Season 2|| BAB 2

1060 Words
“Fitri.” “Fitri.” “Uni.” Suara jangkrik dan panggilan dengan nada khawatir dari orang-orang yang dikenalnya samar-samar mulai terdengar. Kesadaran mulai menyambangi. Fitri mencoba membuka mata. Namun, cahaya dari lampu neon yang bertengger di langit-langit kamar sangat terang, membuat kepalanya kembali pusing jika membiarkan matanya terbuka. “Ya Allah,kepala Fitri pusing.” Fitri menyilangkan kedua tangan untuk menghindari objek penyilau matanya, kemudian ia lantas mengatupkan kembali kedua netra dengan sempurna. Untung saja Aisyah mengerti dengan situasi tersebut. Ia lantas mematikan benda penerang yang menggantung kira-kira dua ratus sentimeter di atas kepala mereka itu dan mengganti sumber cahaya dengan menghidupkan lampu tidur. “Udah, Ni. Adek udah matikan lampunya.” Fitri kembali membuka matanya dan mendapati Aisyah, Makdang Burhan dan Etek Maryam duduk di bibir tempat tidurnya sambil mengembuskan napas lega saat melihat dirinya sudah siuman. “Alhamdulillah, lu akhirnya siuman, Fit. Ngomong-ngomong ade ape? Lu lagi sakit?” Makdang Burhan dengan logat betawinya yang kental menjadi pembuka pembicaraan setelah beberapa menit yang lalu Fitri tak tahu apa yang terjadi setelah Aisyah masuk ke kamarnya dan menanyakan perihal Takashi. Fitri melirik Makdang Burhan, Etek Maryam, dan Aisyah bergantian. Mereka sama-sama menatapnya, menunggu Fitri memberitahu apa yang terjadi. Namun, ia sadar bahwa dirinya tak boleh begitu saja menceritakan apa yang baru saja menimpa rumah tangganya. Sebagai seorang muslimah yang baik, Fitri sangat paham bahwa ia harus menjaga kerahasiaan rumah tangganya, apalagi dengan berita yang masih belum jelas Fitri tak akan menyimpulkan dengan cepat tentang Takashi yang berselingkuh. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa sebagai seorang manusia biasa dirinya juga cukup terpengaruh dengan pengakuan dari wanita bernama Satomi tersebut. Namun, Fitri berusaha menelan sendiri kenyataan itu. Cukup ia dan Tuhan yang tahu. Cukup kepada Tuhan ia mengadu. “Fitri nggak apa-apa, Makdang. Mungkin karena telat makan aja.” “Aduh, lu, gimane, sih? Lu pan lagi hamil, jangan telat makan mulu. Lu demen amat bikin gue marah.” Dengan bahasanya yang blak-blakan, Makdang Burhan yang tak memiliki keturunan dari pernikahannya dengan Etek Maryam, mengomeli Fitri seperti tengah berhadapan dengan anak kandung sendiri. Dirinya tak menganggap Fitri hanya sebatas keponakan karena sejak kecil anak adiknya yang satu itu sudah terbiasa dengannya dan paling lama tinggal di dekatnya, meskipun berbeda rumah, tetapi ia merasa punya tanggung jawab besar pada Fitri. “Iya, Makdang. Lain kali Fitri nggak telat makan lagi, kok.” Fitri meyakinkan Makdang Burhan. Kemudian ia melirik Etek Maryam dan Aisyah bergantian dan mengeja satu per satu kalimat yang ditujukan untuk dua orang itu. “Fitri udah nggak apa-apa, kok, Tek. Etek dan Makdang pulang aja udah malem.” Fitri tersenyum, mengkonfirmasi bahwa dirinya memang sudah baik-baik saja. “Kamu juga, Dek. Sana tidur, ya. Besok Bu Apoteker ada shift pagi,’kan?” Fitri kembali mengeja senyuman untuk adik yang sangat disayanginya itu. “Beneran udah nggak apa-apa, Fit?” tanya Etek Maryam sambil memegangi kening Fitri dengan ekspresi khawatir. “Iya, nggak apa-apa, Tek. Fitri nggak demam, kok. Telat makan aja, kok. Nanti Fitri bakal makan. Etek tenang aja.” Fitri tersenyum, mengkonfirmasi bahwa dirinya memang sudah baik-baik saja. “Aku ambilin, ya, Uni.” Aisyah menawarkan. “Nggak usah. Uni ambil sendiri. Udah sana kamu tidur. Kamu pasti capek,kan, pulang kerja, lagian besok juga masuk pagi. Lagian uni mau salat Isya dulu.” Setelah merasa yakin bahwa Fitri baik-baik saja, Makdang Burhan dan Etek Maryam berpamitan untuk kembali ke rumahnya yang tepat di sebelah rumah keluarga Fitri. Begitu pun dengan Aisyah, ia juga segera meninggalkan kamar kakaknya itu. Seperti yang barusan dikatakannya. Fitri segera menuju kamar mandi untuk berwudu. Ia ingin melaksanakan salat Isya dan segera mengadukan kegundahan hatinya pada Allah. Ia yakin bahwa apa pun yang terjadi padanya adalah takdir Allah dan Fitri juga percaya Allah pasti akan memberikan solusi terbaik untuknya agar bisa menghadapi segala ujian yang sedang dialaminya dengan ikhlas, sabar, dan tenang. *** Usai melaksanakan salat Isya, Fitri menangkupkan tangan untuk menyampaikan segala keluh kesahnya pada Allah. Baru saja akan memulai kalimatnya air mata sudah lebih dahulu jatuh dan membasahi mukena bermotif bunga sakura berwarna biru itu. "Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Hamba percaya apa pun yang sedang terjadi dalam rumah tangga hamba adalah takdir-Mu, Ya Rabb. Hamba pasrahkan segalanya pada-Mu. Jika benar suami hamba telah menjalin cinta haram dengan wanita lain, hamba mohon ampuni dia, Ya Allah. Bimbing dia untuk kembali ke jalan-Mu, Ya Allah. Sadarkanlah suami hamba, ingatkan padanya bahwa di sini hamba tengah mengandung anaknya. Ingatkan dia bahwa hamba sangat mencintainya. Ingatkan dia bahwa hamba sedang menunggunya. Namun, jika ternyata berita itu tak benar, sekali lagi hamba mohon ampuni hamba yang sudah mencurigai suami hamba sendiri. Selamatkanlah keluarga kecil hamba, Ya Allah. Selamatkanlah kami dari segala macam bentuk fitnah yang bisa merusak keharmonisan kami. Berikan kekuatan ke pada kami untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga ini. Jangan pisahkan kami, Ya Allah. Aamiin Ya rabbal'alamin." Fitri tak sanggup menahan derai air matanya yang terus mengalir bersamaan dengan setiap doa yang dipintanya pada Allah. Ia sangat yakin doanya akan diijabah Allah. Setelah menyampaikan pengaduan pada Tuhan. Fitri segera menanggalkan pakaian salatnya itu dan kembali menggantungkan di tempat ia mengambil sebelumnya. Kemudian wanita yang tengah dilanda kegalauan itu mengambil tisu dari rak dan memeras air yang ikut keluar dari hidung bersamaan dengan keluarnya air mata. Fitri meninggalkan kamar, menuju dapur untuk mengisi asupan lambungnya. Meskipun mengatakan bahwa dirinya telat makan hanya sebagai alasan untuk menjawab pertanyaan Makdang Burhan, tetapi sesuai janjinya tadi, ia akan makan setelah salat Isya dan Fitri menepatinya. Lagi pula ia memang merasa sedikit lapar. Saat hendak mengambil piring dari atas rak, matanya tak sengaja menangkap potret Takashi di cangkir couple yang didesain dengan foto pasangan masing-masing. Cangkir milik Fitri bergambarkan wajah Takashi begitu pun sebaliknya. "Anata, aku rindu padamu. Cepatlah pulang. Jangan biarkan anak kita lahir tanpa melihat ayahnya di sini. Apa pun yang terjadi di sana, aku akan selalu mencintaimu, Anata. Aku akan selalu memaafkanmu." Lagi-lagi air mata menderas di kedua pipinya. *** Footnote: *Etek : Tante/ Bibi dalam bahasa Minang *Makdang : Mamak Gadang. Mamak = Paman( Saudara laki-laki Ibu dalam bahasa Minang) dan Gadang = besar. Makdang = Paman yang usianya di atas ibu. * lu pan lagi hamil : pan = kan ( Betawi) Untuk pembaca tersayang, mohon koreksinya, ya. Mohon dukungannya juga agar saya bisa semangat untuk melanjutkannya. Oh ya, satu lagi. Cerita ini hanya fiktif belaka, ya. Kalo ada kesamaan hanya kebetulan belaka. Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD