Dua

1139 Words
“Seenaknya izin, izin, kamu itu masih karyawan percobaan di sini! Saya bilang kamu masuk, ya, masuk! Dan satu lagi, apa maksud kamu mengirimi pesan seperti itu sama Pak David pagi-pagi? Kamu mau menggoda dia? Kamu pikir dia mau sama kamu?” hardiknya lagi panjang kali lebar kali tinggi. Aku menjauhkan gawai dari telinga. Bisa-bisa kotoran telinga pun berlompatan mendengar merdu suaranya. Maksudnya apa? Apa aku ini sedang dilabrak? Lha terus kalau dia mau sama saya? Masalahnya apa? Saya juga mau, kok. Eh … suka keceplosan gini. “Kenapa diem! Gak bisa jawab ‘kan? Karena gak mungkin Pak David bakal suka sama anak ingusan kayak kamu, dia itu suka cewek dengan usia matang kayak saya! Cepetan masuk! Anak baru jangan kebanyakan gaya!” hardiknya. Lalu panggilan ditutup secara sepihak. Elah dalah, lagi datang bulan apa, ya? Gini amet kalau punya teman satu divisi yang usianya sudah senior, eh jabatannya maksudnya. Baiklah, Ameera si cantik akan bersiap-siap, untung tadi pagi sudah mandi capung. Jadi sekarang tinggal ganti baju saja deh dan berangkat. Bergegas aku berganti pakaian dengan celana bahan, meskipun memakai blezer tapi aku tetap memakai celana, maksudnya bukan rok. Mengendarai motor matic kesayangan hingga tiba digerbang perusahaan tempat aku bekerja. Ah, kebetulan di gerbang sedang ada truck yang baru mau masuk. Security yang jaga sedang mengintrogasinya, salah satu lainnya tampak sedang menginput surat gate entry. Aku langsung bisa lolos ke parkiran tanpa harus banyak ditanya ini dan itu. Terima kasih abang truck sudah menyelamatkanku. Berjalan tergesa dengan sepatu kets putihku. Mungkin di kantor ini hanya aku yang suka memakai sepatu kets seperti ini. Kebanyakan dari penghuni aquarium besar itu memakai heel yang bikin kaki sakit kalau berdiri, beberapa ada yang memakai bawahan celana tetapi kebanyakan memakai rok dibawah lutut, beberapa lagi di atas lutut seperti Bu Kia---senior satu divisiku. Aku memasuki lobi, menyapa resepsionis alakadarnya. Lalu menuju ruangan yang tersekat tembok antara lobi dan tempat kerja kami. Berjalan tergesa menuju kubikel tempatku. Sepi, seperti kuburan entah ke mana Mak Lampir yang tadi mencak-mencak itu. Oh iya, ini ‘kan jam sepuluh pagi, mereka sedang istirahat coffee break sepuluh menit, biasanya beberapa staff membuat kopi di pantry, kadang ada yang melaksanakan shalat dhuha di mushola itu khusus karyawan sholeh-sholeha. Nah itu khusus gerbong sholeha seperti mereka, kalau yang sedang otewe sholeha sepertiku biasanya menghabiskan waktu buat main games atau nonton tom and jerry. Namanya juga masih otewe, di jalan suka banyak belokannya. “Kamu masuk?” suara itu membuatku yang sedang menyalakan komputer menoleh. Eh, ada Om Tampan sudah berdiri tidak jauh dari kubikelku. “Iy—iya, Pak … tadi disuruh Mak Lam, eh Bu Kia buat masuk,” jawabku sambil tersenyum. “Ooo ….” Dia menganggukkan kepalanya sambil menatapku. “Iya, Pak … gitu,” jawabku canggung. “Bisa buatkan saya kopi?” tanyanya dengan gaya coolnya yang gemesin. Sejuk-sejuk ngangenin gitu lah. Eh, istighaf Meera … jangan sampai kepincut Om Dud aini. Bisa-bisa digantung Emak di pohon kencur kalau Emak tahu aku naksir duda. “Baik, Pak!” Aku menjawab singkat. Bergegas aku menuju pantry, semoga bell masuk segera berbunyi. Malas jika harus bertemu Bu Kia di sana, nanti aku dibully nya habis-habisan. Ah, memang hoki sedang berpihak. Baru tiba di depan pantry bell sudah berdering nyaring. Beberapa staff keluar dari ruangan sempit itu. Aku lihat Mak Lampir itu tidak ada. Aman, rasanya. Aku mengambil cangkir dalam rak khusus untuk tamu atau bos. Cangkirnya Mbak Sarfiah pisahin yang bagus-bagus. Lalu, kupasangkan dengan tatakannya. Cangkir saja punya pasangannya, duh kok yang bikin kopinye enggak, syedih. Kucari sendok kecil yang biasa dibuat menakar kopi, karena stock yang ada bukan kopi sachet. Kucari ke mana-mana gak ketemu, andai dia punya sinyal sudah kumiscall deh. Beruntung Mbak Ipah datang, dia adalah OG alias Office Girl di sini. “Cari apa, Neng?” tanyanya. Dia mendekat sambil ikut berjongkok di dekatku. “Cari sendok kopi, Mbak, di mana, ya?” tanyaku. “Oh, sendok teh … di sini, Neng!” ucapnya sambil membuka satu laci. “Sendok kopi, Mbak!” Aku menghampirinya dan mengambil sendok kecil itu. “Iya, namanya sendok, teh, Neng,” ucapnya sambil terkekeh. “Mbak Ipeh gak boleh dzolim … kenapa coba keukeuh namain ini sendok teh padahal kenyatannya ini dipakai untuk nyendokin kopi?” protesku tidak terima. Selama ini sepertinya hanya aku yang memikirkan keadilan untuk sendok kecil ini. Semua orang ramai-ramai menyebutnya sendok teh, padahal kan yang disendokin itu kopi biasanya, kalau teh dicelup. Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu hanya terkekeh, lalu membantuku mengambilkan creamer dan gula sachet dan menyiapkan nampan. “Mau saya yang anterin, Neng?” tanyanya menawarkan diri. “Gak usah, Mbak,” ucapku ringan. Aku lalu berjalan menuju ruangan bos ganteng kalem yang ada di aquarium kecil. Ya, ruangan senior manager dan department head itu terpisah dari staff biasa. Mereka menempati satu ruangan kecil dengan dinding kaca karena itu kusebut saja akuarium juga. Awas jangan salah tangkep, tar dipikir bosku itu ikan lagi. Dia manusia biasa kok. Aku mengengguk dan tersenyum sambil mendorong pintu kaca dengan siku. Lalu kuletakkan nampan di atas mejanya. Dia tampak masih fokus pada layar laptop harga belasan juta itu. “Pak, kopinya!” ucapku. “Makasih, ya!” Eh, tumben ngucapin makasih. Biasanya juga cuma dehem doang. “Creamer sama gulanya dipisah, sengaja biar kangen!” celotehku sambil memutar tubuh hendak meninggalkannya. “Kalau kangen sama yang bikinnya?” Sontak langkahku tertahan. Aku mengernyit dan berpaling kembali menatapnya. Apa dia baik-baik saja? Pikirku. “Bapak tinggal samperin saja ke indekosnya, eh maksud saya ke tempat pembuatannya … kan gula itu dibikin dipabrik gula, Pak!” ucapku sambil tertawa sumbang. Sekilas sudut netranya bersitatap ada senyum terkulum pada bibirnya yang menawan itu. Ah, aktor lee min ho saja lewat deh. Aku kembali ke kubikel sambil senyum-senyum sendiri. Lemah memang, jiwa jombloku meronta setiap kali melihat dia. Sudah mapan, tampan dan gak ada gandengan, sempurnalah pokoknya. Kalau soal duda bukan masalah. Hanya masalahnya di orang tuaku saja. Sudah wanti-wanti suruh nyari jodoh itu jangan yang punya buntut. Ya kali aku mau sama kucing, kucing kan punya buntut. “Pagi, Bu!” Aku menyapa Bu Kia setibanya di ruangan kami. “Pagi, pagi, jam kamu mati?” gerutunya. Aish, masih galak saja rupanya. Baiklah, aku cantik, aku diam. Aku lalu mulai membuka layar komputerku. Mengeluarkan camilan dari laci meja dan meletakkannya di samping keyboard. Ferdi---teman satu divisiku baru saja tiba setelah ada meeting dengan supplier di lobi. Menepuk bahuku dan mencomot camilan. Aku menepis tangannya yang suka nempel lama-lama di bahu ini. “Jangan galak-galak, tar gak laku,” selorohnya sambil mengeruk setengah snack dari toplesku. “Eh,eh,eh … rampok itu urusannya sama polisi! Balikin gak?” Aku menarik lengan bajunya. Namun naas, snack yang dikeruknya dan dibawa pakai dua telapak tangan berhamburan. “Ferdi! Meraa!” Bu Kia melotot sambil melempar berkas ke arah kami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD