Rasa Yang Masih Ada

3276 Words
Fitri meminjam mobil Makdang Burhan untuk menjemput Jill di bandara Soekarno-Hatta. Sudah lama dirinya tak menyetir, sehingga kali ini gerakannya saat memutar kemudi terkesan kaku. “Aduuuh, kok, aku deg-degan, ya, bawa mobil Makdang?” Fitri mengeluh sendiri. Tepat setelah dirinya sampai di bandara terbesar Indonesia itu, Fitri mencoba menelepon Jill, tetapi nomor ponsel gadis bule itu tak aktif. “Mungkin dia masih di perjalanan,” gumam Fitri. Sembari menunggu, ia mengeluarkan laptop untuk membaca kembali tulisannya yang baru selesai. Kurang lebih setengah jam menunggu, ponsel Fitri kembali bergetar. Sebuah panggilan dari Jill. “Jill, apakah kamu sudah sampai?” “Iya. Ini aku sudah keluar dari pesawat. Kamu di mana?” “Oh iya. Aku menunggu di luar, Jill.” Fitri memasukkan laptop ke dalam tas dan bergerak mendekati ruang boarding pass untuk menunggu Jill yang sedang berjalan ke luar. *** Fitri melambaikan tangan pada Jill saat melihat gadis itu keluar dari ruang boarding pass, dari arah berlawanan dengannya. Jill membalas lambaian Fitri sambil menarik koper. Ken berjalan di sebelah Jill dengan cara melangkah yang masih menggemaskan, membuat Fitri yang melihat ingin sekali menggendongnya. Kedua sahabat itu saling berpelukan melepas kerinduan. "Hi, Ken.” Fitri menyapa Ken. Bocah itu hanya memandanginya heran. Mereka berjalan ke arah parkiran mobil. Fitri menggantikan Jill membawa koper besar itu karena wanita berambut pirang itu harus menggendong Ken yang sudah tak mau berjalan sendiri. Mobil yang dikendarai Fitri bergerak meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, menuju arah Depok. Fitri menyetir sambil sesekali mencubit pipi Ken yang duduk di pangkuan Jill. “Ken sangat mirip dengan Kitano-san, ya,” ujar Fitri refleks. Ia tiba-tiba tersadar dengan apa yang barusan dikatakannya. Segera dirinya membungkam mulut dengan telapak tangan. “Eh, ma-maaf ... aku tidak bermaksud mem ....” “Santai saja Fitri. Aku sudah tak memikirkan itu.” Jill tersenyum.“ Oh ya, ngomong-ngomong Ume-san tidak bisa hadir di pesta pernikahanmu. Dia hanya titip salam untukmu dan calon suamimu,” ungkap Jill sambil mengelus-elus rambut putranya, hingga mata bocah itu mengerjap-ngerjap. Mendengar nama Takashi, darah Fitri berdesir dan jantungnya berdegup kencang. “Takashi? Oh ... bagaimana kabarnya sekarang? Apakah anaknya sudah lahir? Laki-laki atau perempuan?” “Mmm ...” Jill terdiam tak melanjutkan perkataannya. Fitri melirik Jill, kemudian mengernyit. “Jill?” “Eh ... mmm, kabarnya baik.” Jill terlihat salah tingkah saat menjawab pertanyaan Fitri. “Tentu saja. Sudah kuduga, Jill. Pernikahan mereka pasti sangat bahagia.” Fitri tersenyum, tetapi ada luka yang ia berusaha sembunyikan dari Jill. Ingin sekali menangis. Namun, ia tak ingin terlihat bodoh di hadapan sahabatnya itu. Fitri berusaha untuk tetap fokus ke jalanan. “Jill, lihatlah. Ken sudah tidur.” Fitri mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia tak ingin terbawa suasana yang membuatnya menjadi galau karena mereka membahas tentang Takashi. “Iya. Ken sangat suka rambutnya dielus-elus. Oh ya ... Fit, kamu mencintai Ume-san, ‘kan?” “Lo-loh ... apa sih, Jill? Kok tiba-tiba membahas ini? Lagi pula pembahasanmu sama sekali tidak nyambung.” “Jawab saja Fitri,”desak Jill. “Jill! Kamu tidak ingin tiba-tiba kita kecelakaan,’kan? So, please jangan bahas lagi!” Fitri meninggikan volume suaranya. Entah kenapa Fitri tiba-tiba menjadi kesal. “Oh oke. Kalau begitu aku tidur saja.” Jill manggut-manggut, kemudian ia berusaha memejamkan mata. Fitri terlihat merasa bersalah karena sudah membentak Jill. Ia ingin sekali meminta maaf, tetapi diurungkannya. Ia kembali fokus pada aktivitas menyetir. *** Mobil berwarna biru itu berhenti tepat di halaman rumah Makdang Burhan. Fitri membangunkan Jill yang masih tertidur pulas. “Sudah sampai, ya?” Jill mengusap-usap matanya, kemudian keluar dari mobil sambil membopong Ken, sementara Fitri bergerak menuju bagasi untuk mengambil koper Jill. Fitri menarik koper berukuran jumbo berwarna hitam itu ke rumahnya. Jill mengekorinya dari belakang. Fitri segera membawa Jill yang sudah keberatan membopong putranya—yang tidur—ke kamarnya. “ Maaf kamarku sedikit berantakan Jill.” “Justru ini sangat rapi Fitri. Kamarku saja sangat berantakan karena mainan Ken.” Jill meletakkan putranya itu ke atas kasur, kemudian duduk di pinggiran tempat tidur. “Kamu mau teh?” Fitri menawarkan. “Tidak. Nanti saja. Mmm ... duduklah dulu. Aku perlu berbicara serius. Mmm ....” Jill terdiam sejenak. Ia terlihat ragu-ragu. Namun, perlahan dirinya mengeja suara. “Terserah jika kamu akan marah padaku. Tapi aku harus memastikannya. Aku harus menanyakannya sampai mendapat jawaban. Setidaknya kita tidak akan kecelakaan jika aku menanyakannya sekarang.” Jill mengarahkan pandangan pada Fitri yang baru saja mengenyakkan diri di kursi yang ia posisikan tepat di sebelah Jill. Fitri mengangkat kedua alisnya. “Maksudnya, kamu ingin membahas pertanyaanmu di mobil tadi?” Fitri memastikan. Jill tak menjawab, ia hanya mengangguk. “Oh, baiklah. Maaf tadi itu aku terbawa suasana, jadi sekarang aku akan menjawabnya agar kamu puas, Jill. Nah, jawabannya adalah ... aku sama sekali tidak mencintai Takashi. Dia sudah bahagia dengan Akane. Kenapa aku harus menyimpan rasa seperti itu? Lagi pula, sebentar lagi aku akan menikah dengan King. Bagaimana Jill? Pertanyaanmu sudah terjawab,’kan?” “Akane meninggal bunuh diri beberapa minggu sebelum hari pernikahan mereka. Itu informasi yang ingin kukatakan waktu itu, tetapi panggilan kita terputus dan saat aku ingin menghubungimu lagi selalu saja tak bisa dan akhirnya aku lupa bahwa aku belum memberitahumu,” ungkap Jill. Apaa?! Innalilahiwainnaillaihirajiun, Akane meninggal? Fitri terdiam. Perasaannya tak jelas. Seharusnya ia sedih. Ya, Fitri merasakan kesedihan itu. Namun, dirinya tak mengerti. Ada rasa lain yang lebih mendominasi perasaan. Hatinya seperti mengatakan bahwa ia sedang bahagia karena Takashi batal menikah, tetapi kenapa? Bukankah Fitri sendiri akan segera menikah dengan King? Bukankah ia sudah ikhlas dengan rencana pernikahannya dengan King? Bukankah gadis itu telah yakin bahwa dirinya akan jatuh cinta pada King secara perlahan? Kenapa sekarang perasaannya berharap pernikahan dengan King dibatalkan? “Kenapa kamu tiba-tiba diam, Fitri?” tanya Jill sambil mengelus-elus rambut putranya. Fitri masih terdiam. Hanya bulir-bulir bening itu tak sanggup ia sembunyikan dari Jill. Ia tak mengerti perasaannya saat ini. Sedihkah? Atau sebaliknya? Ia sungguh tak mengerti. Semua campur aduk. “Fitri, kamu mencintai Ume-san, ‘kan?” Jill kembali bertanya. lFitri masih diam. Matanya menerawang. “Fitri?” “So-sorry, Jill. Aku akan menikah. Aku tak boleh memikirkan orang lain.” “Tapi menurutku kamu masih memikirkannya. Kamu mencintainya. Kalian berdua saling mencintai.” Jill keukeuh dengan pendapatnya. “Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu? Percaya padaku. Aku tidak mencintai Takashi, dan Takashi pun tidak mencintai aku. Dan perlu kuklarifikasi padamu, Jill. Dulu aku dekat dengannya hanya karena dia ingin belajar mengenal Tuhan dariku, tapi dia tidak berhasil, maka semua sudah selesai.” Fitri terus berkelit. “Bagaimana dengan King? Apakah kamu mencintainya?”Jill menelusuri. “Jill! Berhentilah membahas hal konyol ini. Aku akan menikah!” “Aku adalah sahabatmu Fitri. Kamu harus jujur padaku!” Jill menekankan kalimatnya. “Cinta bisa datang setelah menikah, Jill. Cinta yang hadir sebelum pernikahan itu hanya omong kosong!” jawab Fitri tegas. “Ya, kamu benar. Seperti kisahku dengan Kazuma,‘kan?” Jill tiba-tiba terlihat sedih. “Ji-jill ... Bu-bukan itu maksudku. Jangan tersinggung. Aku hanya tidak ingin membahasnya lagi.” Fitri merasa bersalah. “Okay, Fitri, maafkan aku. Oh ya, sekadar informasi lagi, neneknya Ume-san meninggal dua minggu yang lalu. Saat ini dia tidak punya siapa-siapa lagi,” ujar Jill segera merebahkan tubuhnya di sebelah putranya yang masih terlelap. “Obaasan meninggal?” gumam Fitri dengan air matanya yang kembali menitik. *** Pagi itu, tepat saat azan Subuh berkumandang, Fitri bangun dari tidur. Dilihatnya Jill dan Ken masih tertidur pulas di sebelahnya. Suasana tidur yang sangat manis karena Ibu dan anak itu saling berpelukan. Ia sangat bahagia melihatnya. Fitri bangkit dari tempat tidur untuk melaksanakan ibadah Subuh. Saat hendak meraih mukenanya, benda itu tak ada di tempat gantungan. Ia sangat bingung saat melihat mukena bermotif bunga-bunga itu teronggok di atas meja. “Loh, kok, ada di sini, ya? Bukannya semalam mukena ini kugantung?” Fitri bergeming, berusaha mengingat-ingat. “Ah, sudahlah! Ngapain juga mikirin hal enggak penting?” Fitri melanjutkan ibadahnya. *** Keluarga besar King dan Fitri dipertemukan. Rona bahagia menghiasi wajah-wajah mereka setelah mendengar jawaban kedua calon pengantin itu secara langsung, terutama wajah Ibu Astuti. Ia benar-benar menginginkan seorang menantu seperti Fitri. Tak sengaja Fitri melirik pada pemuda yang sebentar lagi akan mengucapkan ijab kabul untuknya itu. King tersenyum, tetapi Fitri bisa menilai bahwa senyuman calon suaminya itu bukan karena bahagia. Namun, senyuman seseorang yang sedang menyembunyikan luka. Fitri kembali tercenung. Keraguan sekali lagi menyelimuti perasaannya. “Ya Allah. Haruskah pernikahan ini kulanjutkan? Aku bisa rasakan bahwa Mas King sangat terluka. Apa yang harus kulakukan, ya Allah?” “Fitri, kamu kenapa bermenung?” Suara Jill membuyarkan lamunannya. “Oh, tidak. Aku tidak bermenung, kok.” “Kamu benar-benar yakin akan menikah dengan King?” Jill menatapnya dengan tatapan menginterogasi. “Tentu saja, Jill.” Fitri kembali bertekad untuk belajar menerima kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi istri King. Ia percaya, seiring berjalannya waktu dirinya dan King akan saling mencintai satu sama lain. Fitri percaya jika pernikahan itu terjadi, itu adalah jawaban dari doanya yang tentu saja adalah keputusan Allah. Jodoh tak akan salah alamat. Acara puncak untuk hari itu adalah proses pemasangan cincin tunangan. Bu Astuti melingkarkan cincin di jemari Fitri sebagai isyarat ia telah memberi tanda bahwa sebentar lagi putranya akan mengikat Fitri dengan hubungan pernikahan. Setelah serangkaian prosesi hari itu dirampungkan. Keluarga besar King berpamitan. Senyuman seakan tak akan habis menghiasi wajah-wajah mereka. Baru saja mobil Honda Jazz hitam milik King menjauh. Sebuah mobil berwarna merah berhenti tepat di depan rumah Fitri. Seorang gadis semampai berjilbab turun dari mobil tersebut. Jill yang sedang duduk di beranda rumah Fitri, tak sengaja pandangannya tertuju pada gadis itu. Gadis tersebut terlihat memandang ke rumah Fitri, membuat Jill berinisiatif memanggil sahabatnya itu. “Fitri, ada seorang gadis berdiri di depan sana, ia terlihat kebingungan dan celangak-celinguk, mungkin dia temanmu!” teriak Jill. “Oh ya? Tunggu sebentar aku lagi ganti pakaian, nih!” Fitri berteriak. *** Fitri keluar dari kamar dan bergerak mendekati gadis yang dikatakan Jill. Setelah dekat ia semakin yakin bahwa gadis itu adalah orang yang dimaksud oleh otaknya. Gadis bermata biru itu sangat cantik. “Hai. Kamu Adelle, ya?” Fitri tersenyum seraya mendekati gadis itu. “Iya, bagaimana kamu bisa mengenali saya?” Gadis itu terlihat bingung. “Saya mengenalmu dari Mas King. Saya Fitri.” Fitri tersenyum sambil mengulurkan tangan. “Fi ... Fitri?! Ka ... kamu calon istrinya King, ya?” Tiba-tiba air muka Adelle berubah sedih dan air-air bening mengalir di pipinya yang putih pucat. “A ... Adelle, saya tahu kamu sedih karena Mas King akan menikah dengan saya, tapi ....” “Cukup Fitri! Tidak usah lanjutkan! Tujuan kedatangan saya ke sini hanya ingin memastikan kebenaran bahwa King akan menikah dengan wanita lain. Ternyata benar. Jadi, sekarang saya harus pergi!” Gadis itu bergerak menuju mobilnya, ia tak ingin mendengar apa yang akan dikatakan Fitri. Ia terlihat begitu terluka. Air mata berduyun-duyun turun. Fitri berusaha menghentikan langkah Adelle. Sebagai seorang wanita yang sudah beberapa kali terluka, Fitri sangat paham dengan apa yang dirasakan Adelle saat itu. Fitri berusaha mencegat gadis yang menurut cerita King adalah blasteran Indonesia-Perancis yang baru saja masuk Islam itu. Akhirnya, Adelle meminta Fitri untuk masuk ke mobilnya. “Sebelumnya saya minta maaf karena sudah hadir dalam kisah cinta kalian. Jujur saja saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Saya tidak ingin menjadi orang ketiga, Adelle.” Fitri terisak. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang agar saya percaya bahwa kamu memang tidak menginginkan pernikahan ini?” Adelle bertanya dengan sinis. “Sa-saya akan membatalkan pernikahan saya dengan Mas King dan membuat kamu dan dia menikah.” Fitri berujar mantap. Hati yang baru saja mencoba menerima kenyataan bahwa ia akan segera menjadi istri King, kini dengan spontan bibirnya mengatakan akan membatalkan pernikahan itu. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Tak perlu menghibur saya.” Adelle masih tetap sinis. “Saya berjanji.” Fitri meyakinkan. Gadis bermata biru itu memutar kepala ke arah Fitri. Fitri menatap Adelle dengan penuh keyakinan, berharap gadis itu akan memercayainya. “Saya tidak mencintai Mas King, Adelle. Begitu pun sebaliknya, Mas King hanya mencintaimu. Semua ini hanyalah sebuah kesalahpahaman ibu Mas King yang mengira bahwa saya adalah calon istri anaknya.” “Baiklah, akan saya ingat janjimu.” Kalimat yang dilontarkan Adelle masih terdengar sinis. “Baik. Saya minta nomor ponselmu, Adelle.” Fitri menyerahkan ponselnya kepada Adelle.Gadis bule itu meraih ponsel Fitri dan mengetikkan nomor ponselnya. Mobil berwarna merah itu meninggalkan tempat itu segera setelah Fitri keluar. Fitri kembali masuk ke rumahnya dengan perasaan yang kembali berkecamuk. Apa yang bisa hamba perbuat ya, Allah? Kenapa permasalahan bertubi-tubi menghampiri hamba? Hamba mohon kuatkan hamba ya, Allah. *** Jill memperhatikan pertemuan Fitri dan gadis berjilbab itu dari jauh. Ia sangat penasaran saat melihat Fitri masuk ke mobil gadis itu. Saat mobil berwarna merah itu telah pergi, Jill berlari mendekati Fitri. “Keputusanmu sangat tepat, Fitri,” ujar Jill setelah Fitri menceritakan apa yang dibicarakannya dengan Adelle. “Jill, aku benar-benar bingung sekarang.” “Kamu pernah bilang bahwa doamu selalu dikabulkan oleh Tuhanmu, maka kemarin aku berdoa pada-Nya agar pernikahanmu dengan King dibatalkan. Sepertinya Tuhanmu telah mengabulkan doaku,” ucap Jill semringah. “Hah? Jadi, kamu yang kemarin memakai mukenaku, ya?” Fitri teringat dengan kebingungannya kemarin—saat menemukan mukena miliknya tidak di tempat ia meletakkan. “Iya.” Jill tersenyum dikulum. “Aku berhasil, ‘kan? Aku benar-benar bahagia mendengar keputusanmu hari ini, Fit.” Jill terlihat berseri-seri. “Tapi aku bingung bagaimana menjelaskan pada keluargaku dan keluarga Mas King?” Fitri terpana. “Ayolah, Fitri. Jangan takut. Ini demi kebahagiaan banyak orang. Demi kebahagiaan Adelle, King, kamu, dan Ume-san.” “Come on Jill, jangan bawa-bawa nama Takashi! Tidak ada hubungannya!” *** Kedua kaki Fitri terasa berat untuk dilangkahkan. Ia benar-benar bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Baru saja ia berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya sudah melangsungkan pertunangan dengan King dan akan segera menikah dengan pemuda itu. Baru saja hati menerima dan berikrar akan ikhlas menjalani pernikahan tersebut. Dan begitu cepat pula bibir mengikrarkan sebuah janji yang bertolak belakang dengan ikrar sebelumnya. Semuanya berjalan begitu cepat. Dengan langkah gemetar Fitri menghampiri keluarga besarnya yang masih bercengkerama. “Eh anak daro kamari. Duduaklah, Nak,” ujar Makwo Ratna istrinya Pakwo Imran. Dengan senyum kecut Fitri duduk bergabung dengan mereka. “Se-sebenarnya Fitri ingin berterus terang pada keluarga semuanya tentang ....” Fitri terdiam. Semua mata menuju padanya. “Soal apa?” tanya Makdang Burhan yang duduk paling sudut. Ruangan yang tadinya dipenuhi gelak tawa kini berubah hening. Perasaan Fitri semakin berkecamuk. Jill yang duduk di sebelahnya mencoba menyemangati. “Ada apa, Nak? Kamu ingin mengatakan apa? Katakanlah.” Suara Ibu yang lembut dan menenangkan membuat keberaniannya perlahan muncul. “Sebelumnya Fitri minta maaf. Keputusan Fitri mungkin akan membuat semuanya marah. Tapi Fitri harus mengatakannya, bahwa sebenarnya … mmm ... ng ... se-sebenarnya keputusan Fitri untuk menerima lamaran dari keluarga Mas King adalah sebuah keterpaksaan. Fi-Fitri ... tidak sanggup melanjutkan. Fitri tidak bisa.” “Apo nan kau katokan ko Fitri? Jan mambuek malu keluarga! Nida dek a anak kau ko?”suara Pakwo Imran terdengar lantang memenuhi ruangan. Matanya terbelalak menatap Fitri dengan penuh emosi. Makwo Ratna berusaha menenangkan suaminya yang kalut. “Fitri, lu kata pernikahan ntu main-main? Jangan sembarangan lu! Main batal-batalin aja, kayak bocah lu! Asal lu tau aja, ya. Ini udah lamaran kedua yang pengin lu tolak, yang pertama gua bisa terima, tapi sekarang lu udah tunangan, bikin malu tau!” seru Makdang Burhan berapi-api. “Maafkan Fitri, tapi Fitri enggak bisa, Makdang,” ujar Fitri dengan air mata yang semakin berderai. Jill yang berada di sebelahnya merangkul Fitri. “Gua kasih tau sekali lagi, lu ingat kagak umur lu berapa sekarang? Lu pikir lu masih ABG, hah? Iya? Atau lu mau jadi perawan tua?” Makdang Burhan semakin emosi. Air mata Fitri semakin berlinang. Ia melirik ibunya yang duduk di sebelah Jill. Ibunya memandang Fitri dengan tatapan nanar. Beliau terlihat sangat marah dan kecewa pada Fitri. Sang ibu tak tahan menahan embun di matanya. Beliau berlari menuju kamar. Aisyah sang adik menepuk pundak Fitri, menyemangati sang kakak yang sedang tersudutkan itu dan kemudian mengikuti ibunya ke kamar. Fitri merasa sangat bersalah. Ia pun ikut menyusul mereka. “Fitri minta maaf, Bu. Fitri sudah buat Ibu malu. Maafkan Fitri, Bu.” Fitri terngungu sambil memeluk kaki sang ibu yang tercenung dengan tatapan kosong dan air mata yang berduyun-duyun. Ibu tak menggubrisnya. “Bu, Fitri mohon.” Air mata Fitri semakin deras. Ia mendekatkan kepala pada kaki sang ibu, berusaha mengungkapkan rasa hormat melalui tindakan yang sudah biasa dilakukannya, entah saat meminta izin, meminta maaf, dan dalam hal apa pun Fitri selalu mencium kaki sang Ibu. Kali ini sangat disayangkan karena ibunya masih tetap bergeming seperti patung. “Bu.” Fitri masih mencium kaki sang ibu, ia enggan beranjak dari posisi tersebut, yang ada di pikirannya hanyalah maaf dari sang ibu. Setelah hampir setengah jam tak bersuara, tiba-tiba Ibu membelai rambut Fitri, mengangkat kepala Fitri yang sedang mencium kakinya dan menatap anak sulungnya itu.“Sudahlah, Nak. Hapus air matamu. Ibu sudah memaafkan.” Ibu berusaha tersenyum dan kembali membelai rambut Fitri. Mendengar hal itu, air mata Fitri malah semakin menderas. Bukan karena sedih, tetapi terharu. “Beneran, Bu?” Fitri menyeka air matanya dengan tangan. Ibu mengangguk dan terlihat juga menyeka air mata. “Makasih, Bu.” Fitri memeluk ibunya. Aisyah yang menjadi saksi dari momen mengharukan tersebut ikut bergabung dalam pelukan itu. “Ibu memang kecewa dengan keputusanmu, Nak. Tapi Ibu akan jauh lebih kecewa jika suatu saat tahu bahwa anak Ibu menikah karena terpaksa dan akhirnya kecewa. Semua sudah terjadi. Kamu sudah membuat keputusan dan membuat keluarga besar kita kaget. Jadi, sekarang kita hanya perlu menyelesaikannya. Ayo kita keluar, Ibu bersamamu,” ujar Ibu sangat bijaksana. Mereka kembali menuju ruang keluarga untuk menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang sedang menggurat di pikiran mereka. Dengan membaca bismilah dan rasa yakin yang lebih, Fitri kembali menjelaskan. Ibunya pun ikut bersuara. Emosi yang tadi meraja ternyata juga sudah reda. Dengan kepala dingin sebuah keputusan mereka mufakatkan. Mereka sepakat untuk membatalkan pernikahan Fitri dan King. *** Fitri duduk di beranda sambil memangku Ken yang asyik bermain game. Jill yang baru keluar dari toilet ikut duduk di kursi di sebelah Fitri dan meraih tisu untuk mengelap air liur putranya yang sudah membasahi lengan baju Fitri. Sementara Fitri sama sekali tak menyadarinya. Ia sibuk menatap jalanan, seakan sedang memandangi kendaraan yang berseliweran lewat. Namun, entahlah. Benarkah ia sedang memandangi jalanan atau justru sedang melamun? “Aku benar-benar bahagia dengan keputusanmu akan membatalkan pernikahan ini Fitri. Aku harus memberitahu Ume-san secepatnya.” Suara Jill menyadarkan Fitri yang ternyata memang sedang melamun. “Jill, masalah ini belum selesai. Bahkan King dan keluarganya belum tahu tentang ini.” Fitri terlihat menyimpan kegundahan. “Tidak usah khawatir Fitri. Kudoakan semoga semua selesai dengan baik-baik saja.” Jill meyakinkan Fitri. “Oh ya, semalam aku sudah memesan tiket untuk kembali ke Jepang tiga hari lagi. Kebetulan ada promo, jadi langsung kuambil saja,” sambung Jill. “Hah! Kenapa kamu langsung balik saja Jill?” Fitri mengernyit. “Kurasa lebih baik aku balik saja. Kamu, kan, tidak jadi menikah.” “Ini belum pasti, Jill.” “Tidak. Ini pasti. Kamu tidak akan menikah, kecuali dengan Takashi.” Jill menyunggingkan senyuman. Ia benar-benar yakin. “Jangan bahas Takashi kumohon.” Jill hanya mengangkat bahu dan tersenyum. *** “Eh anak daro kamari. Duduaklah, Nak,” : Eh calon pengantin ( wanita) datang. Duduklah, Nak. Apo nan kau katokan ko Fitri? Jan mambuek malu keluarga! Nida dek a anak kau ko?” : Kamu ngomong apa, sih, Fitri? Jangan membuat malu keluarga! Nida, kenapa anakmu ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD