Satu
[Sayang jadian, ya!]
Secepat kilat kuketik kalimat itu lalu kukirim. Hilda sejak tadi sudah berisik minta di antar ke terminal. Ibunya sakit parah di kampung katanya. Tidak lama dia yang sedang online itu tampak mengetik.
[Kamu nembak saya?]
What? Kenapa dia balasnya seperti ini? Aku melongo melihat pesan balasan dari Pak David---bos duda keren yang akhir-akhir ini sering menjadi bahan perbincangan kami di kantor. Setelah k****a ulang kalimat yang kukirim tadi, aku baru sadar. Kutepuk jidat, pasti ini terjadi kesalahan karena isi kepala dan jempol belum berkomunikasi. Bagaimana bisa aku typo separah itu. Apa karena memang sebenernya hati ini ingin ngajak jadian, eh.
[Ups, maaf, Pak, typo. Maksud saya, saya jadi ya, Pak.] Aku mengeja kalimat itu berulang kali takut salah lagi.
[Ke mana, ke pelaminan?] balasnya.
Astagaaa … balasan macam apa ini? Aku menutup muka dan membaca pesan itu berulang.
[Kok ke pelaminan, Pak?] Aku membalasnya, biar saja sedikit agresif toh hanya dia yang baca.
[Sorry, typo … ke terminal?] tulisnya.
Aku mengernyit, mana ada typo pelaminan dan terminal, jauh banget. Modus saja ini mah, yakin deh kalau dia pun diam-diam tidak bisa menapikan pesona sang bintang kantor---Ameera Hanida. Aku tersenyum sendiri menatap balasan darinya.
“Meeraaaa!” Nada tujuh oktaf Hilda membuyarkan haluku. Mengangganggu memang punya teman berisik seperti dia. Kalau bukan teman sudah kutukar dengan gulali dah.
“Iya, bawel! Ayo!” tukasku sambil mengambil hoodie berwarna hitam. Aku sejak tadi sudah rapi dengan kaos santai dan jeans, pakaian ternyaman yang biasa kupakai untuk bepergian.
“Lu, orang buru-buru … malah main hape sama senyum-senyum sendiri, kesambet di pohon asem lu, ya?” gerutu Hilda sambil melewatiku yang tengah duduk di ruang tengah.
“Gue lagi WA gebetan, minta izin gak masuk kerja, demi apa coba? Demi, Lu sahabat hello kitty gue,” tukasku sambil berdiri dan mengambil kunci motor.
“Gebetan? Kayak yang laku aja,” cebiknya.
“Ya laku lah!” Aku tidak terima dibilang tidak laku.
Kami berjalan keluar rumah type 36 ini. Rumah kontrakan yang kami bayar patungan untuk setahun.
Langsung kustarter motor matic yang masih kucicil tiap bulan ini. Rebutan sama beli beras sebetulnya, tapi kalau tidak seperti ini ya, mau gimana. Masa masih minta melulu sama orang tua. Gengsi, dong! Aku kan sudah besar dan sudah kerja, sudah saatnya menunjukkan pada mereka kalau aku ini sudah bisa mandiri. Ya, walau kadang-kadang masih nyusahin.
Jarak rumah kontrakan kami dengan terminal tidak terlalu jauh sebetulnya. Bisa ditempuh dalam waktu setengah jam saja. Aku menurunkan Hilda. Dia merapikan rambutnya yang digerai lalu menepuk bahuku dan mengucapkan terima kasih.
“Thanks, ya! Tar gue bawain lumpia, ya kalau balik sini lagi!” ucapnya sambil memasang senyum jenaka.
“Gak usah, lumpia bisa gue beli di pasar! Bawain yang gak bisa dibeli pakai duit aja,” timpalku sambil hendak memarkirkan kembali motor.
“Apaan?” tanyanya mengerutkan dahi.
“Calon imam dunia akhirat.”
“Kalau itu, gue juga mau,” cebiknya.
“Iya lah, buat yang jomblo dulu aja, yang single ngalah,” timpalku sambil melirik sekilas.
Ada om-om yang lewat sambil mesem-mesem ke arah kami. Ya ampuun, Mak … masa yang godain malah Om-Om, dikira kita ini Tante-tante apa?
“Emang bedanya apa jomblo sama single? 'kan sama-sama sendiri?” tanyanya.
Hilda ini kadang loadingnya lama kayak internet kurang kuota. Padahal sudah berulang kalimat itu kulontarkan, tetap saja nanya.
“Ah, susah kalau udah faktor U,” tukasku malas menjelaskan kembali.
“Eh, apaan? Gue beneran lupa? Maksudnya yang jomblo itu gue dan single itu, lu?” Dia menarik bahuku.
“Iya, udah ah basi!” Aku menepis tangannya.
“Kasih tahu dulu, lah, please!” Dia merengek.
“Iya lu kan jomblo, nah itu sudah nasib, jadi memang gak ada yang mau sama, lu.” Akhirnya aku tidak ingin lagi memperpanjang perdebatan.
“Nah kalau, lu? Single? Bedanya apa?” tanyanya menatap penasaran.
“Single itu prinsif, jadi gue memang memiliki prinsif untuk tetap sendiri sampai ada yang mau,” tukasku sambil tergelak.
Lalu kulajukan sepeda motor. Kubiarkan pukulan telapak tangan Hilda yang sudah mengayun itu membelai angin. Ya, kali angin juga pengen dibelai, emang Hilda aja, eh.
Sepeda motor sudah kuparkirkan di depan kontrakan kembali. Saatnya nonton film kartun kesayangan mumpung libur kerja. Biar kata sudah lulus kuliah dan kerja kantoran, tapi jiwaku tetap unyu. Buktinya tontonanku saja masih film kartun tom dan jerry yang menggemaskan, kayak yang nonton memang selalu menggemaskan.
Baru saja aku membuka pintu. Terdengar dering gawai dari tas kecil yang kusampirkan. Segera kuambil untuk mengetahui panggilan masuk dari siapa?
“Astagaa, Mak Lampir?” pekikku setelah melihat nama yang tertera.
Aku berdehem sebentar sebelum mengangkat panggilan dari dia. Lalu kubuat suara sekalem mungkin. Semoga tanduknya belum keluar pagi ini.
“Selamat pagi, Bu Kia!” sapaku dengan suara sehalus mungkin. Saking halusnya p****t bayi saja kalah rasanya.
“Pagi, pagi! Sudah siang! Kamu emang gak punya jam? Anak baru sudah telat saja!” hardiknya.
Whats? Kenapa dia sewot, sih? Dia ‘kan bukan atasanku, memang statusnya sudah supervisor tapi aku gak ada tuh kerjaan yang harus lapor ke dia. Aku langsung sama Pak Bos Duda, eh Pak David maksudnya.
“M—maaf, Bu … saya izin hari ini!” ucapku.
“Seenaknya izin, izin, kamu itu masih karyawan percobaan di sini! Saya bilang kamu masuk, ya, masuk!
Dan satu lagi, apa maksud kamu mengirimi pesan seperti itu sama Pak David pagi-pagi? Kamu mau menggoda dia? Kamu pikir dia mau sama kamu?” hardiknya lagi panjang kali lebar kali tinggi.
Aku menjauhkan gawai dari telinga. Bisa-bisa kotoran telinga pun berlompatan mendengar merdu suaranya. Maksudnya apa? Apa aku ini sedang dilabrak?
Lha terus kalau dia mau sama saya? Masalahnya apa? Saya juga mau, kok. Eh … suka keceplosan gini.