“Eh,eh,eh … rampok itu urusannya sama polisi! Balikin gak?” Aku menarik lengan bajunya. Namun naas, snack yang dikeruknya dan dibawa pakai dua telapak tangan berhamburan.
“Ferdi! Meraa!” Bu Kia melotot sambil melempar berkas ke arah kami.
Ya Tuhaaan! Ini orang gak mikir apa, ya? Sudah mah berantakan karena snack yang tumpah ditambah berkas yang dia lempar menjadi bercampur semua di lantai.
Tampak Pak David berjalan mendekat. Aku menyenggol lengan Ferdi, lalu kami saling menoleh dan bergegas memunguti camilan macaroni yang berserakan.
“Mampus lah kita, Ra!” bisik Ferdi sambil sibuk mungutin snack itu dan memasukkannya ke dalam amplop bekas lamaran yang ada di mejanya. Sesekali disuapnya.
“Kamu yang mampus, Bang … snack jatuh Lu makan, tar keracunan tahu rasa!” bisikku sambil membantunya.
Bang Ferdi terkekeh. Aku menunduk, turun lah harga diriku bersimpuh-simpuh gini mungutin makanan. Mana si bos duren mendekat.
“Ferdi, Mera! Ikut ke ruangan saya!” tukasnya datar.
Kami menoleh bersamaan sambil memasang senyum menawan. Boro-boro menawan padahal, tadi rasanya sudah hendak ngumpet aku di kolong meja. Untung dia tidak membahas kelakuan kami yang luar biasa.
“Pak, mereka masih beresin itu yang berantakan! Biar saya saja yang ke ruangan, Bapak!”
Aish, sabotase nih! Bu Kia menawarkan diri. Mana berani aku melawan senior. Aku hanya saling menukar pandang dengan Bang Ferdi.
“Ehmm … kamu yang urus saja! Biar mereka belajar berkoordinasi langsung dengan saya!” ucapnya.
“Pak, masa saya yang beresin bekas kekacauan mereka?” Bu Kia tidak terima.
“Saya gak bilang gitu! Kamu ‘kan bisa suruh OB buat beresin!” ujar Pak David langsung kembali ke ruangan.
“Ayo, Bang!” Aku menarik lengan Bang Ferdi.
“Meraaa!” pekiknya pelan. Dan apa yang sudah dipungutinya kembali berjatuhan.
Aku nyengir kuda. Kulirik sekilas wajah Bu Kia sudah merah padam. Aku mengangguk sambil permisi. Lalu berjalan cepat ke ruangan Pak David bersama Bang Ferdi.
“Duduk!” ucapnya berwibawa.
Kami berdua duduk. Lalu menunggu dia melanjutkan perkataannya.
“Kalian berdua sama-sama baru, mungkin heran kenapa harus langsung koordinasi dengan saya?” ucapnya menjeda.
Iya sih, dari awal aku merasa heran. Kan ada Bu Kia, tapi aku kok langsung lapor sama Pak David.
“Jadi gini! Kita akan memiliki cabang perusahaan baru, di mana para orang lama atau senior di sini akan di pindahkan ke sana! Selain untuk merefresh suasana kerja, juga memberikan kesempatan karir mereka untuk berkembang!” ucapnya lagi.
Kulirik sekilas jambang halus yang menyebar rata pada dagu dan pipinya. Rasanya seperti menatap aktor dari timur tengah. Terlebih hidung mancung dan mata tajamnya itu bikin klepek-klepek. Aku mencuri-curi pandang setiap kali dia mengucap kalimat. Entah apa lagi yang dia bicarakan, fokusku terpecah karena ketampanan yang hakiki.
“Meera mengerti?” Suaranya agak keras. Aku tersentak. Arwahku yang tadi berkelana baru kembali ke ubun-ubun sepertinya.
“Kok saya saja, Pak yang ditanya? Bang Ferdi gak ditanya?” tanyaku spontan. Kadang mulut bergerak lebih cepat dari pada otak.
Bang Ferdi menyenggol lenganku. Dia berbisik, “kan dari tadi kita ditanya, kamunya aja yang bengong kek kesambet setan,” bisiknya.
Astagaaa! Malu aku. Hancur sudah reputasiku yang keren dan mempesona ini.
“Iy—iya, Pak ngerti!” jawabku cepat.
Bilang ngerti sajalah dulu. Urusan isinya apa, nanti aku tanya Bang Ferdi saja di luar.
“Oke, kalau kalian mengerti. Maka bersainglah secara sportif! Siapapun yang nantinya progressnya lebih cepat dan lebih bagus maka dia yang akan saya promosikan untuk menggantikan posisi Bu Kia di sini!” ujarnya.
Eh, kenapa jadi bersaing gini, sih? Sebenarnya tadi dia bicara apa, ya?
“Baik, Pak! Kami mengerti!” ucap Bang Ferdi.
Dia bilang kami, padahal aku gak ngerti. Gak apa, biar nanti kutanya saja dia.
“Kalau begitu, kalian sudah bisa meninggalkan ruangan saya!” ucapnya.
“Baik, Pak!” Kami berdiri. Bang Ferdi melangkah lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang.
“Meera, sini!” Suara bariton itu menghentikan langkahku.
Bang Ferdi sudah keluar dari pintu kaca ini. Aku berbalik kembali dan mendekat. Menatap sekilas wajahnya lalu menunduk.
“Ada apa, Pak?” tanyaku.
“Tolong bantu mereka melepas kangen,” ucapnya.
Eh, maksudnya? Belum jadi geer aku ketika tatapannya di arahkan pada gula dan creamer yang masih terpisah sama kopinya. Rupanya dia memintaku mencampur mereka, kan tadi aku bilang kalau kupisah biar kangen.
Dengan cekatan aku melaksanakan perintahnya. Kadang, aku mikir aku ini staff atau merangkap office girl sih? Tiap pagi dia selalu meminta kubuatkan kopi. Itulah awal mula aku diserang oleh Mak Lampir karena pagi-pagi sudah membawakan kopi ke ruangannya.
“Sudah ya, Pak! Kalau mereka saling rindu suruh bilang, jangan dipendam, tar karatan!” celotehku sambil berlalu hendak meninggalkan ruangannya. Namun suara baritonnya kembali menghentikan langkahku.
“Meera!” ucapnya.
Aku berhenti dan menoleh. Lalu memasang senyum dan menyipitkan mata menatapnya.
“Apalagi, Pak? Masih masalah rindu sama kangen?” tanyaku menggodanya. Berani banget aku ini ya? Padahal kata Bu Kia aku ini masih anak bau kencur. Enak aja, aku kan bau parfum.
“Tolong, itu ballpoint saya jangan dibawa!” ucapnya sambil menunjuk satu tanganku.
Astagaaa! Ini sudah kejadian lagi. Gerakan tangan lebih cepat daripada otak. Wajahku memerah karena malu. Lalu segera mengembalikan ballpoin itu ke mejanya dan segera melarikan diri dari ruangannya.
Aku memegang d**a yang berdentum hebat. Ah, separah inikah organ dalam dadaku sudah seperti ngalahin organ tunggal saja. Berdentum-dentum tak karuan. Aku meraba wajah yang terasa panas. Berjalan menuju kubikelku sambil merutuki diri sendiri. Pikiranku masih tak fokus terbayang wajah pak bos dudaku yang menggemaskan.
Bruk!
Duh, kedua netraku membulat. Siapa perempuan yang bak model papan atas ini? Jujur, aku gak mengada-ada. Selama ini, Cuma lihat model yang bak papan penggilesan di kantor ini yaitu si Mak Lampir. Nah, ini ada wanita yang bentuknya paripurna. Siapakah dia?