Nasihat dari Orang Asing

1619 Words
Ponsel yang berada di dalam tas Fitri bergetar untuk kesekian kalinya. Namun, ia tak langsung memeriksa karena dirinya masih fokus pada pembahasan Profesor Nakamura—tentang filsafat. Entah karena sang Guru Besar yang menyampaikan dengan lugas atau karena dirinya memang menyukai materi tersebut, sehingga Fitri benar-benar tertarik mendengar. Bahkan ia sangat antusias saat Profesor Nakamura meminta untuk menceritakan tentang perdebatan Parmenides dan Herakleitos. Saking tertariknya Fitri dengan materi tersebut membuat ia merasa bahwa proses belajar sangat cepat berakhir. “Fitri, penjelasanmu tadi sangat bagus. You are so cool,” puji sang dosen. Pria bermata sipit itu mengucapkan kalimat demi kalimat bahasa Inggris dengan sangat kental. “Thanks, Professor,” ucap Fitri sambil refleks membungkukkan badan. Profesor Nakamura tersenyum dan mengacungkan dua jempol, kemudian meninggalkan kelas. Ayumi yang baru selesai memasukkan buku-buku ke dalam tas menghampiri Fitri. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sambil bercengkerama. “Sepertinya kamu akan menjadi mahasiswi kesayangan Profesor Nakamura, Fitri-san.” Ayumi semringah. “Kamu berlebihan. Aku hanya menyampaikan pendapat yang biasa saja.” “Oh ya, Fitri-san, aku ingin cerita sesuatu.” Ayumi terlihat serius. Belum sempat Fitri menanggapi Ayumi. Tiba-tiba, ia teringat dengan ponselnya. Ia segera mengambil benda persegi panjang yang terus bergetar selama lima belas menit terakhir kuliahnya berlangsung itu. [Suada-chan, apakah kamu sibuk hari ini? Bisakah kita bertemu?] Saat mengetahui pengirim pesan itu adalah Takashi—yang sudah satu minggu tak terdengar kabarnya—dengan perasaan menggebu ia membalas pesan tersebut. Tak bisa dipungkiri bahwa dirinya sangat bahagia menerima berita dari pemuda bermata sipit itu. “Fitri-san, kamu tidak mendengarku, ya?” Ayumi yang berjalan di sebelahnya menjadi penasaran ingin mengetahui siapa yang mengirimi Fitri pesan sehingga tak mengacuhkannya. “Siapa, ya, yang mengirimimu pesan? Sepertinya orang yang sangat spesial?” Fitri masih tak menanggapi Ayumi. Ia fokus menekur ke layar ponselnya. [Maaf karena terlambat membalas pesanmu. Tadi saya sedang kuliah. Sekarang baru saja selesai. Kamu ingin bertemu di mana?] Tak menunggu waktu lama. Ponsel Fitri kembali bergetar. [Bisakah kamu menunggu di sana sebentar? Saya akan segera ke kampusmu] [Ok. Saya tunggu di Okuma Teien] “Sato-san. Ada temanku yang menunggu di Okuma Teien. Hari ini kamu pulang sendiri, ya?” “Benar dugaanku. Pasti dia adalah orang yang spesial, sehingga aku tak diacuhkan. Padahal aku ingin curhat.” Ayumi cemberut. “Ya ampun. Maafkan aku. Aku sama sekali tak mendengar perkataanmu. Kamu mau curhat tentang apa?” Fitri merasa tak enak hati pada Ayumi. “Ah, sudahlah. Aku sedih, nih.” Ayumi memonyongkan bibirnya. “Aku benar-benar minta maaf.” Fitri membungkukkan badan. “Mau cerita tentang Librarian itu, ya?” Fitri menebak. “Iya. Aku sedih. Ternyata dia sudah menikah. Kemarin, istri dan anaknya datang ke perpustakaan. istrinya sedang hamil. Aku benar-benar cemburu, apalagi kemarin aku melihatnya mencium perut si istri.” Ayumi memasang wajah kecewa. “Ya ampun. Kamu jangan sedih, dong, Sato-san. Masih banyak laki-laki lain, ‘kan?” Fitri ikut memasang wajah prihatin. Namun, baru saja dirinya mencoba menghibur, ia dibuat bingung oleh Ayumi yang tiba-tiba terpana sambil tersenyum-senyum sendiri. “Kamu benar Fitri. Aku sudah menemukannya. Di musim dingin ini aku menemukan seseorang yang bisa menghangatkanku.” Ayumi menarik ujung jaketnya, menutupi jemarinya yang kedinginan. “Hah?” Fitri menoleh ke arah tatapan Ayumi. Seorang pemuda tampan yang mengenakan jaket berwarna cokelat berjalan di depan mereka. Bila dilihat dari cara bergerak dengan maskulin dan berpostur tegap, bisa dipastikan ia memiliki tubuh atletis. Mata Ayumi tak berkedip memandang pemuda tampan itu. “Fitri-san, pergilah temui temanmu. Aku ingin mengejar cinta sejatiku.” Ayumi meninggalkan Fitri yang masih terlongong-longong melihat tingkahnya. “Dasar Sato Ayumi. Cepet banget move on-nya.” Fitri bergumam pelan dan menggeleng-gelengkan kepala, kemudian kembali teringat bahwa dirinya memiliki janji dengan Takashi. Ia mempercepat langkah menuju Okuma Teien. Tak bisa dibohongi perasaannya saat ini. Ia benar-benar berbunga-bunga mengetahui Takashi ingin bertemu dengannya. Kebahagiaan tersebut membuat perjalanan menuju Okuma Teien tak begitu terasa. “Hai, Suada-chan. Maaf, ya, saya membuatmu menunggu.” Udara putih seperti asap keluar dari mulutnya bersamaan dengan setiap kata yang ia ucapkan. Hal itu sangat menjelaskan betapa dinginnya suhu saat itu. Takashi datang tepat saat Fitri baru saja sampai di Okuma Teien. “Sama sekali tidak menunggu, kok. Saya juga baru sampai di sini.” Sama halnya dengan Takashi. Dari mulut Fitri juga muncul udara putih—khas musim dingin—yang memang terjadi kepada setiap orang yang berbicara atau mengembuskan napas di musim dingin. “Syukurlah. Sudah lama tak melihatmu, membuat saya rindu. Kira-kira apa, ya, penyebabnya?” Takashi tersenyum menggoda Fitri. “Karena kamu memang akan selalu mengatakan rindu pada setiap gadis,” ledek Fitri. “Kamu juga merindukan saya, ‘kan?” goda Takashi. Seketika pipi Fitri memerah mendengar pertanyaan yang dilontarkan pemuda itu. “Saya cuma khawatir kalau ternyata kamu sudah melupakan saya,” jawab Fitri sekenanya. “Mana mungkin saya melupakanmu.” “Mungkin saja, ‘kan?” Fitri bersikap pura-pura merajuk. “Kamu ini kadang-kadang terlihat seperti Akane. Suka merajuk dan manja.” Takashi tertawa. Ungkapan Takashi bagaikan menyiramkan air panas di hati Fitri. Ia tak mengerti mengapa dirinya merasa sangat tersakiti tiap kali Takashi membahas tentang pacarnya. “Sepertinya kamu sangat mencintai Hamasaki-san, ya?” Fitri berusaha mengeluarkan suara. “Tidak, kok. Saya tidak pernah mencintai Akane atau pun gadis-gadis yang pernah jadi pacar saya,” jawab Takashi santai. “Lalu? Kamu hanya mempermainkan mereka!?” Fitri bertanya dengan suara agak keras karena kaget. “Ano, saya tidak mengerti juga. Jujur saja saya menganggap bahwa berpacaran hanya untuk bersenang-senang. Mereka belum tentu juga mencintai saya. Mereka juga ingin bersenang-senang saja. Semua gadis sama saja,” ujar Takashi masih dengan nada santai. “Apa maksud kamu bilang kalo semua gadis itu sama saja, hah?!” Fitri merasa sangat marah dengan ungkapan-ungkapan Takashi yang terkesan meremehkan perempuan. “Are, kamu jangan marah dulu. Saya belum selesai bicara. Ternyata gadis manis seperti kamu bisa marah juga. Tapi, kok, terlihat semakin manis, ya?” ungkap Takashi merayu. “Saya tidak sedang bercanda. Kamu tidak perlu menggombali saya!” gerutu Fitri. “Eits, tunggu dulu. Bukankah Islam melarang umatnya untuk marah. Saya baca banyak hal tentang itu. Islam cinta kedamaian. Islam itu tenang.” Pemuda itu terlihat sangat menghayati kalimat yang dikatakannya. “Ngomong-ngomong, tolong dengarkan saya dulu, Suada-chan,” lanjut Takashi dengan nada tenang. “Tadi saya belum katakan kecualinya, ‘kan? Tadi saya mau bilang kalau semua gadis itu sama saja, kecuali gadis-gadis yang menjaga kehormatannya seperti kamu, Suada-chan. Saya harap kamu terus seperti ini. Teruslah jadi wanita yang sopan. Jaga sikap, jaga aurato. Tetap jadi wanita Islam yang patuh pada agama” Takashi tersenyum. Di dalam hati Fitri merasa lega. Ia sangat setuju dengan penilaian pemuda oriental itu. Ia sangat bahagia terlahir sebagai seorang muslimah yang terjaga kehormatannya. Dan satu hal lagi adalah karena pengetahuan Takashi tentang Islam sudah semakin meningkat. Ia sangat bahagia mengetahui seorang pemuda yang tak percaya Tuhan, tetapi berusaha mencari tahu tentang agama yang sangat mempercayai kuasa Tuhan. Terlebih saat pemuda itu, yang masih asing bagi Fitri dan juga dengan agamanya, memberikan nasihat yang sangat sejalan dengan aturan Islam. “Suada-chan, kamu pernah bilang kalau wanita yang tidak menjaga aurat akan dilecehkan, bukan?” “Iya. Tapi kamu jangan begitu. Kasihan mereka.” “Saya rasa semua laki-laki di dunia ini pasti mempunyai cara pandang yang sama dengan saya,” Takashi terlihat yakin. “Saya tahu. Tapi sebagai sesama wanita dengan mereka. Saya mohon padamu jangan sakiti gadis-gadis yang menjadi pacarmu.” “Saya tidak bisa mencintai mereka.” Takashi mengatakannya dengan santai. “Kalau begitu jangan pacari mereka, dong.” Fitri tiba-tiba kembali merasa sangat kesal. “Kalo saya tidak pacaran dengan mereka, bagaimana kalau denganmu saja?” Takashi kembali mengeluarkan jurus gombalnya. “Ah, sudahlah! Saya tidak akan berbicara dengan kamu lagi!” Fitri terlihat semakin kesal. “Ternyata kamu orangnya pemarah, ya. Sudahlah, ayo, kita bahas yang lain.” Takashi berusaha mencairkan suasana. Fitri masih bergeming. Hatinya terasa panas karena menahan jengkel pada pemuda di sebelahnya itu. “Ya sudah, kalau begitu saya akan belajar mencintai Akane.” Takashi berusaha membuat Fitri membuka suara. Pancingan Takashi berhasil. Gadis itu memutar kepala ke arahnya. “Ayo, kita bahas yang lain saja, Takashi-san.” “Nah, begitu baru Suada-chan yang saya kenal. Oh ya, sebenarnya saya ingin mengajak kamu ke Kyoto menemui Obaachan. Kamu mau, ‘kan?” “Obaachan? Nenekmu?” Fitri memastikan. Ia tak menyangka jika Takashi berniat ingin memperkenalkan dirinya dengan nenek si pemuda Jepang itu, padahal mereka baru kenal. Fitri menjadi gugup sendiri, gadis itu belum siap untuk berkenalan dengan keluarga dari teman yang masih belum akrab dengannya. Namun, ada rasa berbunga-bunga yang juga menghampiri perasaannya. Ia menyadari bahwa dirinya sudah menyimpan rasa yang tak biasa untuk Umehara Takashi. “Iya. Sekalian sampaikan pada Jill juga, ya. Obaachan dua minggu lagi berulang tahun. Saya dan Akane berencana memberi beliau kejutan. Jadi, kami ingin mengundangmu dan Jill,” jelas Takashi. “Oh. begitu, ya?” Fitri kecewa setelah mendengar penjelasan Takashi yang ternyata hanya ingin mengundangnya untuk datang ke acara ulang tahun nenek Takashi. Dan bukan hanya dirinya yang diundang. Entah kenapa ia kecewa. “Mmm ... nanti saya akan kabari Jill. Hari ini dia kurang enak badan, semoga besok sudah baikan, maklum ibu hamil. Oh ya, saya pulang dulu, sudah sore,” ujar Fitri berusaha tersenyum menutupi kekecewaannya. “Saya antar, ya?” Takashi kembali menawarkan. “Terima kasih tawarannya, tapi saya jalan kaki saja, Takashi-san.” Fitri kembali menolak tawaran pemuda Jepang itu. “Kalau begitu saya temani jalan kaki, ya?” “Baiklah,” jawab Fitri. Mereka bergerak meninggalkan Okuma Teien. ***** Obaachan/Obaasan : Nenek Aurato : Aurat. Sebagai orang Jepang, Takashi tidak bisa menyebut huruf konsonan tunggal, jadi dia menambahkan "to" saat menyebut kata "aurat"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD