Prolog
Empat Tahun Yang Lalu …
Hujan membasahi Negara Spanyol yang tengah dilanda musim hujan lebat, namun hujan beserta angin juga kilat yang saling meraung dan seakan marah di atas sana tidak membuat pasangan itu menghentikan aktifitas mereka, keduanya masih saling mencumbu dan mematuk bagai ayam. Lelaki yang bernama Zeindra Winata—usia 23 tahun—dan kini tengah liburan. Dan … seorang wanita bernama Devina Zaskiara—usia 20 tahun yang ingin menikah di usianya yang terbilang cukup mapan untuk menikah.
***
Seorang lelaki tampan tengah menunggu di area penjemputan bandara menyusuri setiap sudut bandara dengan ujung matanya, selama ini ia sangat jarang untuk menghabiskan waktunya liburan karena pekerjaan dan tanggung jawabnya yang begitu besar, sehingga menuntutnya harus terus berada di kantor.
Sebuah mobil tua berhenti tepat didepannya, seorang wanita dan lelaki turun dari depan kemudi, menghampiri Zein yang tengah duduk mengabaikan keduanya.
“Zeindra?” tanya lelaki itu—Temmy—berusia 25 tahun yang sudah menikah dan memilih hidup di Spanyol bersama istrinya—Pelinda—usia 22 tahun.
Temmy dan Pelinda menikah enam tahun yang lalu, ketika Pelinda masih berusia 13 tahun dan tengah kuliah disalah satu perguruan tinggi di Jakarta, namun karena jatuh cinta, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah meski tanpa restu keluarga. Temmy dan Pelinda pun memilih kabur dari Jakarta dan ke Spanyol hidup berdua dan bahagia, mereka memiliki warung makan didekat pantai.
“Zeindra?” tanya Temmy lagi.
Zein mendongak dan menatap Temmy yang terlihat berantakan. Beberapa saat kemudian Zein tertawa terbahak-bahak melihat nasib Temmy yang sedemikian seperti saat ini, pakaian yang lusuh dan wajah yang tidak terawat, begitu pun dengan Pelinda yang mengikat dua rambutnya asal.
Temmy menarik Zein dan memeluknya. “Apa kabar, Kawan?” tanya Temmy.
“Ya ampun, Temmy, lo gini sekarang?”
“Emang gua harus gimana, Kawan?” tanya Temmy melepas pelukannya dan melihat dirinya yang berantakan. “Oh. Gua sekarang bahagia, Bro, gua udah bahagia di sini, jadi gua berpakaian seadanya saja.”
“Kabar lo gimana, Lin?” tanya Zein pada Pelinda yang sering dipanggil Linda, istri kawannya itu.
“Gue baik, Zein,” jawab Pelinda. “Lo gimana?”
“Gua seperti yang kalian lihat, gua baik-baik saja, dan gua sangat baik,” jawab Zein.
“Jangan mencoba membohongi kami, Zein, kami tahu tidak semua hal berjalan lancar, bukan?”
“Aish. Gua emang nggak bisa menyembunyikan sesuatu dari kalian,” kata Zein.
“Ada apa? Kenapa lo kemari?”
“Gua butuh liburan. Gua sangat membutuhkan liburan.”
“Lo datang di tempat yang tepat,” jawab Temmy.
“Gua lihat kalian seperti udah berbaur di sini, udah item juga,” kekeh Zein.
“Gimana kita nggak hitam, Bro, kita tinggal dipinggir laut,” jawab Temmy.
“Udah ayo, kita masih harus belanja, kita harus ke pasar,” kata Pelinda, menyikut suaminya, agar menghentikan perbincangan, mereka bisa mengobrol lagi nanti.
“Baiklah. Ayo naik,” ajak Temmy, lalu mengambil bawaan Zein dan memasukkannya kedalam bagasi.
Ketiganya masuk ke mobil dan Temmy pun melajukan mobilnya meninggalkan area penjemputan di Bandara, Zein mengambil cuti selama dua minggu, dan selama dua minggu juga ia ingin bersantai dari keramaian dan ingin hidup tenang tanpa gangguan pekerjaan. Sungguh sesuatu yang sudah lama Zein dambakan.
“Zein, kami jauh dari kata kaya, lo tahu gua udah dibuang sama bokap gua, gua juga udah jadi anak yang terlantar,” kata Temmy. “Gua hidup bahagia di sini bersama Dahlina, meski sering tak cukup, namun kita bahagia.”
“Lalu?”
“Gua nggak pengen lo beritahu Bokap gua dimana keberadaan kami.”
“Ya ampun, Bro, nggak mungkin lah gua bilang gitu sama bokap lo, gua ini teman setia loh, jadi nggak mungkin lah, gua pintar kok jaga rahasia,” jawab Zein.
“Syukurlah. Lo gimana kerjaan sekarang?”
“Masih lancar, gua juga udah nggak kerja di perusahaan bokap gua, gua udah kerja di perusahaan Rahelia,” jawab Zein.
“Rehelia?”
“Ya. Lo lupa sama Rahelia?”
“Gua ingat. Kok lo bisa kerja di tempat dia?”
“Gua butuh kerjaan, dan gua pengen bertahan. Jadi gua nggak bisa pilih kerjaan, apalagi posisi gua di perusahaan bokap Rahelia itu sebagai direktur eksekutif, jadi lumayan sama gajinya.”
“Lo kayak orang miskin aja, meski begitu lo masih orang kaya, anak tunggal dari Tuan Winata Group.”
“Udah. Nggak usah dibawah-bawah, gua udah dipecat dari perusahaan bokap.”
“Ya ampun. Lo miris juga ternyata.”
“Hem. Hanya Rahelia yang menengadahkan tangannya buat gua dan ngasih kerjaan buat gua.”
“Ya iyalah dia pasti ngelakuin itu, secara kan dia suka banget sama lo. Dari jaman kuliah,” jawab Temmy.
“Udah, Bro, nggak usah dibahas, gua kemari bukan untuk bahas kerjaan sama lo, gua pengen liburan dan jauh dari bising.”
Temmy menoleh dan menatap istrinya yang tengah menggelengkan kepala karena mendengar sikap Zein yang tidak pernah berubah, selalu apa adanya dan tidak bisa dikalahkan.
Temmy dan Zein sejak TK sudah berteman, bahkan sampai mereka dewasa seperti saat ini mereka masih bersama, meski Temmy sudah tidak tinggal di Indonesia, namun Temmy selalu ada buat dia, Temmy selalu memberi semangat pada Zein ketika sahabatnya itu sering ingin menyerah karena desakan ayahnya yang selalu menjadi penghalang.
***
Sore menunjukkan pukul 6, hari sudah mulai gelap, namun suara bising dari ombak terdengar menderu, seorang wanita bernama Devina Zaskiara—wanita berusia 20tahun menghela napas panjang karena merasakan angin yang menerpa tubuhnya, Devina tersenyum, ia sudah terbiasa dengan suasana di sini, ia sudah cukup mengenal tempat ini, bahkan banyak orang yang telah mengenal dirinya.
“Dev, berikan kita bir,” kata salah satu pengunjung di tempatnya. “Sekalian dengan nasi goreng ekstra pedas.”
“Extra pedas apa pedas gila?” tanya Devina.
“Pedas gila boleh juga tuh.”
“Oke. Sebentar lagi pesanan akan datang,” seru Devina, ia sangat senang berada ditempat ini.
Devina seorang wanita berusia 20 tahun, memiliki impian menikah di usia 18 tahun dengan lelaki yang dicintainya, namun impiannya harus direnggut oleh kakaknya sendiri, kakaknya yang usianya 23 tahun harus menikah dengan lelaki yang ia cintai, lelaki yang dulunya selalu ada buatnya. Lelaki yang bernama Gino—usianya 26 tahun, lelaki dewasa yang sering membelai rambutnya.
Gino adalah lelaki yang menaruh hati pada Devina sejak Devina menjadi siswa pindahan dari Bandung, Gino selalu ada untuknya. Ketika Devina di bully oleh orang-orang karena kacamata tebalnya dan rambutnya yang di cacing dua. Gino selalu ada untuknya, bahkan kakaknya tidak pernah menolongnya, meski mereka satu sekolah dulunya.
Ketika mereka tamat sekolah, Gino mengungkapkan perasaannya pada Devina, namun kakaknya itu melarangnya keras, dan akhirnya Devina menolak ungkapan hati Gino, setelah penolakannya pada Gino, Gino pun pindah ke Kalimantan ikut ayahnya yang dipindah tugaskan di sana. Namun setelah beberapa tahun, Gino kembali ke Jakarta dan hendak meminang Devina, namun sang Kakak meminta Devina mengalah agar membiarkan Gino mau menikah dengan sang kakak.
Devina menangis begitu keras, bahkan Gino pun langsung mau ketika Devina memintanya menikahi kakaknya. Gino tidak pernah bertanya mengapa Devina memintanya seperti itu, saat ini masih menjadi teka-teki yang Devina sendiri pun tidak tahu apa yang ada dipikiran Gino.
“Aku pulang!” Suara Pelinda membuat Devina sadar dari lamunannya dan dengan cepat menyeka air matanya.
Pelinda menoleh dan menatap wajah Devina yang terlihat sangat murung, bahkan suara bising dari teko siulpun tidak membuat Devina bergeming sama sekali.
Pelinda menepuk pundak Devina.
“Dev, ada apa?” tanya Pelinda pada sahabatnya itu. Devina dan Pelinda dulunya tetanggaan, mereka sering berangkat sekolah sama-sama, meski sekolah mereka berbeda, jika sesuatu menimpah Devina sering sekali Pelinda menolongnya, jika Devina dimarahi ibunya, Pelinda sering menyalahkan dirinya didepan ibunya Devina. Begitu lah persahabatan mereka.
Ketika Devina kehilangan ayahnya, Pelinda selalu ada buatnya, bahkan Pelinda tidak pernah pulang meski ibunya sering datang memarahinya. Pelinda selama ini menganggap Devina lebih dari teman, seperti keluarga baginya. Ketika Devina memilih kemari dan meninggalkan Jakarta, Pelinda bahagia sekali dan melambaikan tangan untuk memeluk sahabatnya itu.
Bahkan ketika Pelinda ingin menikah dengan Temmy, Devina lah yang menolongnya dan pada akhirnya Pelinda ada di sini. Bahagia bersama suaminya.
Pelinda juga tahu masalah apa yang tengah sahabatnya itu hadapi hingga Devina kemari dan meninggalkan Jakarta.
Pelinda membalikkan tubuh Devina agar menghadapnya. Pelinda menarik Devina dan menepuk punggung sahabatnya itu.
“Aku di sini, Dev, sabar,” kata Pelinda membuat Devina menangis sejadi-jadinya masih mengingat bagaimana sang kakak dan Gino mengkhianatinya. “Dasar pria b******k, jika aku bertemu dengannya, aku akan langsung membunuhnya saja.”
Devina terkekeh mendengar perkataan Pelinda dan keduanya pun tertawa bersama, Pelinda selalu menjadi obat untuk Devina ketika Devina menangis dan mengingat bagaimana ia bisa sampai kemari.
Zein dan Temmy menoleh dan melihat Pelinda dan Devina tengah tertawa, Zein menatap wajah Devina dan lucunya Zein merasa nyaman dan damai menatap wajah wanita itu, bahkan Zein tidak pernah menatap seorang wanita seberlebihan seperti saat ini.
Temmy tersenyum melihat tatapan mata Zein, dan berdeham membuat Zein sadar dari tatapannya.
“Lo punya karyawan?” tanya Zein.
“Bukan. Dia bukan karyawan,” jawab Temmy.
Zein menoleh dan menatap Temmy, lalu bertanya, “Maksudnya?”
“Anggap saja begitu, dia memang bantu-bantu kami di sini, syukurlah pekerjaan Pelinda jadi nggak berat karena dia ada di sini. Namanya Devina, dia sering dipanggil Dev di sini,” jawab Temmy menjelaskan. “Dia sahabat Pelinda, dia juga kemari karena liburan.”
“Oh begitu?” Zein menoleh kembali menatap Devina dan Pelinda.
“Mereka memang seperti itu, bahkan mereka sering menangis bersama.”
Sesaat Pelinda menatap keluar dan melihat suaminya itu dan Zein tengah mengobrol asyik, Pelinda memiliki ide untuk mengenalkan Devina pada Zein, semoga saja mereka cocok dan bisa menjalin hubungan dan membuat Devina melupakan Gino.
“Ayo aku kenalkan pada sahabat Temmy,” kata Pelinda.
“Nggak usah ah, aku lagi kerjain ini, pesanan orang,” tolak Devina.
“Udah. Biar Rens yang mengerjakannya,” jawab Pelinda. “Rens, lanjutkan ya, aku sama Devina mau keluar sebentar.”
“Baiklah, Pelinda,” jawab Rens yang juga bekerja di sini.
Pelinda menarik Devina dan menghampiri suaminya, juga Zein yang tengah menikmati minuman hangat yang sudah Rens siapkan tadi. Pelinda mempersilahkan Devina untuk duduk disamping Zein. Zein juga bergeser dan mempersilahkan Devina untuk duduk, Devina adalah wanita yang cantik, bahkan kulitnya sangat putih dan bibirnya merah seperti mengenakan lipstik, padahal bibirnya memang sudah merah sejak dulu.
Pelinda menyikut suaminya agar berbicara duluan.
“Oh iya, Zein, kenalkan ini sahabatnya Pelinda, namanya Devina,” kata Temmy.
Zein menganggukkan kepala, dan mengulurkan tangannya, membuat Devina menatap Zein. “Aku … Zeindra, panggil Zein saja,” ucap Zein membuat Pelinda dan Temmy tersenyum. Zein memang pria yang gentle.
Pelinda lalu meraih tangan Zein, dan berkata, “Aku … Devina, biasa dipanggil Dev,” jawab Devina.