Kembali Membawa Luka

1702 Words
Fitri menyimpan ponsel dan mukenanya ke dalam tas, kemudian mengenakan jaket. Salju yang sudah mulai beranjak masih menyisakan rasa dingin. Pakaian wisudanya tertutup oleh jaket kulit domba yang cukup menghangatkan itu. Ia berjalan menuju tempat di mana dirinya dan Takashi bertemu, setelah mengucapkan terima kasih pada penjaga taman yang telah mengizinkannya salat di kantor keamanan taman. Tempat duduk kecil itu terlihat seakan ikut terbawa dalam kesedihan yang dirasakannya. Fitri tak pernah membayangkan bila hari ini menjadi hari bahagia sekaligus duka. Gadis itu mengambil ponsel dan kembali menghubungi akun Line Aisyah. "Uni!” Aisyah melambaikan tangannya. “Loh, Uni nangis?” “Uni cuma lagi kangen sama Adek dan Ibu. Oh ya, dua minggu lagi Uni pulang.” “Beneran, Uni? Yee ... eh tapi, tunggu dulu Uni, kok ... tiba-tiba, ya? Bukannya Uni bilang kemarin ....” “Ngg ... udah, ya, Uni cuma mau bilang itu. Assalamualaikum.” Tak ingin Aisyah bertanya lebih jauh lagi, Fitri segera mengakhiri pembicaraan. Air matanya kembali menderas. “Suada-chan! Syukurlah ternyata kamu di sini.” Fitri kaget saat menyadari bahwa Takashi sudah berada di dekatnya. Ia menghapus bulir-bulir air mata yang membasahi pipinya. “Takashi-san, bagaimana kamu tahu saya di sini?” “Jill yang memberitahu saya.” “Ada perlu apa kamu mengikuti saya?” “Saya ... saya tidak tahu akan seperti ini, Suada-chan. Semua terjadi begitu saja.” “Tetap saja kamu harus bertanggung jawab, jangan jadi pengecut. Kamu bilang kamu mencintai Islam. Asal kamu tahu saja, Islam membenci perbuatan kotor seperti yang kamu lakukan dengan Hamasaki-san!” “Saya khilaf, Suada-chan. Apa yang harus saya lakukan?" “Hanya satu. Menikahi Hamasaki-san!” “Suada-chan, tolong dengarkan saya.” Pemuda bermata sipit itu menatap Fitri yang berdiri di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. Gurat penyesalan jelas terpancar dari wajah orientalnya. “Sudahlah, Takashi-san. Saya rasa semua sudah sangat jelas. Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!” Fitri berusaha mengeluarkan suaranya dengan bulat meskipun lehernya terasa penuh. “Dua minggu lagi saya akan kembali ke Indonesia. Maaf bila saya tidak hadir di pesta pernikahanmu.” Leher Fitri semakin terasa tercekik saat mengatakan kalimat yang barusan keluar dari mulutnya. Sungguh menyayat perasaan. “Saya tidak pernah mencintai Akane.” “Hamasaki-san mengandung anakmu. Bagaimana mungkin kamu tidak mencintainya?” Fitri terus berusaha menahan kesedihan. Pun air mata semakin tak tertahan. “Lagi pula bukan urusan saya jika kamu cinta atau tidak dengannya. Kenapa kamu harus menjelaskan pada saya? Memangnya saya siapa?” Takashi hanya sanggup terdiam dengan kepala tertunduk. Ada sesuatu yang terasa mengiris-iris hatinya. Ada kata yang tak sanggup keluar. Hanya air kesedihan yang mampu keluar dan penyesalan yang selalu datang terlambat. “Saya harus pulang sekarang, Takashi-san!” Fitri segera beranjak meninggalkan pemuda tersebut. Tak terasa air matanya berlinang. “Suada-chan, chotto matte!” teriak Takashi dan meraih tangan Fitri. “Lepaskan tangan saya! Berani sekali kamu, ya!” Fitri menarik tangannya dengan keras. “Ma-maafkan saya. Sa-saya tidak bermaksud tidak sopan. Saya hanya ingin ....” Takashi tak melanjutkan perkataan. Fitri melotot padanya. Gadis itu sangat marah. Tanpa pikir panjang lagi ia meninggalkan Takashi. Fitri segera menyetop taksi yang lewat di depannya. Ia memutuskan untuk pulang ke asrama. Tatapannya menerawang keluar jendela dengan air mata yang masih berduyun-duyun. “Nona, ngomong-ngomong mau ke mana?” tanya sopir taksi. Fitri hanya diam. Si sopir taksi kembali bertanya “Nona, ke mana tujuanmu?” “Gomen, asrama Universitas Waseda,” jawab Fitri kaget. Ia menyeka air matanya yang masih menderas. *** Jill langsung berinisiatif membuatkan secangkir teh hangat saat melihat Fitri pulang dengan kondisi kedinginan. Dari ekspresi Fitri, sepertinya ada hal lain yang membuat dirinya lemas selain suhu udara yang sangat tidak bersahabat. Jill yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu. Terlebih ketika melihat air mata Fitri berlinang saat menerima teh pemberiannya. Serta merta ia memeluk tubuh gigil Fitri. Fitri melepaskan rangkulan Jill. “Jill, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Kamu mau, kan, menyimpan cincin ini?” Ia membuka cincin dari jari manisnya dan memberikan pada Jill. “Hei! Bukankah kamu bilang cincin ini adalah pemberian neneknya Ume-san? Kamu harus menyimpannya.” Jill meyakinkan Fitri agar kembali memasang cincin tersebut. Fitri memandang nanar cincin berbatu biru tersebut. Teringat betapa jantungnya berdegup kencang saat Takashi memberikan perhiasan itu padanya. “Oke, baiklah. Aku simpan, tapi tidak akan memakainya.” Fitri memasukan benda yang dipegangnya itu ke dalam kotak kecil yang diambil dari dalam lemari dan memasukkan ke dalam koper. “Oh ya, kamu yakin akan kembali ke Indonesia?” Jill kembali bertanya. “Tentu saja. Aku sudah memesan tiket.” “Mmm ... baiklah. Aku tidak punya wewenang untuk memintamu tetap di sini,” jawab Jill pelan, berusaha menahan air mata yang ingin luruh. Ia terlihat sangat kecewa. “Jill, untuk apa lagi aku di sini? Tujuanku ke Jepang adalah untuk kuliah dan sekarang aku sudah diwisuda. Aku juga sudah mengatakan padamu bahwa aku sudah memesan tiket, bukan?” Jill hanya menganggut-anggut tak tahu harus berkata apa lagi. Kurang lebih dua tahun tinggal bersama ia sangat mengerti dengan kekeraskepalaan Fitri. Suasana pagi itu tak sehangat dua cangkir kopi yang sedang mereka nikmati. Fitri dan Jill sama-sama bergeming di kursi mereka masing-masing. Jill masih kecewa dengan keputusan Fitri untuk kembali ke Indonesia. Dan sebenarnya itu juga yang dirasakan Fitri. Ia juga tak berharap akan langsung meninggalkan Jepang setelah wisuda. Gadis itu memiliki impian besar untuk bisa bekerja di Negeri Sakura, tetapi luka yang dirasakan saat ini menuntut Fitri untuk segera kembali ke negaranya. Tokk! Tokk! Tokk! Mereka sama-sama tersentak dan menoleh ke arah sumber ketukan. Jill meletakkan cangkirnya di atas meja dan bergerak ke arah pintu dan membukanya. Ia mendapati Sato Ayumi berdiri di sana sambil tersenyum. Tangan gadis bermata sipit itu memegang handle sebuah koper berwarna merah muda. “Sumimasen, Jill-san, Fitri-san ada?” Gadis itu membungkuk sopan. “Iya ada. Fitri ....” Belum selesai kalimat Jill, Fitri yang mengetahui bahwa seseorang yang datang adalah Ayumi, ia segera mendekati pintu. “Sato-san, kemarin aku ke kamarmu, tapi teman sekamarmu bilang kamu menginap di Okubo. Kenapa tidak ikut wisuda?” Fitri menatap gadis itu serius dan ia sangat heran melihat Ayumi yang membawa koper. “Sato-san mau ke mana?” “Kemarin pamanku yang di Okubo sakit dan barusan aku mendengar kabar bahwa beliau sudah meninggal. Jadi, sekarang aku akan ke Okubo dan setelah itu langsung kembali ke Osaka. Aku ingin berpamitan dengan kalian berdua. Oh ya, aku juga mau memberi ini untukmu Fitri. Selamat wisuda.” Ayumi menyerahkan kotak kecil yang dihiasi pita warna-warni itu pada Fitri. “Turut berdukacita, Sato-san. Terima kasih kadonya. Oh ya, aku juga punya kado untukmu. Chotto matte.” Fitri berlari mendekati lemari besar di sudut kamarnya dan meraih kotak yang berukuran sedikit lebih besar dari yang diberikan Ayumi barusan. Ia bergegas kembali mendekati Jill dan Ayumi. “Ini kado untukmu, Sato-san.” Fitri menyerahkan benda tersebut. “Oh ya, sebelum kamu pergi, bagaimana jika kita bertiga berfoto dulu?” pinta Jill. “Setuju.” Fitri menanggapi. Ketiga gadis itu mengabadikan momen perpisahan mereka dengan menggunakan kamera Fitri. Jill dan Fitri yang tadinya sama-sama terlihat bersedih, tetapi di hadapan Ayumi mereka berusaha bersikap biasa-biasa saja. *** Bandara Haneda, Tokyo. Dari kejauhan Takashi melihat Jill menggendong Ken, sementara Fitri tengah mencium bayi tersebut. Gadis itu menghadap ke arahnya. Namun, mungkin tak melihat Takashi, karena ia berdiri di antara keramaian orang dan jarak mereka cukup jauh. Mata Takashi masih tertuju pada Fitri yang saat itu mengenakan jilbab merah muda. Gadis itu terlihat celangak-celinguk mencari sesuatu. Tak begitu lama kemudian, seorang pemuda berpakaian muslim yang memegang seikat bunga mawar merah, mendekati mereka. Ia memberikan bunga yang dibawanya pada Fitri. Siapakah pemuda itu? Apakah dia adalah calon suamimu? Apakah dia yang bernama Afash? Takashi membatin ketika memorinya menampilkan nama seseorang yang pernah ia temukan di kamera Fitri. Entah bagaimana hatinya menebak bahwa Afash itu adalah nama seorang pemuda yang berarti bagi Fitri. Takashi menghapus air mata. Orang-orang yang berlalu-lalang di bandara itu memandangnya dengan aneh. Ia memutuskan meninggalkan bandara itu. Seikat mawar merah di genggamannya dibuang ke tong sampah. Jill terisak melepas keberangkatan sang sahabat—yang telah menyadarkan bahwa ia harus mempertahankan makhluk kecil di rahimnya yang kini sudah berumur satu tahun. Fitri mencium Ken—bayi tampan berwajah bule dan bermata sipit itu. Mereka saling melepaskan rasa dalam pelukan perpisahan. Kemudian Fitri terlihat celangak-celinguk mencari sesuatu. Ia memutar arah penglihatan ke sana-sini. Seperti ada seseorang yang sangat diharapkan datang untuk memberikan ucapan perpisahan. “Apa kamu menunggu Ume-san?” tanya Jill terlihat penasaran. Fitri tersentak dan berhenti mencari.“Ti-tidak. Aku hanya menunggu temanku. Oh, itu dia ... Mas King!” teriak Fitri sambil melambaikan tangannya pada seorang pemuda. Pemuda berpakaian muslim yang dipanggilnya itu mendekati mereka. “Maafkan saya karena kemarin tidak bisa hadir di acara wisudamu, Dik Fitri. Saya juga tidak menghubungimu, padahal Dik Fitri sudah undang saya. Maklumlah sejak dua minggu kedatangan saya kembali ke sini, saya terlalu sibuk. Tapi hari ini saya harus datang. Habisnya Dik Fitri udah mau pulang aja, sepertinya pertemuan kita di Jepang hanya sampai bandara, ya?” “Iya tidak apa-apa, Mas King. Saya senang sekali karena Mas King bisa datang hari ini.” “Oh ya, ini untuk kamu.” Pemuda itu memberikan seikat mawar merah yang dibawanya pada Fitri. Fitri mengambil bunga tersebut. Ia terlihat sangat senang. Sementara Jill yang merasa mengenal pemuda itu terlihat seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. “Apakah kita pernah bertemu?” “Tentu saja, kamu Jill, ‘kan? Kita bertemu di bandara ini saat kamu menjemput Fitri pertama kali,” ujar pemuda itu. “Oh iya aku ingat, K-king, right?” “Exactly, tapi ada yang berubah sedikit dari wajahmu. Ng ... apa, ya?” King terlihat berpikir. “Iya, aku mengganti gigiku dan memasang kawat gigi,” jawab Jill sambil tertawa. Sementara Jill dan King bercerita, Fitri kembali terlihat mencari-cari sesuatu. Namun, pencariannya terhenti saat mendengar pemberitahuan bahwa pesawat yang akan ditumpanginya akan berangkat. Ia segera menyalami Jill dan King dan menarik koper menuju pesawat. Fitri melambaikan tangan. Dari kejauhan, matanya masih mencari-cari sesuatu. Ia seperti mengharapkan seseorang yang tiba-tiba datang dan mengejar atau paling tidak melambaikan tangan padanya. Berat sekali langkah kaki gadis itu untuk masuk ke pesawat. **** gomen : Maaf sumimasen : permisi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD