Esok paginya Zein membuka pejaman matanya dan melihat Devina tengah duduk ditepian ranjang dan menatapnya. Zein tersenyum dan menarik Devina, lalu memeluknya.
“Selamat pagi,” ucap Zein.
“Hem. Pagi,” jawab Devina. “Aku sudah menyiapkan sarapan.”
“Kita menikah saja. Bagaimana?”
“Ha?” Devina membulatkan matanya penuh. Ia tak menyangka mendengar perkataan Zein barusan.
“Kita menikah. Aku ingin setiap hari bangun pagi bersamamu,” jawab Zein.
“Jangan bercanda. Kita baru saja bersama beberapa hari yang lalu, kamu sudah mau menikah, ada-ada saja,” kekeh Devina dengan gelengan kepalanya.
“Aku nggak becanda, Sayang, aku serius. Nggak ada lagi yang harus ku khawatirkan.”
“Kita punya keluarga.”
“Menikah saja dulu, ijab qabul, setelah itu kita bisa mengadakan resepsi,” kata Zein.
“Tapi—“
“Sayang, ayolah, aku nggak mau bangun setiap pagi bersamamu tanpa ada ikatan, kita harus menikah untuk menghindari zinah, ‘kan?”
“Bukankah kita sudah berzinah?”
“Karena itu sebelum makin jauh, aku ingin menikahimu. Mau kan?”
Sesaat Devina terdiam, meski ia memiliki keluarga, namun ia tidak pernah di anggap dalam keluarga itu, bahkan ketika sudah berbulan-bulan pergi, ia tidak pernah mendapatkan telpon maupun kabar dari keluarganya, rasa sedih makin menguasai hatinya. Rasa kecewa makin memendam dihatinya. Bagaimana tidak, memiliki ibu namun seperti tak memilikinya.
Devina menatap Zein yang kini tengah tersenyum dan nyengir, Devina tertawa perlahan dan menganggukkan kepala.
“Hem. Baiklah,” jawab Devina. “Jadi begini caramu melamarku?”
Zein tertawa kecil dan menganggukkan kepala. “Aku janji akan membahagiakanmu.”
Devina mengangguk, dan berkata, “Hem.”
“Aku akan memberitahu Pelinda dan Temmy tentang rencana kita menikah, mereka pasti setuju,” kata Zein.
***
“APA?” Pelinda dan Temmy membulatkan matanya penuh.
Sedangkan Devina dan Zein saling menggenggam didepan kedua pasangan suami istri itu. Mereka menunjukkan bahwa mereka sudah yakin untuk menikah. Devina mengangguk ketika Pelinda menatapnya, begitu pun Zein yang mengangguk ketika Temmy menatapnya.
“Kalian baru bertemu beberapa hari yang lalu dan sekarang … mau menikah?” tanya Temmy.
“Apa yang salah dari itu? Kami saling menyukai,” jawab Zein.
“Kalian yakin ini cinta?” tanya Pelinda.
“Gua ingin hidup bersama Devina, aku menyukai dan mencintainya,” jawab Zein spontan.
“Tapi … kalian benar-benar akan menikah?”
Zein menganggukkan kepala dan berkata, “Iya. Kami yakin.”
“Tapi bagaimana dengan keluarga lo?” tanya Temmy. “Bokap lo pasti akan marah besar jika tahu lo sudah menikah.”
“Gua dan bokap nggak pernah sejalan selama ini, jadi gua nggak masalah jika beliau setuju apa nggak, lagian dia saja menikah, kenapa gua nggak bisa.” Zein begitu semangat membuat Devina senang melihatnya.
“Tapi menikah bukan permainan, Zein,” kata Temmy.
“Kalian setuju apa nggak sih?” tanya Zein.
“Kami setuju sekali, tapi kalian nggak saling mengenal dulu?”
“Udah. Kami yakin, kalian kasih jawaban ke kami, agar kami bisa menikah.”
“Dev, kamu yakin?” tanya Pelinda pada sahabatnya.
Devina menganggukkan kepala. “Hem. Aku yakin, aku nggak apa-apa hidup asalkan bisa bersama Zein selamanya.”
“Kalian memang sudah gila,” kekeh Temmy membuat Pelinda menyikut suaminya.
“Baiklah. Kami akan mempersiapkan pernikahan kalian,” jawab Temmy. “Kapan kalian akan menikah?”
“Besok,” jawab Zein semangat.
“Ya ampun. Lo ngebet sekali ya ternyata,” kekeh Temmy. “Apa lo takut kehilangan Devina?”
“Bukankah lo juga dulunya kayak gini pas minta tolong gua?” tanya Zein membuat Temmy terdiam dan Pelinda yang terkekeh. “Lo juga bilang nggak pengen kehilangan Pelinda.”
“Baiklah. Baiklah. Gua balas budi,” jawab Temmy.
Zein menoleh dan menatap Devina, tidak masalah jika mereka di anggap gila karena menikah sendiri dan menjalani hubungan yang terbilang cukup cepat, asalkan mereka bahagia seperti Pelinda dan Temmy, mereka bisa menjalani hidup ini.
.
.
.
Dua Bulan Kemudian …
Zein dan Devina sudah menikah dua bulan yang lalu, mereka menikah di sebuah masjid yang ada di Spanyol, masjid yang di urus oleh beberapa marbot dan mereka menjadi saksi pernikahan Zein dan Devina.
Zein membeli rumah yang ada di dekat pantai agar mereka bisa lebih dekat dengan Pelinda. Devina masih sering ke kedai Pelinda dan sering membantu sahabatnya itu mengurus kedai. Pelinda dan Temmy sangat bahagia melihat Zein dan Devania bahagia.
Zein hanya cuti selama dua minggu, namun ia kembali menambah masa cutinya setelah menikah dengan Devina, pernikahan mereka sangat membahagiakan, bahkan keduanya melupakan negara asal mereka. Zein yang sering menghabiskan waktu di rumah karena harus bekerja dari layar monitor dan Devina yang berangkat bekerja ke kedai Pelinda. Meski hanya membantu, namun Pelinda memberi gaji padanya.
Zein menghela napas ketika lagi-lagi Fandi menelponnya, Fandi adalah teman kuliahnya yang juga bekerja di tempat kerjanya. Fandi bekerja dibawah Zein.
‘Apa sih, Fan?’ tanya Zein.
‘Kapan balik, Zein? Pak Lukman udah terus bertanya.’
‘Sampaikan pada beliau gua udah selesein tugas gua lewat email, jadi nggak usah tanya kapan gua pulang. Gua nggak bisa balik sekarang.’
‘Tapi … bokap lo lagi sekarat.’
‘Apa? Sekarat? Jangan becanda loh, Fan.’
‘Gua nggak becanda, gua dapat telpon dari Siswar untuk menyampaikan ke lo bahwa beliau sekarang di rumah sakit.’
‘Kenapa tiba-tiba sekarat?’
‘Darah tingginya kembali kambuh dan kali ini udah sampai ke otak.’
Zein menghela napas, ia tidak bisa meninggalkan Devina sendirian. Devina enggan kembali ke Jakarta, ia masih mau di Spanyol dan menghabiskan waktu di sini, ia belum siap bertemu keluarganya. Zein sudah mengajak Devina pulang, namun Devina menolak, pada akhirnya Zein mengalah.
‘Lo denger gua, ‘kan? Kapan lo balik? Sepertinya bakal ada pembacaan surat wasiat.’
‘Bokap gua masih sehat, nggak mungkin beliau membacakan surat wasiat.’
‘Gua hanya dapat informasi dari Siswar kok.’
‘Gua balik pekan ini kalau gitu, sampaikan pada bokap gua.’
‘Baiklah. Gua akan sampaikan.’
‘Ya udah, nggak usah ganggu mulu, gua lagi banyak urusan.’
‘Hem. Baiklah.’
Zein memutuskan sambungan telpon ketika perbincangannya selesai, sedangkan sejak tadi Devina mendengar perbincangan Zein dan seseorang melalui telpon, Devina belum bisa kembali ke Jakarta dan Devina juga enggan membahas jika itu soal kepulangan lelaki yang sudah menjadi suaminya. Mereka terdaftar di Spanyol, namun pernikahan mereka belum terdaftar di Indonesia.
“Assalamu’alaikum,” ucap Devina.
“Wa’alaikumssalam, Sayang,” jawab Zein. “Sini.” Zein membuka tangannya dan membiarkan Devina memeluknya. Begini lah pernikahan mereka.
“Sayang, kamu lagi apa?”
“Aku baru saja selesai kerja,” jawab Zein.
“Aku akan menyiapkan makan malam untuk kamu.”
“Nggak usah. Aku udah makan tadi kok, aku malah udah siapin kamu makan.”
“Kamu masak?”
“Hem.”
“Kamu pintar masak?”
“Iya. Hanya belum pernah terlihat sama orang lain. Aku belajar masak dari pamanku yang seorang koki, dan aku tadi ke pasar, lalu masakin sesuatu buat kamu,” seru Zein.
Devina melepaskan pelukannya pada suaminya dan melihat meja makan, dimana beberapa lauk makanan sudah di hidangkan. Devina beranjak dari duduknya dan menghampiri meja makan, menu makanan yang dimasak Zein sangat lah menggugah seleranya, bahkan tadinya ia ingin masak, namun Zein udah masak duluan.
Zein mengalungkan kedua tangannya dibahu istrinya dari belakang, Zein mengecup leher Devina, membuat wanita itu memekik karena geli.
“Gimana? Enak kan masakan aku?” tanya Zein ketika melihat Devina mencicipinya.
“Hem. Enak banget,” jawab Devina.
“Aku akan terus masak buat kamu,” kata Zein lalu melepas pelukannya dan menarik kursi mempersilahkan istrinya untuk duduk. “Untuk istriku tercinta.”
“Makasih, Sayang, kamu baik banget,” ucap Devina.
“Aku hanya baik sama istriku. Bukan pada orang lain,” jawab Zein lalu duduk dihadapan istrinya.
Devina begitu menikmati spageti buatan suaminya, rasanya enak dan bumbunya mantap sekali, Devina sampai tidak sadar telah menghabiskannya. Devina terkekeh melihat piringnya yang sudah kosong. Zein meraih gelas dan menuangkan minum untuk wanita yang sudah ia nikahi itu, Devina tersenyum dan kembali meraih gelas berisi air mineral.
“Makasih, Sayang, masakannya enak sekali,” kata Devina. “Aku sering berpikir bagaimana kita akan menjalani pernikahan ini, apalagi kita belum mengenal satu sama lain. Namun, melihatmu mengimbangiku, aku jadi bahagia sekali.”
“Sayang, aku sudah janji akan membahagiakanmu.”
Devina mengangguk dan menghela napas, ia tak tahu bagaimana bisa mengatakan kepada suaminya tentang ia tidak bisa pulang bersamanya, trauma pengkhianatan Gino dan kakaknya itu juga ketidakperdulian ibu kandungnya sendiri masih melekat dihatinya.
“Sayang, aku akan kembali ke Jakarta pekan ini,” lirih Zein membuat Devina mengangguk. “Aku harus kembali karena ayahku sakit. Katanya beliau tengah sekarat.”
Devina mengangguk, ia tak menanggapi apa pun dan hanya mengangguk.
“Aku berharap kamu mau balik denganku,” kata Zein.
“Sayang, jawabanku tetap sama, aku nggak bisa kembali bersama kamu, bukan nggak bisa, namun belum bisa,” jawab Devina. “Aku akan menunggumu di sini menjemputku setelah urusan kamu selesai.”
“Sayang, setelah ayahku tiada, aku pasti akan mengurus perusahaan dan aku nggak bisa terus datang kemari. Apakah kamu benar-benar nggak bisa memberanikan diri ikut denganku?”
Devina menggeleng dan berkata, “Maaf, Sayang, aku nggak bisa. Meski kamu nggak bisa sering kemari, aku pasti yang akan menemuimu.”
“Kamu janji?” tanya Zein.
“Aku janji. Aku akan menemuimu jika aku udah di Jakarta.”
“Maafkan aku, Sayang, aku harus meninggalkanmu.”
“Nggak apa-apa. Ayahmu membutuhkanmu, jadi kamu harus di sana mendampingi beliau.”
“Terima kasih, kamu memang wanita yang tepat yang bisa mendampingiku,” kata Zein.
“Aku yang harusnya minta maaf karena nggak bisa ikut dengan kamu, aku juga berterima kasih karena kamu udah paham tentangku.”
Zein mengangguk, ia harus menerima penolakan Devina tentang ajakannya kembali ke Indonesia, Devina belum siap dan Zein tidak akan memaksa istrinya, ia yang akan menunggu istrinya di Jakarta dan itu yang akan terjadi. Zein sangat berat meninggalkan Devina di sini sendirian, namun ayahnya benar-benar membutuhkannya, jadi ia tidak bisa melakukan apa pun lagi selain kembali ke Indonesia lebih dulu dari istrinya.