Empat

1116 Words
Aku memegang d**a yang berdentum hebat. Ah, separah inikah organ dalam dadaku sudah seperti ngalahin organ tunggal saja. Berdentum-dentum tak karuan. Aku meraba wajah yang terasa panas. Berjalan menuju kubikelku sambil merutuki diri sendiri. Pikiranku masih tak fokus terbayang wajah pak bos dudaku yang menggoyangkan iman. Bruk! Duh, kedua netraku membulat. Siapa perempuan yang bak model papan atas ini? Jujur, aku gak mengada-ada. Selama ini, Cuma lihat model yang bak papan penggilesan di kantor ini yaitu si Mak Lampir. Please, ini hanya kata kiasan,ya! Jangan anggap aku ini suka main body shaming. Tumbenan di kantor ini ada wanita yang bentuknya paripurna. Siapakah dia? “M—maaf!” Aku menangkup tangan di depan d**a. Sedikit mendongak ketika hendak melihat wajahnya. Tingginya mungkin ada sekitar 160 senti, hmm salah, mungkin 170 senti. Ah, intinya sih dia itu tinggi. Dia melirik sinis, tak ada senyum ramah, apalagi menjawab ucapanku. “Resti, tolong katakan pada karyawan ini, kalau jalan pakai mata!” tukasnya dengan jumawa. Dia melenggok bak model jalan di cat walk meninggalkanku setelah melirik sinis dan rasanya dipandang begitu jijik. Eh salah, bukan cat walk tetapi lebih tepat tiger walk. Mana ada kucing galak kayak gitu, di mana-mana kucing itu imut-imut menggemaskan, kalau modelan garang kek gitu bukan kucing namanya. “Baik, Non!” Kudengar perempuan yang tingginya sepantaran aku menyahut. Dia menunduk hormat padahal perempuan itu sudah memunggunginya dan meninggalkan kami. Perempuan yang dipanggil Resti itu menoleh padaku ketika tuan putrinya berlalu. “Gak usah bilang apa-apa Mbak Resti. Saya sudah denger semuanya, kok! Emang siapa sih dia? Sudah kayak pemilik perusahaan saja?” Aku menatap perempuan dengan rambut sebahu itu. Tatapannya datar saja tanpa ekspresi juga. Mungkin sudah disetting sedemikian rupa. “Iya syukur kalau kamu paham. Dia memang anak pemilik pemegang saham perusahaan ini! Mari, Mbak. Lain kali kalau jalan pakai mata!” Eh … rupanya masih dibahas. Aku kan bilang tadi denger. Duhhhh … rupanya anak pemegang saham. Tinggi, cantik, putih, tetapi sayang akhlaknya digadaikan. Habis ngomong, dia pun langsung berlalu. Tak ada kata permisi juga buat aku. Lah sebelas dua belas dengan Mak Macan. Huh, sebel lah hari ini. Dosa apa sih aku ini? Sudah kena tegur Mak Lampir, kini kena semprot Mak Macan. Nasib, nasib … gini nih kalau masih jadi karyawan percobaan. Apalah aku ini disbanding dia yang sudah senior, apalagi putri pemilik perusahaan. Mungkin aku lebih kecil dari butiran debu. Sudahlah! Aku bisa apa? Aku gegas ke kubikelku dengan hati kesal. Apalagi ketika kulirik, Mak Macan masuk ke ruangan Pak Bos Duren, duh nyeri ulu hati rasanya. “Ra, kok mukanya lecek gitu, sih? Sudah kayak spanduk pemilu yang gak kepake.” Baru saja aku mendaratkan b****g pada kursi goyang, kudengar Bang Ferdi mengucap asal. “Sudah deh, Bang. Jangan berisik, nantu aku jadiin lalapan!” sergahku dengan wajah cemberut. “Mau dong dijadiin lalapan,” kekehnya. Aku menoleh dengan mata membulat. Bang Ferdi malah cengar cengir, nyebelin. Lagian kalaupun dia beneran mau jadi lalapan, akunya yang ogah. Mana ada lalap gak ada seger-segernya kayak gitu. “Au, ah! Awas lagi mode senggol bacok!” tukasku lagi. Sesekali sudut mata ini melirik ke ruangan Pak Bos Duren. Namun sayang, Mak Macan masih belum keluar dari sana. Sial, lagi ngapain ya mereka. Pikiranku malah traveling, apalagi lihat pakaian Mak Macan dengan belahan d**a terbuka, duhhh … kalau Pak Bos Duda keren khilap gimana? “Ra!” “Eh!” Aku terkejut ketika satu tepukan mendarat di bahuku. Bang Ferdi sudah berada di belakangku. “Hish! Apaan sih, Bang? Jadi orang kok paket komplit! Sudah ngeselin, nyebelin lagi! Pantesan jomblo!” gerutuku yang memang lagi kesal. Dia malah terkekeh lalu menarik kursi dan duduk di sampingku. “Kamu itu kalau lagi mikirin aku, ngomong saja, Ra! Jangan melamun kayak gitu, ayam tetangga saja melamun mati!” tukasnya. Seperti biasa, melucu walaupun tak pernah lucu. “Ih garing!” Aku membuang muka. Candaannya sudah candaan sejuta umat. Dia malah terkekeh, lalu ngomong lagi. “Sudah, sudah, ih! Kalau kamu ngambek gini makin gemesin buat dilamar!” tukasnya lagi. “Huh, siang-siang digombalin. Gerah!” Aku hendak berdiri. Namun dia menahan lenganku. “Hish, jadi cewek ngambekan! Pantesan jomblo!” tukasnya. “Apaan sih, Bang?” “Ra, aku mau bahas terkait prosfektif karir kita. Kamu dengerin kan tadi apa yang Pak David bilang?” tukasnya lagi dengan wajah serius kali ini. Aku menggaruk kepala. Lalu menatap wajah Bang Ferdi dan nyengir kuda. “Coba ceritakan, Bang. Aku gak denger semua tadi. Maklum tanggal segini, otakku konsentrasinya dibagi-bagi.” “Makanya duduk dulu, Ra.” Mau tak mau, aku pun urung untuk pergi. Kudengarkan penjelasan Bang Ferdi dengan seksama. Dia tampak bersemangat sekali untuk mengajakku bersaing secara fair. Aku hanya mengangguk-angguk saja, biar cepat selesai. Beneran, aku gak tertarik tentang jenjang karir. Makin tinggi jabatan, makin pusing. Aku mau kerja biasa saja. Berangkat pagi, kerja santai, pulang tanpa beban pikiran. Lalu cari suami kaya raya dan bisa hidup dengan tenang, mapan dan aman. Duh penjelasan Bang Ferdi kok jadi ngalor ngidul, segala bahas rencana masa depan, pernikahan. Duh, andai gak mikirin etika, sudah kutinggal lari saja. Berasa dengerin dongen seribu satu malam. Beruntung dering telepon berbunyi. Hal itu mau tak mau memaksa Bang Ferdi masih menjelaskan panjang lebar berhenti. Dengan sigap dia mengangkat telepon dan mengucap kalimat pembuka. “Hallo dengan Ferdi di sini, extention 104. Apa ada yang bisa dibantu?” Gayanya sok-sokan customer service. Namun tak lama dia menoleh ke arahku. Entah siapa yang menelponnya sampai wajahnya tampak berubah serius begitu. “Oh, iya Pak! Ada, Pak. Sebentar!” Dia mengangsurkan gagang telepon padaku. Aku bertanya tanpa suara. “Siapa?” Dia hanya mengisyaratkan agar aku segera menerimanya. Gegas kutempelkan gagang telepon ini pada daun telinga. “Selamat pagi, Pak!” “Hallo, Ameera. Ini Rofiq---HRD. Bisa ke ruangan saya sebentar!” Eh, ada apa ini. Kok aku dipanggil ke ruangan HRD. “Hmmm …. ada apa ya, Pak? Apa saya mau dinaikin jabatan atau dinaikin gaji?” tanyaku setengah bergurau. Penasaran juga sebetulnya. Kudengar tawa Pak Rofiq dari seberang telepon. “Ke sini saja, ya! Ditunggu!” tukasnya lagi. “Oke baik, Pak! Saya otewe.” Panggilan pun ditutup. Aku merapikan rambut lalu berdiri dan mengusap ujung kemeja bagian bawah. “Mau ke mana, Ra?” Bang Ferdi kembali memutar kursinya dan menatapku. “Dipanggil HRD, Bang.” “Eh kok dipanggil sih, Ra? Tadi itu Pak Rofiq yang manggil?” tanyanya. Padahal dia juga yang ngasihin teleponnya ke aku. “Lah kali malaikan ijroil, Bang. HRD kita kan memang Pak Rofiq.” Aku memutar bola mata sambil mengedik, tetapi Bang Ferdi malah tergelak. Entah di mana lucunya. Aku tinggalin saja. Awas saja loh, aku dapet bonus nanti gak kukasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD