Cinta yang Terlambat

1536 Words
Takashi sudah berdiri di sana sejak sepuluh menit yang lalu, bersedekap menyembunyikan kedua tangan di balik sweter abu-abu yang saat itu dikenakannya. Tatapan pemuda itu nanar ke luar jendela. Terlihat hamparan di luar sana mulai memutih. Salju turun seperti butiran gabus yang sengaja dijatuhkan dari langit. Dingin menusuk tulang. Sesekali ia menggosok-gosok kedua telapak tangan untuk memberi rasa hangat. Bayangan sosok berjilbab itu masih saja mengganggu pikirannya, membuat dingin yang dirasakan semakin terasa mencongkel-congkel tulang. Bukan hanya tulang, perasaan juga. Pemuda itu menyesap minuman hangatnya. Tak terasa bulir-bulir bening meluncur dari tempat penyimpanan. Disekanya air kesedihan itu dengan punggung tangan. Ia kemudian meletakkan cangkir di atas pinggiran jendela, berjalan menuju meja yang terletak di sudut kamar berukuran tak terlalu besar itu, dan mengambil sesuatu dari laci meja tersebut. Sebuah foto—seorang gadis berjilbab tengah tersenyum sambil memeluk boneka salju—sosok yang telah mempertemukan dirinya dengan cinta pertama. “Aku sangat merindukanmu,” gumamnya seraya menulis sesuatu di balik foto tersebut. *** Hujan sangat deras sore itu. Takashi keluar dari mobilnya. Dengan tergopoh-gopoh ia berlari memasuki kawasan Shinjuku Gyoen. Rapuh. Begitulah yang dirasakannya saat itu. Bulir-bulir air mata terus berjatuhan membasahi kedua pipi saat menatap sebuah tempat duduk yang tepat berada di hadapannya, kemudian ia memejamkan mata. Air hujan yang mengguyur tubuhnya membuat ia sangat kedinginan. Apalagi saat ingatan mengembalikannya pada kisah manis yang baru saja meninggalkannya. Ia masih memejamkan mata, terenyak di tempat duduk yang penuh kenangan itu. Di hadapannya seorang gadis berjilbab hitam terlihat sedang memejamkan mata. Bunga sakura yang sedang bermekaran beterbangan di sekitar gadis itu. Takashi sangat tertarik untuk memotret si gadis. Hingga, suara kamera mengagetkan sang gadis. Kedua bola mata sosok yang mengenakan penutup kepala itu membulat menatapnya. Takashi tersenyum dan gadis itu balas tersenyum. Indah sekali saat itu. Hujan tak kunjung reda. Takashi membuka mata. Tak ada bunga sakura atau pun gadis berjilbab hitam. Yang ada hanya dirinya yang baru saja tersadar dari lamunan. Ia duduk sendiri di sana. “Kamu benar. Saya mencintai Akane dan itu sudah semestinya karena Akane mengandung bayi saya. Tidak mungkin saya tidak mencintainya. Dan mulai saat ini saya berjanji akan menyerahkan seluruh cinta saya hanya untuk Akane. Saya salah besar bila mencintai orang lain. Salah! Hanya Akane! Akane!” Pemuda itu menatap tempat duduk di sebelahnya. Ia berbicara seakan-akan dirinya sedang bersama lawan bicaranya. “Saya harap setelah meninggalkan tempat ini, saya tidak lagi memikirkanmu,” ucapnya sedih. Setelah merasa tujuan ke tempat itu selesai, Takashi kembali menuju mobil dan meninggalkan tempat tersebut. *** Akane tak sengaja menemukan foto seorang gadis lain di dalam laci di meja kamarnya. Foto yang disimpan oleh Takashi, sang pacar yang akan segera menikah dengannya. Ia mengenal gadis di foto tersebut. Seseorang yang ia kenal sebagai teman sang pacar. Gadis itu tak sanggup membayangkan bahwa ternyata gadis itu telah menjadi duri di dalam kisah cintanya. Api cemburu tersulut dan membara. Ruang kamar yang awalnya dingin berubah menjadi tempat terpanas yang terasa membakar jantung. Hal yang paling menyakitkan lagi adalah ketika membaca tulisan yang tertera di belakang foto itu,“You have brought my first love”. Tulisan yang ia yakini sebagai tulisan Takashi, pemuda yang telah lebih tiga tahun menjadi kekasih dan juga akan segera menjadi ayah dari buah cinta terlarang yang bersarang di dalam rahimnya. Selama lebih tiga tahun mereka telah hidup bersama satu atap dan melakukan apa pun layaknya pasangan suami istri. Benih yang terakhir kali pemuda itu titipkan berkembang dan sengaja tak gadis itu gugurkan karena ia ingin mereka menikah dan membesarkan buah cinta mereka bersama. Sungguh tak ia sangka pemuda itu tak benar-benar mencintainya dan menyimpan rasa pada gadis lain. Tubuh gadis berambut pendek dan bermata sipit itu terasa lemas. Air kesedihan terus meluncur dari tempat penyimpanan. Gaun pengantin yang telah dipersiapkan terlihat seakan sedang menertawakannya. Tiba-tiba, pintu kamar berderik. Ia melihat sang pacar masuk ke kamar itu dalam keadaan basah kuyup. Si pemuda mengambil pakaian bersih dari lemari tanpa melihat padanya. Pemuda tersebut segera masuk ke kamar mandi. Gadis berambut sebahu itu menyeka air mata dan menyimpan kembali foto di tangannya itu ke laci meja. Sang kekasih keluar dari kamar mandi dan barulah ia menyadari bahwa Akane sedang duduk di sudut tempat tidur dengan membelakanginya. Pelan-pelan didekatinya gadis berambut sebahu itu. Ia memeluk mesra si gadis. “Sayang, aku mencintaimu,” bisiknya di telinga Akane. “Bohong! Taka tidak pernah mencintaiku.” Akane membalikkan badan. Air matanya kembali berderai. Sontak pemuda itu sangat kaget. “Sa-sa-sayang ka-kamu ... kenapa menangis?” Takashi mengernyit. Akane tak menjawab, ia hanya menunjuk ke arah laci meja yang menyimpan benda yang menyebabkannya berurai air mata. Jantung pemuda itu berdegup kencang seakan sudah paham dengan penyebab sang pacar menangis. Ia pelan-pelan membuka laci meja tersebut dan meraih benda pembawa masalah itu. Air mata Takashi berderai saat menatap foto gadis berjilbab yang sedang tersenyum sambil memeluk boneka salju itu. Rasa sesal menggerogoti perasaannya saat membayangkan betapa terlukanya Akane saat mengetahui bahwa kekasihnya menyimpan foto gadis lain. Ia terus menerus menyalahkan diri. Langkah Takashi gemetar saat mendekati sang kekasih yang hatinya sedang terluka itu. Ia terduduk di hadapan Akane dan semakin merasa bersalah saat menatap wajah sendu gadis itu. “Maafkan aku sudah membuatmu menangis. Aku menyesal sudah berbuat tidak adil padamu. Aku benar-benar pecundang. Maafkan aku.” Takashi menunduk. Air matanya berlinang. “Cukup, Umehara Takashi-san, sekarang katakan saja apa maumu! Kamu ingin aku menggugurkan bayi ini dan membiarkanmu menikahi Fitri, ‘kan?” Akane sangat emosi. “Tidak Akane. Maafkan aku. Keinginanku saat ini hanyalah menikahimu. Aku berjanji. Kita akan menikah. Kamu akan melahirkan anak kita dan kita akan bahagia bersama.” Takashi merangkul Akane erat, kemudian mengecup kening gadis itu. Ada ketulusan yang mulai dirasakannya saat menatap mata calon ibu dari darah dagingnya itu. “Aku berjanji, Sayang, mulai saat ini hanya kamu dan bayi kita yang akan menjadi prioritas hidupku.” “Honto desuka?” “Iya, aku ingin pernikahan kita dipercepat,” Takashi mengeratkan pelukannya. “Taka mencintaiku, ‘kan?” Akane melepaskan pelukannya, meminta kepastian perasaan Takashi padanya. “Iya, Sayang. Izinkan aku menebus kesalahan. Biarkan aku jatuh cinta padamu.” Takashi menatap mata gadis itu cukup lama. Ia kembali mengecup kening Akane. Air bening mengalir hangat dari matanya. **" Takashi mendengkus kesal saat kemacetan jalan memperlambat pergerakannya. Ia sudah tak sabar ingin membeli cincin kawin untuknya dan Akane. Rasa kesal sedikit terobati saat matanya tertuju pada sebuah toko perlengkapan bayi—yang mana dinding tempat itu dipenuhi oleh foto-foto bayi. Pemuda itu menghela napas dan kemudian tersenyum saat membayangkan dirinya sedang menggendong seorang bayi, ikut terbangun di tengah malam karena suara tangisan bayi dan harus belajar mengganti popok. “Ya Tuhan. Aku akan menjadi ayah.” Air matanya menitik. Ia sangat terharu. Setelah satu jam berlalu, akhirnya beringsut-ingsut mobil-mobil di depan mobilnya bergerak. Takashi kembali melanjutkan perjalanannya. Takashi berhenti di depan sebuah toko perhiasan dan memarkir mobilnya. Ia masuk ke dalam toko yang didekorasi serba transparan itu dan mulai menelusuri setiap etalase yang memamerkan perhiasan berkilau. Ia mencari etalase yang menyimpan cincin. Tepat di depannya seorang pemuda yang terlihat seusia dengannya tengah memilih kalung dibantu oleh gadis pelayan toko tersebut. “Ada yang bisa dibantu, Tuan?” Gadis pelayan itu beralih mendekati Takashi. “Iya, saya sedang mencari cincin kawin.” “Oh, mari ikuti saya.” Takashi mengikuti si gadis pelayan. Gadis tersebut kemudian menunjuk etalase yang memajang cincin. Namun, Takashi justru terlihat bingung saat sudah melihat cincin-cincin yang beraneka model itu. “Nona, bisa bantu aku memilihnya?” tanya Takashi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Gadis itu mengangguk dan ikut membantu memilih. “Boleh aku lihat foto pacarmu, Tuan?” “Hah! Bu-buat apa?” Takashi mengernyit. “Hanya ingin mengira-ngira pacarmu cocok memakai model apa.” “Emang bisa begitu?” “Hanya pendapatku saja, Tuan. Kalau keberatan tidak apa. Sumimasen,” ujar gadis itu sambil membungkukkan badan. “Oh, ti-tidak keberatan, kok.” Takashi mengambil ponselnya. “Ini lihatlah.” “Wah, dia sangat cantik dan terlihat dari wajahnya dia pasti tipikal wanita manja, sepertinya cocok memakai cincin ini.” Si gadis pelayan meraih cincin yang didesain begitu sederhana, tetapi mewah. Cincin mungil yang di bagian atasnya bertengger berlian berwarna biru muda bening yang juga mungil. “Ya sudah aku pilih yang ini. Eh ... boleh aku lihat pasangannya?” “Tentu saja.” Si pelayan memperlihatkan cincin yang juga sangat sederhana dan mewah itu. Desainnya hampir mirip dengan cincin pertama, tetapi kali ini terlihat lebih maskulin dan tidak ada berlian yang bertengger di sana. “Oke, baiklah. Aku pilih dua cincin ini,” ujar Takashi yakin. “Ini, Tuan. Silakan bayar di kasir.” Takashi berjalan menuju kasir setelah mengucapkan terima kasih pada gadis pelayan tersebut. Setelah berhasil menemukan cincin kawin, Takashi berputar ke arah toko perlengkapan bayi yang tadi di lihatnya. Pemuda itu merasa sangat canggung saat sudah berada di dalam toko tersebut. Di sekeliling ruangan dipajang benda-benda yang masih sangat asing baginya. Di sana dirinya juga melihat perhiasan-perhiasan untuk bayi. Ia tertarik untuk membeli gelang kaki berwarna silver dengan mainan berbentuk bunga sakura. Kemudian, Takashi segera meninggalkan toko itu setelah membayar gelang tersebut. Tak terkira bahagia yang dirasakannya saat ini. Kebahagian untuk segera menjadi seorang suami sekaligus menjadi ayah. *** honto desuka : Benarkah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD