Cincin Dari Obaasan

1611 Words
Setelah menjemput Fitri dan Jill ke asrama Waseda, mobil Takashi--yang rodanya masih dililit rantai-- melesat menuju Kyoto. Takashi fokus menyetir, di sebelahnya Akane sibuk berdandan. Sementara Fitri dan Jill yang duduk di belakang mereka terlihat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Jill mendengarkan musik dan sesekali menempelkan headset ke perut buncitnya. Dirinya sangat berharap kelak buah hati yang ia kandung bisa terjun ke dunia musik. Tiba-tiba keinginan itu membuat Jill kembali terbawa perasaan. Ia merindukan Kazuma. Air mata gadis berkulit putih pucat itu kembali mengalir. Namun, Jill bergegas menghapus sebelum ada yang mengetahui kesedihan itu. Fitri fokus menikmati perjalanan. Ia tak ingin melewatkan satu pun pemandangan di tempat yang dilalui. Kameranya siaga merekam. Baginya perjalanan tersebut adalah perjalanan terpanjang selama berada di Negeri Sakura. *** Mobil Takashi mulai memasuki kawasan Kyoto. Kota kecil yang masih kental dengan budaya khas Jepang. Sepanjang perjalanan, mata Fitri dimanjakan oleh keindahan Kota Kyoto yang masih sangat tradisional. Entah sudah berapa banyak kuil-kuil bersejarah yang abadi dalam rekaman kameranya. Belum lagi rumah-rumah tradisional Jepang sangat tak asing di sana. Kehidupan dan keindahan klasik masih dipertahankan. Khayalan Fitri membawanya seperti sedang bertamasya ke masa lalu Jepang. Ia terus berdecak kagum dengan semua yang dilihatnya. “Waah ... indah sekali!” seru Fitri. Jill yang pada awalnya hanya berkutat dengan perasaannya, saat mendengar ketakjuban Fitri segera memutar fokus netranya. “Wow, nice!” Jill berseru takjub. “Kalian suka?” tanya Takashi. “Totemo sukidesu!”teriak kedua gadis itu serentak. Belum usai ketakjubannya. Netra Fitri disuguhkan dengan hal yang menarik dirinya untuk bertanya. Ia melihat beberapa orang gadis berpakaian adat Jepang dengan dandanan sangat unik berjalan sambil terlihat bercengkerama satu sama lain. “Takashi-san, kenapa gadis-gadis itu berdandan seperti demikian?” “Mereka adalah Maiko atau Geisha.” Pemuda itu melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul setengah empat sore. Kemudian kembali berujar. “Sudah sore. Mereka sedang menuju tempat kerja.” Takashi menjelaskan. “Mereka kerja di mana?” Fitri melirik Takashi dari kaca spion. “Di kedai teh di Gion.” Takashi terlihat fokus pada jalanan. “Kira-kira lima menit lagi kita akan sampai di Gion, rumah Obaachan-ku di daerah itu.” Akane yang duduk di sebelahnya, yang sejak tadi hanya sibuk dengan penampilan, pun ikut mengeluarkan suara. “Aku sangat setuju dengan kalian berdua. Tempat ini sangat indah. Apalagi di musim semi. Sayang sekali kalian berkunjung ke sini terlalu cepat. Padahal musim semi masih dua bulan lagi. Oh ya, di sinilah kami berdua bertemu pertama kali. Benar, kan, Sayang?” ungkap Akane terlihat sangat bahagia sambil bersandar manja di bahu Takashi. Pemuda itu tersenyum dan membelai rambut Akane. Fitri yang menyaksikan adegan mesra mereka tiba-tiba merasa dadanya sangat sesak. Astagfirullahal’adzim! Ada apa dengan hamba, ya Allah? gumamnya di dalam hati. Fitri tak mengerti apa yang sedang menderanya. Setiap kali melihat kemesraan Takashi dengan Akane, ia selalu merasa tersakiti. Cemburukah? Jill yang duduk di sebelah Fitri—yang mengetahui perubahan ekspresi Fitri—terlihat bingung. Ia mencolek lengan gadis itu dan berbisik. “Kamu kenapa?” Sementara Fitri hanya menggeleng dan berusaha tersenyum. “Jadi tidak sabar ingin ketemu nenek kamu, Takashi-san.” Fitri berusaha menenangkan suasana hatinya. “Nenekmu sudah tahu bahwa kita akan datang?” Jill ikut bersuara. “Belum. Saya sengaja ingin memberi kejutan. Are ... kita sudah sampai.” Takashi memarkir mobilnya di depan sebuah rumah kecil khas Jepang yang tak lain adalah rumah neneknya tersebut. Di teras rumah itu terdapat sebuah rak sepatu yang di dalam bahasa Jepang disebut getabako. Fitri mengambil sebuah sandal kayu khas Jepang dari rak tersebut kemudian memotretnya. Dengan mengendap-endap mereka masuk ke rumah tersebut. Selama sebulan ini Takashi tak mengunjungi sang nenek yang sudah membesarkannya itu. Kedua orang tuanya meninggal saat Takashi kecil—saat ia berumur sebelas tahun. Sang nenek yang sudah lama menjanda membesarkannya sendirian. Wanita bertubuh ringkih itu belum menyadari kedatangan mereka, ia terlihat sedang asyik merajut. Dengan mesra Takashi memeluk sang nenek dari belakang. Tentu saja neneknya sangat kaget. Alangkah bahagia wanita itu melihat kehadiran cucu yang sangat dirindukan. Bertubi-tubi ia mencium pipi Takashi, begitu pun sebaliknya. Pemuda itu terlihat sangat menyayangi sang nenek. Fitri yang memperhatikan mereka merasa ikut larut dalam kerinduan tersebut. “Ke mana saja kamu? Kamu sudah lupa pada Obaachan, ya?” Sang nenek menepuk-nepuk bahu Takashi. “Tidak, Obaachan. Aku hanya belum sempat saja, kok.” Pemuda itu kembali mencium pipi sang nenek. Fitri masih menatap mereka kagum, meskipun ia tak terlalu mengerti dengan apa yang sedang mereka bicarakan. “Oh ya, Obaachan, ingat hari apa sekarang?” “Tentu saja. Hari Sabtu, ‘kan?” jawab sang nenek. “Bukan itu maksudku, Obaachan. Oh ya, tunggu sebentar.” Takashi memanggil Fitri, Akane dan Jill. “Obaachan, ini Suada-chan. Temanku dari Indonesia.” “Hajimemashite, Suada-chan.” Nenek Takashi menyapa Fitri. “Hajimemashite, Obaasan.” Fitri membungkukkan badan. Takashi juga memperkenalkan Jill dan Akane, meskipun sudah sering membawa Akane ke rumah neneknya. Sang nenek yang sudah mulai pikun, membuat Takashi terpaksa harus selalu mengenalkan kembali setiap siapa pun yang ia bawa. Takashi mengedipkan mata ke arah tiga gadis yang dibawanya itu sebagai kode. Karena isyarat itu, Akane segera mengambil kue ulang tahun yang sudah mereka persiapkan. “Ichi ... ni ... san ... otanjoubi omedettou, Obaachan!”teriak ketiga gadis itu dan juga Takashi. Sang nenek sangat kaget dengan kejutan tersebut. Matanya terlihat berkaca-kaca. Wanita tua itu terharu. Ia mengerjapkan matanya yang basah karena bulir haru yang tercipta karena momen manis tersebut. “Wah ... domo arigatogozaimashita.” Nenek Takashi membungkukkan badan. Air mata haru masih senantiasa mengalir di pipi yang penuh kerutan itu. Hal tersebut mendorong Takashi untuk merangkul sang nenek. “Obaachan lupa bahwa hari ini Obaachan berulang tahun, ‘kan?” Takashi melepas pelukan sambil menyeka air mata sang nenek. “Iya. Arigatou, Minasan.” Nenek Takashi kembali membungkukkan badan. “Tunggu. Obaachan ingat. Suada-chan adalah pacar Taka dan ... dua gadis ini baru pertama kali ke sini,’kan?” Akane yang mendengar hal itu, tiba-tiba terlihat sedih. Ia terdiam. Jill yang mengerti Bahasa Jepang pun ikut terdiam. Fitri memang belum lancar berbahasa Jepang, tetapi ia bisa menangkap makna dari perkataan nenek Takashi kali ini. “Hamasaki-san. Jangan sedih, ya. Obaasan itu, kan, sudah pikun.” Fitri mencoba menghibur Akane. “Maafkan saya, ya,” ujarnya lagi. “Bukan salahmu, kok,” balas Akane. Takashi datang membawakan minuman khas Jepang—teh hijau—untuk ketiga gadis itu. Usai menyeruput segarnya minuman tersebut, Akane mengajak Fitri dan Jill untuk menikmati pemandangan di luar rumah. Namun, Fitri yang masih tertarik dengan rajutan nenek Takashi lebih memilih untuk tetap di sana. Sementara Jill dan Akane memutuskan untuk keluar. Fitri bingung bagaimana memulai untuk berbicara dengan nenek Takashi karena kemampuannya berbahasa Jepang masih terlalu minim, sehingga ia meminta Takashi untuk menerjemahkan. Ia senang sekali karena sang nenek menghadiahkan syal yang dirajutnya untuk Fitri. “Arigatougozaimashita, Obasaan,” ujar Fitri membungkukkan badan. “Kochira kosho.” Sang nenek ikut membungkukkan badan.” Oh ya ... Taka-kun, ikut Obaachan sebentar,” pinta sang nenek sambil berjalan menuju kamarnya. Takashi mengikuti. *** Takashi keluar dari kamar sang nenek dengan wajah berseri-seri. Ia mendekati Fitri. “Obasaan mana, Takashi-san?” Fitri penasaran karena melihat Takashi yang keluar sendirian. “Obaachan masih di kamar. Oh ya, sepertinya obaachan menyukaimu, Suada-chan.” “Ma-maksud kamu?” Fitri mengernyitkan dahi. “Obaachan sangat tidak setuju saya berpacaran dengan Akane, apalagi menikah dengannya. Dan tadi beliau selalu memujimu. Katanya kamu cantik dan sopan.” “Lalu?” Fitri masih terlihat bingung. “Obaachan bilang dia lebih baik melihat saya menikahimu daripada dengan Akane,” ujar Takashi sambil tertawa. “Kita bahas yang lain, yuk. Saya tidak ingin Hamasaki-san salah paham bila mendengarnya.” “Baiklah. Oh ya, tentang kata-kata Obaachan tadi jangan dianggap serius, ya. “Iya. Tenang saja. Kita ke tempat Jill dan Hamasaki-san, yuk,” ajak Fitri. “Tunggu dulu, Suada-chan. Saya ingin memberikan sesuatu.” Takashi merogoh sakunya. Sebuah kotak kecil kini ada di genggamannya. Pemuda itu memberikan kotak tersebut pada Fitri. “Ini apa, Takashi-san?” Fitri terlihat bingung. Pemuda itu tak menjawab ia hanya menyuruh Fitri untuk membuka benda persegi tersebut. “Cincin?!” Fitri sangat kaget ketika mengetahui kotak kecil itu berisi sebuah cincin berbatu biru yang jika dilihat dari modelnya terlihat klasik dan mewah. Takashi tiba-tiba menatap Fitri. Entah sadar atau tidak? Fitri telah terperangkap dalam sorotan tajam mata sipit pemuda tersebut. Cukup lama ia menatap si pemuda. Terasa darah berdesir hangat mengalir dari jantungnya. Astagfirullal’adzim. Ada apa denganku? Cepat-cepat Fitri mengalihkan pandangannya. Ia sadar bahwa dirinya baru saja melakukan zina mata, memandang lawan jenis yang bukan mahram ditambah lagi dengan adanya campur tangan perasaan, dengan Takashi. Ia juga mengerti betul bahwa dirinya sudah bermain-main dengan komitmennya sendiri, tetapi berat sekali hatinya untuk mengakui kekhilafan itu. “Ada apa, Suada-chan? Oh ya, cincin ini pemberian Obaachan. Beliau memberikannya sebagai oleh-oleh. Saya takut kamu salah paham. Jangan sampai Akane mengetahui hal ini, ya. Saya khawatir dia cemburu dan langsung mengakhiri hubungannya dengan saya.” “Saya tidak bisa menerima ini, Takashi-san,” Fitri mengembalikan cincin tersebut. “Nanti Obaachan sedih, loh. Tolong terima saja, Suada-chan,” pinta Takashi. Fitri terdiam sejenak. “Ngg ... baiklah.” Fitri menyimpan kotak kecil itu dan menemui nenek Takashi untuk mengucapkan terima kasih. Tatapan si pemuda oriental itu masih membayang di ruang matanya. Perasaannya sulit dijelaskan. ***** obaachan : nenek ( digunakan oleh cucu kandung sebagai panggilan manja) Obaasan : nenek( untuk orang yang belum akrab) Minasan : Kalian semua kochira kosho : sama-sama
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD