basa-basi. Tentu saja Fitri sangat kaget dengan apa yang didengarnya barusan. Tujuannya mencari King hanya sebatas silaturahmi dan mencari informasi tentang penerbit, tetapi ia justru mendengar kabar yang sangat mengagetkan. Sementara King terlihat tertunduk dan diam seribu bahasa. Entah apa yang mereka barusan bincangkan. “Bagaimana, Ndok?” “Tapi, Bu, saya ke sini hanya untuk ....” Belum selesai Fitri memberi penjelasan, Ibu Astuti langsung memotong penjelasannya. “Kowe pernah dengarkan jika datang lamaran dari orang yang baik agamanya kita tidak memiliki alasan untuk menolak? Famali, loh.” Fitri terdiam. Ia sadar apa yang barusan dikatakan oleh Ibu Astuti benar. Namun, sikap yang terkesan memaksa membuatnya tak nyaman. Ia seperti tak diberi pilihan. “Beri saya waktu paling tidak seminggu untuk berpikir, ya, Bu. Saya harus Istikharah dulu, Bu.” Fitri melirik King yang berdiri di sebelah ibunya. Gurat wajah pemuda itu terlihat bingung dan tertekan. “Mas King, bisa kita bicara di luar sebentar?” “Boleh, Dik Fitri.” King mengikuti Fitri yang telah lebih dahulu menuju serambi rumah. “Dik Fitri, maafkan sikap ibu saya yang membuat Dik Fitri tidak nyaman,” pinta King. “Saya tidak mengerti, Mas King, kita baru bertemu dan ....” ujar Fitri dan lagi-lagi dipotong oleh King. “Saya mencintai seorang gadis yang baru saja masuk Islam. Namanya Adelle. Saya ingin menikahinya, tetapi ibu tidak setuju,”cerita King. “Mas King harus perjuangkan cinta Mas King, apalagi dia sudah mualaf. Lalu apa salahnya?” “Saya sudah berkali-kali meyakinkan ibu, tetapi beliau tetap tidak merestui hubungan kami. Saat ini saya sudah pasrah, tidak ingin ibu sakit gara-gara saya membantahnya. Saya tidak menyangka bisa membuat Dik Fitri tiba-tiba terjebak seperti ini. Maaf.” King menunduk. King menceritakan bahwa ibunya memang sangat suka memaksakan kehendak pada siapa pun juga dan bila dibantah beliau akan mengamuk tak jelas, hingga berteriak-teriak seperti hilang kewarasan. King juga menceritakan bahwa ibunya sempat diserang stroke setelah memarahi King yang pulang sekolah terlambat. Masalah yang sangat sepele memang, tetapi amarah beliau sangat berlebihan. Tubuh Fitri terasa lemas. Semua terjadi begitu cepat. Hari ini di saat ia sedang mencoba menenangkan hati setelah bertubi-tubi ditimpa kesedihan. Tiba-tiba ia dihadapkan dengan permasalahan baru yang datang tanpa basa-basi. “Lalu apa yang harus saya lakukan, Mas King?” tanya Fitri dengan suara lemah. “Saya juga bingung, Dik Fitri. Saya tahu Dik Fitri kaget dan tidak mungkin bisa begitu saja menerima lamaran ini, tapi saya takut ibu akan ....” King terlihat menerawang. Fitri tercenung. Perasaannya sangat berkecamuk. Dua lamaran datang padanya di saat hati belum siap untuk menerima. Satu lamaran sudah ditolak. Haruskah lamaran kedua ini ditolaknya juga? *** Kembali dirinya merasakan kekhawatiran yang sama dengan saat ia ragu untuk menerima lamaran Afash. Fitri terlihat resah, sesekali terlihat mengacak-acak rambut dengan gusar. “Ya Allah. Kenapa aku harus selalu dihadapkan dengan situasi seperti ini?” gumamnya terdengar putus asa. Dari matanya merembes air bening yang tak pernah bosan ikut hadir melengkapi kegundahannya. “Ya Allah, dosa apa yang sudah kulakukan sehingga cobaan bertubi-tubi datang padaku?” Suara Fitri terdengar semakin rapuh. “Apa dengan beristikharah aku akan menemukan jawabannya? Atau aku akan kembali melukai orang lain? Atau justru membiarkan diriku terluka dengan menerima lamaran yang tidak kuinginkan ini, Ya Allah?” Ungkapan Fitri semakin menggambarkan kelabilan. Ia benar-benar putus asa. Dengan tersandar ke tempat tidur, Fitri terisak. Mungkin sikapnya terkesan berlebihan menyikapi permasalahan yang mendera—karena sebenarnya bisa saja ia langsung menolak lamaran itu bila tak menginginkan—tetapi Fitri merasa permasalahan terlalu bertubi-tubi datang padanya. Mulai dari luka cinta pertama dengan Afash, rasa tak terbalas pada Takashi, menolak lamaran dari sosok yang pernah hadir sebagai cinta pertama dan sekarang dirinya kembali dihadapkan oleh sebuah lamaran yang sama sekali tak diinginkannya, apalagi dengan kondisi hati yang masih belum bisa menghapuskan rasa pada Takashi. “Kenapa rasa ini hadir pada sosok yang tidak mungkin bisa bersamaku? Kenapa tidak pada Bang Afash yang jelas-jelas sudah melamarku dan aku pernah mencintainya? Kenapa harus pada Takashi yang jelas-jelas sudah menjadi suami orang? Kenapaaa?! Dan sekarang orang baru tiba-tiba datang dan menyodorkan lamaran? Ini membuatku semakin tak tentu arah, ya Allah.” Fitri kembali mengacak-acak rambutnya. Air mata masih terus menderas. Cukup lama larut dalam emosi, Fitri tiba-tiba terdiam, mungkin dirinya sudah lelah menangis dan mulai menyadari tindakan yang dilakukannya itu tak benar. “Astaghfirullahal’adzim, ya Allah. Astaghfirullahal’adzim, ampuni tindakan bodoh ini, ya Allah. Kenapa hamba bersikap seakan-akan menyalahkan ketetapan-Mu? Ampuni hamba.” Bulir bening yang kali ini mengalir dari mata Fitri adalah bulir penyesalan. Ia bangkit dari tempat itu dan bergerak menuju kamar mandi. Ia mengenakan kembali mukena putih bermotif bunga sakura itu. Dirinya telah menyadari bahwa apa pun yang ia terima tak pernah luput dari campur tangan Allah, sehingga sebagai manusia hanya bisa menyerahkan semua pada-Nya dan tak perlu bertindak seperti yang barusan ia lakukan. Salat Istikharah kembali menjadi pilihan untuk usahanya sebagai manusia, karena apa pun nanti jawabannya adalah urusan Allah sebagai Sang Pemilik Takdir. Setelah Istikharah ia mengirimkan pesan ke nomor ponsel King untuk menginformasikan bahwa dirinya bersedia menerima King menjadi suaminya. *** Kebimbangan kembali menyelimuti hati Fitri. Ia tercenung. Mungkinkah ia kembali memberi keputusan yang salah? Apakah mengatakan bahwa dirinya menerima King adalah sebuah kecerobohan? Akankah dirinya mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya? Fitri benar-benar gusar. Ia kembali melakukan salat Istikharah, berharap kali ini dirinya tak melakukan kesalahan. Fitri berdoa dengan sungguh-sunguh, meminta agar Allah memberinya keyakinan untuk menerima King menjadi suami. Namun, setelah Istikharah kedua ini selesai, Fitri tetap tak kunjung luput dari keraguan. “Ya Allah. Mungkinkah keraguan ini karena hatiku yang belum ikhlas melupakan Takashi? Astaghfirullahal’adzim. Aku harus ikhlas. Toh, Takashi sudah menjadi suami orang.” Fitri bergumam. Fitri memantapkan pilihannya. Ia percaya keraguan yang muncul di pikirannya hanyalah tipu daya setan yang ingin menggagalkan niat baiknya. Sehingga apa pun yang tebersit di hatinya tak ingin ia pedulikan. Ia tak ingin melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya hanya karena terlalu terbawa perasaan. *** Tepat pukul dua dini hari, alarm dari ponsel Fitri berbunyi. Fitri tersentak dan segera bangkit meninggalkan tempat tidur, menuju kamar mandi untuk berwudu. Seperti biasa dirinya akan melaksanakan salat Tahajud. Usai melaksanakan Tahajud, Fitri melanjutkan kembali melaksanakan salat Istikharah untuk ketiga kali. Ia memang sudah yakin dengan keputusannya. Namun, ia ingin agar Allah semakin menguatkan pendiriannya. Ponsel Fitri berdering, tetapi dirinya masih melakukan salat, tentu saja panggilan itu terabaikan. Tak lama setelah dering panggilan tak terdengar lagi, suara getaran menggantikannya—tanda ada pesan masuk. Seusai salat Fitri segera membuka pesan tersebut dan mengetahui bahwa yang mengiriminya pesan adalah King. Pemuda itu memberitahukan bahwa lima hari lagi keluarga besarnya akan datang ke rumah Fitri untuk proses lamaran sekaligus pertunangan. “Bismillahirrahmanirrahim. Aku siap,” gumam Fitri. Ia mencari kontak Jill dan mengetikkan pesan. [Hi, Jill. How’s life? Finally i’m going to marry. I’ll be engaged in four days. I really hope four your presence. Don’t forget to tell Takashi n Akane. Thanks] *** Takashi menyimpan kembali ponsel yang baru saja memberikan sebuah informasi dari temannya di seberang sana yang mengajak untuk bertemu. Ia bersiap-siap menuju kafe yang telah diberitahukan oleh sang teman. Takashi begitu penasaran untuk mengetahui kabar penting apa yang ingin disampaikan temannya tersebut. “Hi, Ohisashiburidesu, Jill. How are you?” Pemuda itu langsung menyeruput minuman milik wanita berambut cokelat itu. “Long time no see too, Ume-san. I’m okay, how about you?” Wanita itu menanggapi seraya mengelap mulut putra kecilnya yang berlepotan es krim. “I’m okay too. Hi Mr. Kitano, what’s up brother?” Takashi mencolek pipi Ken, bocah kecil itu terlihat lahap memakan es krim itu. “Ume-san. Fitri kemarin menghubungiku bahwa empat hari lagi dia akan bertunangan. Dia mengundang kita.” Jill membuka pembicaraan. “Suada-chan akan bertunangan?” Pemuda bermata sipit itu terlihat kaget dan terdiam sejenak. Ada kepedihan yang terasa di hatinya. “Wah, dia pasti bahagia sekali sekarang. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang istri, ya.” Ia terlihat berusaha menyembunyikan luka. Lagi-lagi Takashi bergeming, matanya menerawang. “Kamu bahagia, Ume-san?” Jill seakan tak memercayai bahwa Takashi baik-baik saja mendengar informasi tersebut. “Sahabatku akan segera menikah, Jill-chan. Tentu saja aku bahagia.” Pemuda itu tersenyum. Sebuah senyuman yang terkesan sangat dipaksakan. *** Jari-jari Fitri lihai bermain di tuts-tuts keyboard. Sesekali ia menghentikan kegiatan mengetiknya untuk sejenak merenungkan kalimat demi kalimat yang pantas ia selipkan. Panggilan masuk membuat ponselnya yang hanya dipasang mode getar itu menari-nari di atas meja. Sebuah video call dari akun Line Jill Taylor. “Hi, Jill,” sapa Fitri melambaikan tangannya. “Hi, Fitri. Aku sudah di bandara Haneda sekarang.” “Ok, Jill. Aku tunggu, ya. Nanti kalau sudah sampai di bandara Indonesia kabari aku, biar aku jemput. Mmm ... kamu sendirian, Jill?” tanya Fitri. “Aku berdua dengan Ken.” Jill mengarahkan kamera ponselnya pada Ken. “Hallo, Ken,” sapa Fitri. Bocah itu menoleh sebentar kemudian kembali fokus dengan game di tablet yang sejak tadi tak lepas dari genggamannya, terlihat air liur Ken terus menerus menetes membasahi benda elektronik itu. Makhluk kecil itu benar-benar terlihat menggemaskan. Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Jill. Fitri menghidupkan laptopnya untuk melanjutkan kembali naskah novel yang sudah hampir selesai. *** Untuk : Pemuda di seberang sana Dari : Aku yang masih menyimpan rasa ini Rasa ini sudah lama kusimpan untukmu, hanya saja aku tak berani mendahului takdir. Aku tak berani mengungkapkannya. Aku takut kau bukan jodohku. Aku tak bisa membohongi hati ini, tetapi juga tak ingin rasa ini membuatku lupa dengan tujuan. Biarkan aku mencintaimu dalam diam. Biarkan aku menyelipkan namamu dalam setiap doaku. Biar Tuhan yang memutuskan apakah kita pantas bersama atau tidak. Tak usah mencariku karena aku juga tak akan mencarimu. Ikuti saja alur yang kau lihat, aku pun begitu karena jika kita ditakdirkan untuk bersama, kita akan bertemu. Bila kau jodohku kita akan bertemu dalam kehalalan dan tepat pada saat itu akan kubisikkan di telingamu bahwa aku sangat merindukanmu. Namun, jika kita tak dipertemukan lagi, aku berharap seiring berjalannya waktu aku bisa melupakan rasa ini. Dan kau pun begitu. Aku berharap kau dan aku dipertemukan dengan jodoh yang tepat. Gadis itu melipat kertas yang baru saja ia tulis dan menyimpan benda itu di dalam kotak kecil berisi cincin—diberikan oleh pemuda yang menjadi alamat tulisan tersebut. Pemuda itu pernah meminta gadis bernama Alya itu untuk menjadi pacarnya. Namun, Alya menolak karena ia tak ingin berpacaran, padahal Alya juga jatuh hati pada pemuda Jepang yang memutuskan untuk menjadi mualaf semenjak jatuh cinta padanya, gadis berdarah Indonesia-Jepang itu. Ketika dirinya diajak menikah dua tahun lalu, Alya juga menolak karena alasan masih kuliah. Pemuda itu pun masih bersabar menunggu, ia juga meminta Alya menyimpan cincin yang sengaja dibeli untuk melamar Alya. Sudah dua tahun ini Alya tak lagi bertemu pemuda itu. Terdengar kabar angin bahwa sosok bermata sipit itu telah bertunangan dan akan segera menikah. Betapa kecewa hati Alya. Jawaban yang sudah dipersiapkannya belum sempat ia ungkapkan dan harus ia hapus begitu saja dari ingatan. “Oneechan, ada seseorang mencarimu,” panggil adiknya. “Siapa?” Kening Alya berkerut samar. “Aku tidak tahu.” Alya mengenakan jilbab dan keluar untuk menemui seseorang yang dimaksud oleh adiknya itu. *** “Matsuda-san!?” ungkap Alya kaget dengan kedatangan pemuda itu ke rumahnya. “Aya-chan, kedatanganku ke sini adalah untuk meminta kembali cincin yang pernah kuberikan padamu. Hari ini aku akan melamar seseorang.” “Ngg ... kau akan melamar siapa? Bukannya kau ....” “Ambil saja dulu cincinnya!” Pemuda itu terlihat kesal. Alya bergerak ke kamar untuk mengambil cincin yang dimaksud pemuda bernama Matsuda itu dan kembali dengan membawa sebuah kotak kecil. Ia menyerahkan benda itu pada Matsuda. Pemuda itu membuka kotak tersebut dan menemukan kertas yang diselipkan Alya. “Kertas apa ini, Aya-chan?” Matsuda mengernyit. “Astagfirullahal’adzim. Aku lupa mengeluarkannya. Tolong jangan dibaca Matsuda-san!” Alya sangat kaget, pipinya merona. Pemuda tersebut makin penasaran dan mencoba membaca tulisan di kertas itu. Namun, Alya terus berusaha menghentikan. Gadis itu memohon agar Matsuda mengembalikan kertas tersebut padanya.“Demi Allah! Aku mohon kembalikan kertas itu, Matsuda-san!” pinta Alya hingga air matanya mengalir. “Kenapa kau menangis? Aku makin penasaran. Biarkan aku membacanya.” Pemuda itu keukeuh. Alya hanya pasrah dan tertunduk malu. Sementara itu, Matsuda tersenyum saat membaca tulisan tersebut. Sekalipun di kertas itu tak tertulis namanya, tetapi ia sangat yakin pemuda yang dimaksud Alya adalah dirinya. “Aya-chan, angkat, dong, kepalamu,” pinta Matsuda. Alya tetap menunduk. Tak berani mengangkat kepala. “Matsuda-san, kumohon jangan salah paham. Aku tidak bermaksud membuat kau membaca tulisan itu. Lupakan saja, ya. Bukankah kau akan melamar seseorang?” ungkap Alya terbata. “Apakah tulisan ini untukku, Aya-chan?” Alya hanya diam. Mulutnya terasa kaku. Bibirnya seperti membeku. “Baiklah jika kau tak mau menjawabnya. Oh ya, kau kenal tidak dengan gadis yang ingin kulamar?” “Siapa?” Alya memberanikan diri untuk mengangkat kepala. “Gadis itu tinggal di Kyoto. Dia sangat cantik. Hari ini dia jauh lebih cantik dengan jilbab merah muda dan sekarang ia sedang berdiri di hadapanku,” ungkap Matsuda. “Ma-maksudmu?” tanya Alya dengan jantung berdegup tak keruan. “Aya-chan, maukah kau menikah denganku?” Gadis itu terdiam sejenak. Air mata haru mengalir dari mata bulatnya. Perlahan sebuah anggukan pelan tapi pasti ia berikan untuk menjawab pertanyaan pemuda yang berdiri di hadapannya itu. SELESAI *** Bagian akhir dari naskah novel pertama yang baru selesai diketik Fitri ini terinspirasi dari cincin pemberian Nenek Takashi. Perhiasan berbatu biru itu kini berada di genggamannya. “Aku memang terluka jika harus terbawa perasaan itu lagi, tapi aku juga ingin berterima kasih karena berkat rasa itu aku berhasil merampungkan tulisan ini,” gumam Fitri seraya menyimpan tulisannya yang baru saja selesai itu dengan judul “ Love in Kyoto”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD