5. Perpisahan II

1673 Words
Empat Tahun Kemudian … Seorang lelaki yang kini mengenakan cincin nikah masuk ke ruangannya dan melihat jadwalnya di atas meja kerjanya yang sudah sekretarisnya taruh, semua jadwalnya hari ini sudah ia baca, lalu lelaki itu menyalakan monitornya dan melihat produk yang akan ia luncurkan. Hari ini adalah hari dimana perusahaannya akan sibuk. Karena, peluncuran sebentar lagi, semua sudah disediakan dengan porsinya masing-masing. Semua undangan sudah disebar oleh pihak perusahaan, dan waktu juga tempat sudah ditentukan, sekarang perusahaan sedang sibuk-sibuknya karena peluncuran akan dilaksanakan sebentar lagi, semua berharap tak akan kesalahan apa pun. Suara ketukan pintu terdengar, lelaki itu berseru dari dalam. “Masuk!” Seorang lelaki yang bernama—Rama—sekretarisnya, masuk ke ruangannya. “Pak, saya bawa jadwal Anda,” kata Rama. “Aku sudah membacanya,” jawab Zein. “Baik, Pak,” jawab Rama lalu kembali melangkah keluar dari ruangannya. Semenjak ayahnya sakit-sakitan, Zein akhirnya mengambil alih perusahaan ayahnya. Dulu … perusahaan ayahnya sangat lah kecil bahkan tak ada perusahaan besar yang mau menoleh melihatnya, namun karena Zein mengambil alih dan membawa perubahan akhirnya perusahaan ayahnya berubah menjadi perusahaan besar. Perusahaan besar dengan klien ratusan dari luar negeri. Perusahaan keluarga yang sekarang sedang ia jalani merupakan perusahaan industri, produk empat bulan sekali akan diganti ke produk terbaru, jadi perusahaan mengalami kemajuan hingga kini sudah sampai internasional. Dulu, Zein bekerja di perusahaan besar lainnya yang miliknya adalah keluarga Rahelia, namun karena usaha dan bisnis ayahnya yang ngadat, akhirnya Zein memilih memundurkan diri dan kembali ke perusahaan ayahnya, Rahelia sedih karena semenjak Zein mengambil alih perusahaan, perusahaan keluarga Rahelia penuh kemajuan, namun saat ini berjalan biasa saja. Suara ketukan pintu terdengar, Fandi lalu berjalan masuk menghampiri meja kerja atasannya dengan membawa dokumen ditangannya. “Ada apa?” “Ini butuh tanda tangan lo,” kata Fandi. “Perusahaan yang ada di Minang.” “Oke. Sinikan,” kata Zein lalu membubuhkan tanda tangannya, setelah itu  mengembalikan pada Fandi. “Oh iya. Gua ada undangan party sama temen-temen kuliah, lo mau ikut nggak?” “Nggak deh. Gua masih banyak urusan.” “Udah deh, Zein, ayolah, sekali-kali nikmatin waktu donk.” “Perusahaan sebentar lagi akan meluncurkan produk terbaru, gua nggak ada waktu buat santai, sampaikan saja maaf gua sama teman-teman.” “Lo emang udah nggak seasyik dulu,” kata Fandi lalu melangkah meninggalkan Zein yang masih fokus pada layar monitornya yang menunjukkan berjalannya perusahaan dari departemen berbeda. Zein melihat cincin ditangannya, dan menghela napas panjang, sudah empat tahun setelah ia dan Devina berpisah, ia tidak pernah melepaskan cincinnya, bahkan tak ada yang tahu pernikahannya yang terjadi di Spanyol. Saksi pernikahannya adalah Pelinda dan Temmy yang sampai saat ini tidak tahu keberadaan Devina. Zein menghela napas dan membasuh wajahnya dengan kedua tangannya, ia sangat merindukan Devina, apakah Devina merasakan hal yang sama? Jika saja Fandi tidak mengatakan bahwa ayahnya sekarat waktu itu, ia pasti masih bersama Devina saat ini, kepulangannya di Indonesia waktu itu adalah akhir dari segalanya. Akhir dari hubungannya dengan istrinya yang ia nikahi empat tahun yang lalu, cincin ini adalah saksinya. Zein merogoh ponselnya dan menelpon Temmy yang masih berada di Spanyol. “Sayang, Zein,” kata Pelinda setengah berteriak. “Baiklah,” jawab Temmy lalu melangkah menghampiri ponselnya di atas meja. “Beri loudspeaker,” kata Pelinda membuat suaminya menganggukkan kepala. ‘Halo, Bro,’ ucap Temmy. ‘Lo dimana?’ tanya Zein dengan suara serak. ‘Gua di kedai seperti biasa. Tumben lo nelpon.’ ‘Apa sampai saat ini Devina nggak ngabarin kalian?’ tanya Zein membuat sahabatnya itu menghela napas. Mereka saja bingung dimana Devina. ‘Maaf, Bro, gua dan Pelinda belum mendapatkan kabar apa pun. Dulu semenjak lo kembali ke Indonesia, Devina masih sering kemari membantu kami mengurus kedai, namun beberapa bulan lo nggak kembali, Devina nggak lagi ke kedai, kami mencari tahu dan kami hanya mendapatkan sepucuk kertas bahwa dia sudah pergi. Dan … kami yakin, dia kembali ke Jakarta buat nemuin lo.’ ‘Ini udah empat tahun, namun Devina belum pernah nemuin gua. Bahkan gua udah kasih nomor ponsel gua ke dia, namun nggak ada kabar juga.’ Zein menghela napas panjang. ‘Kalau saja gua tahu seperti ini, gua nggak akan ninggalin dia sendirian.’ ‘Yang sabar, Bro, Tuhan pasti mempertemukan kalian.’ Zein menghela napas, tanpa sadar air matanya luruh begitu saja, Zein tidak tahan, sesak didadanya seakan membuncah hebat, seperti akan tumpah saja rasanya. Ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi, jika benar Devina sudah kembali ke Jakarta, Devina pasti akan menemuinya, namun apa masalahnya hingga saat ini Devina tidak menemuinya. ‘Bro, lo baik-baik saja, ‘kan?’ ‘Gua sedih banget, beneran sedih. Jika saja kita berpisah karena bertengkar gua pasti tidak akan semenderita ini, namun kami baik-baik saja sampai kami berpisah. Apa yang harus gua lakuin, Bro?’ tanya Zein. Suaranya menjadi serak, ada luka yang tersimpan didalam hatinya yang sangat susah ia jelaskan. ‘Yang sabar, Bro, gua dan Pelinda akan terus berdoa agar lo dipertemukan kembali.’ ‘Yang kami jalani adalah pernikahan, namun mengapa kami tidak bisa bersama?’ ‘Pernikahan kalian hanya terdaftar di Spanyol.’ ‘Andai dia di sini, gua pasti akan mendaftarkan pernikahan kami.’ ‘Gua udah nggak bisa ngomong apa-apa, Bro, kita juga masih terus menunggu kabar.’ ‘Ya udah. Tolong kabarin gua jika Devina mengabari kalian.’ ‘Pasti. Kami pasti menghubungi lo,’ jawab Temmy. Zein lalu memutuskan sambungan telpon, ia menghela napas dan membasuh wajahnya menggunakan kedua tangannya, Zein sedih sekali saat ini, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu, hanya menunggu sesuatu yang belum pasti yang bisa dilakukannya saat ini. . . Flashback ON. Sebelum kepulangan Zein ke Indonesia, mereka keliling kota disekitaran pantai, bahkan mereka kemping di tempat lain, Zein sangat bahagia ketika menghabiskan waktu bersama Devina, namun kepulangannya di Indonesia menghentikan segalanya sementara waktu. Zein dan Devina saling menggenggam, mereka berjalan berdampingan melihat keliling kota dengan kedua kaki dan kedua mata mereka, Zein dan Devina sesekali tertawa ketika keduanya berpose seperti patung, jika Devina berpose seperti patung yang ada dipinggir kota, Zein pasti akan langsung mencium bibirnya. “Sayang, apaan sih,” kata Devina dengan wajah memerah padam. “Habisnya kamu menggemaskan,” jawab Zein. “Ish.” Devina memeluk suaminya dari belakang dan pandangan matanya mengarah pada kedai ice cream yang ada didekat taman. “Sayang aku mau ice itu,” kata Devina membuat Zein tertawa ketika melihat wajah Devina seperti anak kecil yang sedang meminta sesuatu. “Aku akan belikan, bahkan bisa membelikanmu dengan kedainya,” kata Zein lalu melangkah meninggalkan istrinya itu dan membeli ice cream. Sesaat kemudian, Zein kembali dan memberikan ice cream itu pada istrinya, membuat Devina jingkrak-jingkrak karena senang. “Kamu kok tahu aku suka strawberry?” tanya Devina. “Aku tahu semuanya tentang kamu,” jawab Zein merangkul bahu istrinya dan mengecup kepalanya beberapa kali. Mereka kembali berjalan-jalan menikmati waktu yang sudah mulai gelap. “Sepertinya hari sudah mulai gelap,” kata Devina membuat Zein mengangguk. “Kita makan malam dulu, setelah itu pulang ke tenda,” kata Zein. Devina menganggukkan kepala, mereka berdua begitu bahagia menyusuri setiap jejeran toko. “Sayang, aku izin ke toilet dulu,” kata Devina masih menggenggam ice creamnya. “Baiklah. Jangan lama-lama, aku tunggu di sini,” jawab Zein. Devina lalu melangkah keluar dari restoran dan melihat toko pakaian, ia masuk ke toko tersebut dan melihat-lihat apa yang akan ia beli untuk suaminya, Devina melihat setelan jas berwarna navy, harganya sangat mahal, bahkan gajinya tidak akan cukup untuk membeli semua itu untuk Zein, namun di sini ia bisa meminjam dan mencicilnya hingga beberapa bulan. Devina memilih setelan jas itu. “Mau 6 bulan?” tanya pelayan toko itu. “Iya. 6 bulan saja,” jawab Devina. Setelah jas itu dibungkus rapi, Devina lalu kembali ke restoran dimana suaminya menunggu, setelan jas ini bisa menjadi kenangan-kenangan yang bisa mengingatkan Zein pada dirinya. “Sayang, maaf aku lama,” kata Devina duduk dihadapan suaminya. “Itu apa?” “Aku baru saja dari toko di ujung sana,” jawab Devina. “Kamu beli apa? Kenapa nggak bilang aku agar aku beliin?” tanya Zein. “Aku punya uang kok, aku beliin sesuatu untuk kamu,” kata Devina memberikan bungkusan itu pada Zein. “Apa ini, Sayang?” “Setelan jaz,” jawab Devina. “Kamu bisa pakai ini ketika kita ketemu di Jakarta.” “Sayang, kamu punya uang?” “Hem. Aku ada uang kok,” jawab Devina meski setelan jas ini ia cicil. Untung saja pemilik toko itu mengenalnya dengan baik, jadi bisa lah di ajak kerja sama. “Aku pasti akan memakainya,” jawab Zein menerima setelan jas itu dengan bahagia. “Pemberianmu ini akan menyemangatiku.” Devina menganggukkan kepala. “Kamu jangan pernah melepaskan cincin itu.” “Tentu. Aku sudah beristri, bahkan istriku lebih cantik dari siapa pun, jadi aku pasti nggak akan melepaskan cincin ini, seolah-oleh cincin ini adalah kamu.” Devina tersenyum dan menganggukkan kepala, sesaat kemudian makanan yang Zein pesan sudah datang dan telah di tata di atas meja.” Mereka berdua lalu makan malam dengan romantis, lalu Zein merogoh kantung celananya, mengambil kotak cincin yang sudah ia siapkan. “Sayang, aku punya sesuatu untuk kamu juga,” kata Zein membuat Devina mendongak. “Apa itu?” Zein membuka kotak cincin itu dan memperlihatkan berlian indah dengan kilauan luar biasa silaunya, Zein memang orang kaya, bahkan ia memesan khusus cincin ini dari Irlandia. “Sayang, ini … berlian?” tanya Devina. “Hem. Ini adalah berlian, khusus untuk istriku tercinta,” jawab Zein. “Sayang, aku takut menerima barang-barang yang mahal, dan ini pasti sangat mahal.” “Bagiku, kamu lebih mahal dari apa pun, bahkan kamu nggak ternilai,” jawab Zein lalu meraih tangan istrinya dan sangat cocok ditangan Devina yang putih. Zein mengecup punggung tangan istrinya. “Aku berharap kamu mengenakannya jika kita bertemu nanti.” Devina menganggukkan kepala dan menyeka air matanya yang sudah luruh. “Terima kasih sudah memperlakukanku dengan baik.” “Kembali kasih, Sayang,” ucap Zein. Flashback OFF.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD