Semua yang menonton film di dalam studio sudah keluar satu persatu, Zein masih menunggu Devina keluar, ia harus membuat perhitungan pada wanita itu, semalam ia sudah gila karena b******a dengan wanita yang baru ia kenal, namun sekarang ia tidak ingin dibodohin lagi atas sikap Devina yang melupakan kejadian semalam.
“Dev, aku melupakan ponselku, kamu tunggu di luar ya,” kata Ars membuat Devina menganggukkan kepala.
“Baiklah,” jawab Devina.
Ketika melihat Devina keluar dari studio, tanpa berpikir panjang Zein lalu melangkah menghampiri Devina, wanita itu terkejut ketika melihat Zein, ia hendak melangkah dan memalingkan wajah, namun Zein malah menariknya dan meninggalkan studio itu, Devina hendak melepaskan diri, namun genggaman lelaki itu sangat lah kuat, Devina tidak bisa lama-lama menatap Zein.
“Apaan sih, lepasin,” kata Devina merasakan perih di lengannya.
“Apa aku punya salah sama kamu?” tanya Zein.
“Nggak ada.”
“Lalu kenapa seharian ini kamu menghindariku? Salahku apa?”
“Kamu nggak salah.”
“Nggak salah?”
“Ya.”
“Lalu kenapa kamu menghindariku.”
“Aku hanya menyadarkan diriku sendiri, bahwa apa yang terjadi pada kita semalam adalah hal gila yang harus kita lupakan.”
“Kamu mau melupakannya? Secepat itu?”
“Bukankah kamu sendiri menganggap apa yang kita lakukan semalam adalah hal gila?” tanya Devina.
“Aku nggak pernah menganggap hal itu adalah hal gila, ku anggap semua itu adalah awal dari hubungan kita,” kata Zein membuat Devina mendongak dan menatap lelaki tampan didepannya.
“Apa?” Devina menautkan alis dan merasa aneh dengan sikap Zein.
“Ya. Aku menganggap apa yang terjadi semalam adalah awal hubungan kita, semalam kita b******a, dan hal itu nggak boleh dilupain.”
“Kamu nggak punya pacar?” tanya Devina.
“Punya.”
“Lalu kenapa kamu menganggap itu awal kita? Apa kamu berpikir aku mau menjadi yang kedua?”
“Pacarku adalah kamu. Itu saja.” Zein menggaruk tengkuknya membuat Devina tertawa kecil.
“Apa? Aku?”
“Ya. Aku sudah mengatakan barusan bahwa semalam adalah awal hubungan kita. Kamu nggak punya pacar, dan aku pun sama. Aku nggak mau semalam berakhir begitu saja,” jawab Zein menjelaskan.
“Itu bukan cinta,” kata Devina.
“Siapa yang mengatakan itu bukan cinta? Aku menyukai semua yang ada dalam dirimu,” jawab Zein.
Devina menggelengkan kepala. “Jangan pernah berpikir bahwa itu adalah awal hubungan kita, kita baru bertemu kemarin, dan pacaran? Itu nggak masuk akal.”
“Apa yang nggak masuk akal?”
“Aku—“
“Dev, aku serius, aku nggak pernah melakukan itu terhadap orang lain, aku baru melakukannya bersama kamu, bahkan apa yang terjadi semalam selalu ada di pikiranku ini, nggak pernah mau jauh atau ku lupakan,” sergah Zein.
Devina tertawa, apakah harus?
“Maaf, Zein, aku nggak bisa,” kata Devina. “Lupakan soal tadimalam.” Devina lalu melangkah meninggalkan Zein yang masih berdiri mengharapkan dirinya. Devina tidak mau larut dalam perasaan yang berdasarkan cinta satu malam itu. Dipikir bagaimana pun, Devina merasa tidak pernah benar melakukan itu.
Zein menatap punggung Devina yang meninggalkannya, ia pikir bahwa semuanya akan lebih jelas jika dia mengungkapkan itu.
‘Aku minta maaf, Zein, aku hanya takut cinta satu malam yang kita lakukan malah akan menyakiti kita berdua. Lebih baik akhiri segalanya di sini, daripada larut dalam perasaan aneh ini.’ Devina membatin.
“Dev, aku cari kamu dimana-mana,” kata Ars membuat Devina menoleh dan menatap Ars.
“Maaf, aku baru saja dari kamar kecil.”
“Baiklah. Kita makan malam dimana?” tanya Ars.
“Kita makan malam di kedai Peltem aja,” jawab Devina.
“Kamu nggak bosan makanan di sana?”
“Nggak sama sekali. Jika kamu nggak bisa makan di kedai Peltem. Ya udah. Kamu bisa makan ditempat lain, aku harus pulang sekarang,” kata Devina membuat Ars menggelengkan kepala.
“Bukan begitu maksudku. Aku baru mau mengajakmu ke restoran halal.”
“Nggak perlu. Nggak usah buang uang, Ars.”
Ars mengangguk dan berkata, “Baiklah.”
Zein masih terus menatap punggung Devina yang meninggalkannya sendirian di bioskop ini, Zein tidak menyangka cinta satu malam yang ia lakukan bersama Devina malah menyakitinya seperti ini.
***
Pelinda dan Temmy sedang melayani para pengunjung, karena hari ini adalah akhir pekan, pengunjung di kedai mereka sangat lah ramai, bahkan mereka membuat pesta kecil-kecilan setiap weekend. Pelinda dan Temmy sangat ramah pada orang-orang asli di sini.
Temmy membuka satu persatu botol bir yang akan menemani hari para pengunjungnya.
Sesaat kemudian, Devina dan Ars kembali dari bioskop.
“Biar aku bantu,” kata Devina pada Pelinda.
“Udah, Dev, kamu nikmatin weekend aja,” kata Pelinda.
“Nggak ah. Aku mau bantuin kamu aja,” jawab Devina lalu menarik nampan kosong dari tangan Pelinda. “Kamu bisa kerjain yang lain. Aku akan membantu Rens.”
Devina lalu melangkah meninggalkan Pelinda. Karena penasaran … Pelinda menyusul langkah kaki sahabatnya.
“Kamu nggak ketemu Zein?” tanya Pelinda.
“Ketemu.”
“Dimana? Tapi kok kamu jalan sama Ars?”
“Kan Ars yang mengajakku duluan nonton,” jawab Devina.
“Kamu benar-benar akan terus seperti ini?”
“Lin, jangan mulai ah, aku pengen kerja aja di sini dan fokus pada tujuanku.”
“Kenapa tujuanmu itu nggak masukin Zein aja? Aku juga lihat kok, kamu suka sama dia, bahkan kamu jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia,” kata Pelinda. “bahkan semalam kalian melakukan itu, tak mungkin kan tanpa perasaan, apalagi kalian nggak lagi mabuk atau apa itu, kalian masih sangat sadar. Atau … kamu masih takut?”
Devina menghela napas panjang, dan berkata, “Ya aku takut. Aku mau mengakhiri segalanya sebelum semuanya makin terikat.”
“Kenapa? Kamu berhak bahagia, Dev, kamu dan Zein sama-sama suka, buang jauh pikiranmu tentang kalian yang baru bertemu,” kata Pelinda. “Aku akan mendukungmu. Buka hatimu lagi untuk Zein, jangan pernah menutup hatimu untuk orang yang sudah bahagia.”
Devina menoleh menatap Pelinda.
“Pikirkan apa yang menurutmu baik, jangan menutup hatimu, kamu pasti akan melupakan semua masalah yang pernah kamu alami,” kata Pelinda menepuk pundak sahabatnya dan melangkah meninggalkan Devina.
Pelinda memang sangat tahu ia seperti apa orangnya, bahkan ketika Devina berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, Pelinda bisa menebaknya dan bisa menjadi teman yang baik untuk menghilangkan rasa sedihnya yang mendalam. Pelinda sudah menjadi teman yang baik, jika menurut Pelinda itu baik, ia akan lakukan.
Suara ponsel Devina terdengar, ia melihat pesan teks masuk.
[Aku tunggu kamu di tempat yang kemarin hingga jam 9. Jika kamu benar-benar ingin mengakhirinya. Kamu nggak usah datang, namun jika kamu benar-benar ingin memulainya, aku akan menunggumu di sini]
Pesan teks yang mampu membuat Devina bingung dan mengabaikannya sejenak, lalu membawa pesanan orang di atas nampan, Devina benar-benar tidak ingin memulainya, hubungan yang salah dan hubungan yang tidak sehat. Semalam mereka sudah gila, dan jika membuat hari itu adalah permulaan, mereka salah.
“Dua botol bir datang,” seru Devina.
“Dev, kamu nggak malam mingguan?”
“Malam mingguan kok, malam minggunya di sini saja,” jawab Devina. “Kalian selamat berakhir pekan, Guys.”
Pelinda dan Temmy melihat semangat Devina, Pelinda yakin Devina tidak akan mau memulai sesuatu yang sudah salah. Pelinda serahkan semuanya kepada Devina meski ada hati yang terluka atas sikapnya saat ini.
Devina mengabaikan Zein, lelaki itu terluka atas sikapnya dan lelaki itu tidak bisa move on dari cinta satu malam mereka. Pertemuan singkat dan hanya beberapa jam membuat mereka berakhir di kamar dan bangun dipagi hari.
Devina kembali ke dapur dengan helaan napas panjang, Devina menatap keluar dan tidak melihat Zein sejak tadi, meski sudah dua jam yang lalu ia bertemu dengan lelaki itu di bioskop. Devina sudah salah kemarin, karena nafsu sesaat, ia tidur dengan lelaki yang baru ia kenal, meski hatinya ingin sekali memberi kesempatan pada Zein.
Devina menoleh sesaat melihat jam yang melekat didinding, malam menunjukkan hampir pukul 9. Devina menghela napas panjang dan mencoba tidak kepikiran, namun kepalanya sejak tadi memang hanya memenuhi nama Zein.
Devina membuka celemeknya dan melihat jam. Devina menghampiri Pelinda dan memeluk sahabatnya itu.
“Aku minta maaf, Lin, aku nggak bisa bantu, aku harus pergi,” seru Devina.
Pelinda menganggukkan kepala, dan berkata, “Pergilah, nikmati waktumu bersamanya.”
Devina mengangguk dan setengah berlari meninggalkan kedai, mengabaikan Ars yang sejak tadi memanggilnya. Ars menautkan alis melihat semangat Devina meninggalkan kedai.
Devina berlari dengan senyuman, meski sudah hampir jam 9, Zein pasti sudah pergi dan meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di tempat kemarin mereka mengobrol, Devina tidak melihat Zein, namun bayangan lelaki itu masih di sekitar tempat kemarin, Devina berlari ketika melihat Zein berjalan meninggalkan tempat tersebut.
“Zein!” panggil Devina membuat Zein berbalik dan menatap Devina.
“Kamu datang?” teriak Zein.
Devina menganggukkan kepala dan berlari menghampiri Zein, Devina langsung memeluk Zein dan mengabaikan keterkejutan lelaki itu yang tiba-tiba di peluk. Devina memutuskan untuk menjalani apa yang menurut hatinya baik. Ia sudah lama tidak membuka hati, ketika pernikahan Dania dan Gino sudah hampir setahun berlalu.
Zein membalas pelukan Devina dan tertawa karena merasa aneh.
“Jangan ketawa,” kekeh Devina.
“Habisnya kamu lucu,” kata Zein menggelengkan kepala.
“Ya udah. Aku kembali,” rengek Devina membuat Zein mengeratkan pelukannya.
Zein menatap Devina dan memagut bibir wanita itu, wanita yang sudah berani mengusiknya dan membuat hatinya gundah sejak kemarin, Zein tak menyangka, liburannya kali ini ia menemukan seorang wanita yang mengusik dirinya.
Kali ini, mereka kembali berakhir di kamar, namun kali ini di kamar Zein, semuanya masih berantakan, Devina memeluk Zein dan tidak mau melepaskannya.
“Aneh nggak sih, kita baru ketemu kemarin, namun kita bersama hari ini?” tanya Devina.
“Nggak aneh kok, semuanya sudah di tempatnya masing-masing, Tuhan menakdirkan kita bertemu di sini,” jawab Zein membuat Devina menganggukkan kepala. “Aku tidak akan lagi sedih karenamu, ‘kan?”
Devina menganggukkan kepala, dan berkata, “Hem. Nggak akan lagi.”
“Aku kemarin sangat sedih, karena kamu menolakku,” kata Zein.
“Aku hanya ingin meyakinkan diri bahwa semua yang ku lakukan sudah benar,” jawab Devina.
“Jangan lagi membuatku sedih,” lirih Zein membuat Devina menganggukkan kepala.