Chapter 8 - Satu Tim

1636 Words
Happy Reading ***** Seorang gadis berambut panjang se-pinggang nampak melangkahkan kaki memasuki area gang yang hanya hanya memiliki lebar satu setengah meter itu. Meski sebenarnya ia takut sebab gang bisa di bilang cukup gelap, tapi ia berusaha melawannya. Gadis yang kira-kira menginjak usia 20 tahun itu terpaksa melewati gang, karena tempat itu jalan pintas terdekat menuju rumahnya. Saat ini memang bisa dibilang sudah larut malam, tepatnya pukul 11.30 malam, padahal biasanya jam sembilan lebih ia sudah pulang dari tempat kerja paruh waktunya, hanya saja karena ia harus menggunakan wifi gratis demi mengerjakan tugas kuliah _di tempat kerja_, alhasil ia baru bisa pulang sekarang. Jujur saja makin melangkah memasuki gang entah kenapa aura mencekam yang gadis itu rasakan makin terasa kental, dia berusaha keras ber-positif thinking, dan mulai melangkahkan kaki lebih cepat lagi. Namun tiba-tiba ia berhenti sejenak seraya mengeratkan jaket yang ia pakai, bukan, bukan hanya karena ia kedinginan, lebih juga karena ia merasa takut dan panik saat merasakan adanya seseorang berjalan di belakangnya. Tuk.. Tuk.. Tuk.. Tuk.. Sungguh, langkah kaki itu terdengar jelas diperdengarkan gadis itu. Gadis itu meneguk salivanya susah payah, awalnya ia pikir jika di belakangnya adalah makhluk tak kasat mata yang mungkin saja hendak mengganggunya, namun saat dirinya mengangkat ponsel dan mengarahkan layarnya ke belakang ia malah menemukan sesosok orang dengan pakaian full hitam dari pantulan layar ponselnya. Sungguh gadis itu ingin menangis saja rasanya, siapa orang itu, sangat misterius dan menakutkan! Gadis itu benar-benar tak dapat melakukan apa-apa kecuali menambah kecepatan jalannya, ralat mungkin tak dapat di katakan berjalan sebab ia sekarang sudah melaju kencang seperti berlari. Ia sama sekali tak berniat untuk mengecek keadaan belakang sekali, ia tak mampu dan memilih terus berlari hingga nanti sampai di rumahnya. Hanya saja belum juga ia berhasil keluar dari gang yang memang cukup panjang itu, dirinya malah di buat terkejut melihat sosok yang tadi sempat ada di belakangnya telah berubah menjadi di depannya dan muncul dari balik tong-tong pembuangan sampah warga. Tentu saja hal itu membuat ia menghentikan langkah mendadak, dan berniat berlari kembali ke arah yang ia lewati tadi. Dan seolah dunia tak berpihak kepadanya, gadis itu malah terjatuh begitu saja setelah menginjak tali sepatunya yang baru di sadari telah terlepas. "Jangan," Gadis itu makin panik melihat pria orang misterius mulai berjalan pelan menghampirinya. Gadis itu berusaha bangkit kembali hendak kabur, namun ia di buat menjerit shock melihat sesuatu yang di keluarkan orang misterius itu dari balik punggung nya, "Kyaaa.." ia menutup mulutnya sendiri tidak percaya. Ternyata orang misterius itu menyodorkan sebuah pisau dengan ujung begitu runcing, tentu saja fikiran gadis itu sudah bermacam-macam. Gadis itu hendak menjerit meminta tolong orang sekitar _meski nyatanya tidak ada seorang pun_, tapi dirinya langsung merasakan kelinglungan saat pisau itu berhasil terarah cepat padanya dan begitu saja menancap _cukup dalam_ di dadanya. Crukkk... Awalnya gadis itu seolah mati rasa tapi detik berikutnya ia baru merasakan rasa sakit yang luar biasa, jangan lupakan darah segar yang keluar dari mulutnya juga bekas tusukan yang pisaunya sudah tercabut itu. Gadis itu berusaha tetap menjaga kesadarannya, namun ia kesulitan rasa sakit yang ia rasakan benar-benar sudah di ambang batas, apalagi saat orang misterius ini mengangkat tinggi-tinggi pisau dan hendak menusuknya lagi, gadis itu hanya bergumam pelan, "Jangan," Crukkk... "Arghhh." ***** "Pukul lima diri hari ini, seorang pemulung bernama Murin telah menemukan sesosok mayat wanita di samping tumpukan sampah di daerah Pasar Lama, mayat tersebut memiliki luka-luka tusukan dan sayatan yang cukup parah, juga tulang patah di banyak bagian. Di duga pembunuhan itu baru di terjadi beberapa jam yang lalu, dilihat dari darah pada tubuh mayat belum sepenuhnya mengering. Saya Novianti Andini melaporkan dari tempat kejadian." Siaran berita yang berputar di salah satu channel televisi lokal itu membuat Noah dan Rilla yang melihatnya mengepalkan kedua tangan erat. Setelah kejadian memalukan antara Rilla kepada Noah, ternyata mereka harus kembali di pertemukan di ruangan Komisaris Miller, baik Noah maupun Rilla keduanya tak menyangka jika mereka sama-sama di panggil oleh komisaris. Rilla berusaha tak terganggu dengan Noah, sebab ia berada di depan komisaris Miller. Ia tetap akan profesional. Setelah tadi mereka baru saja sampai di ruangan Komisaris, mereka berdua malah di suguhkan sebuah tayangan berita yang berputar di layar televisi itu. Komisaris memanggil mereka berdua pasti ada hubungannya dengan berita pembunuhan itu, dan benar saja saat Komisaris membuka suara menjelaskan, Noah langsung menghela nafas kasar. "Pembunuhan beberapa kali terjadi di kota, dan berita itu adalah pembunuhan yang ke tiga dalam minggu ini." Ck, kenapa Noah baru tau ada kabar sebesar ini, begitupun juga Rilla tak banyak menerima informasi seperti ini. "Kasus ini awalnya di tangani oleh distrik lain, tapi mereka menyerahkan kasusnya kepada kita." Tidak heran kasus ini di pindah tugaskan, karena bisa dibilang departemen kepolisian mereka berisi Detektif-detektif paling kompeten di mata banyak detektif lain, tentu saja sebab adanya detektif muda Rilla dan Noah, juga Detektif senior Roni. Kalau kasus di pindah tugas, berarti pembunuhan ini bukan hal yang bisa di sepelekan, "Dari penyelidikan yang sudah terjadi, pembunuhan itu di curigai dilakukan oleh satu orang pelaku." Jelas Komisaris Miller pada Noah dan Rilla yang duduk berdampingan di depannya. "Jadi aku memanggil kalian ke sini kali ini, untuk meminta kalian menangani kasus bersama-sama," lanjut Komisaris Miller yang mana membuat Noah membulatkan matanya lebar. "Apa?" Noah bahkan sampai bangkit dari tempat duduknya, sebagai bentuk ekspresi keterkejutan yang tak main-main. Sedangkan Rilla sendiri tetap diam meski sebenarnya juga sama terkejutnya. Tapi Rilla memang sedikit menduga sejak tadi, mengingat mereka di panggil bersama-sama bukan sendiri-sendiri. "Tidak-tidak, aku lebih baik sendiri tidak perlu bersama dia." Ucap Noah dengan gelengan kepala tegas. Rilla sampai mendelik melihat kelakuan Noah kepada komisaris Miller, baru kali ini ia melihat dengan jelas jika Noah betul-betul anak kesayangan komisaris, kalau tidak mana berani Noah berucap sedikit tk sopan macam itu. "Noah, ini keputusan bersama, aku tak bisa membiarkan dirimu sendiri, dan kalau bersama dengan Rilla semua akan lebih mudah." 'Lebih mudah apanya,' Tanpa keduanya tau, gerutuan di dalam hati itu, mereka ucapkan secara bersama-sama. Komisaris Miller berusaha memberi pengertian keduanya. Sebenarnya komisaris juga tau betul tentang ketegangan yang terjadi di antara Noah dan Rilla, tapi ia tetap ingin mereka melakukan tugas ini bersama-sama, dan ia melakukan itu semua bukan tanpa alasan. "Tidak ada penolakan untuk kalian. Aku sudah memutuskan matang-matang." Komisaris Miller merubah wajahnya yang tadi bersahabat menjadi tegas, ia memang menyukai Noah dan sudah menganggap Noah seperti anaknya sendiri sejak dulu, tapi kalau urusan pekerjaan ia tidak bisa di ganggu gugat. Rilla tiba-tiba mengangguk pelan, "Baiklah komisaris." Yang mana hal itu membuat Noah _yang masih setia berdiri_ mendelik terkejut bukan main, bagaimana bisa wanita ini menyetujuinya dengan mudah? "Kau menerimanya?" tanya Noah spontan, tak malu jika suaranya dapat di dengan oleh Komisaris Miller yang masih menatap mereka. Rilla menggedikkan bahu acuh, "Lalu aku harus apa?" Saat Noah hendak bersuara kembali, bahkan sudah membuka mulutnya, tapi nyatanya komisaris Miller lebih dulu menyelanya. "Baiklah kalian bisa keluar, untuk data-data yang di kumpulkan oleh penyidik sebelumnya akan dikirim sore ini." Komisaris Miller tersenyum singkat kepada Rilla dan mengangguk pelan ke arah Noah yang masih nampak terkejut tak terima. Noah begitu tak terima ya karena ia merasakan sendiri dampak medusa ini di dekatnya, ia takut tak bisa mengontrol kemarahan, pokoknya ia tidak akan pernah sudi titik. "Terimakasih komisaris," Berbeda jauh dengan Noah yang masih ingin menentang, nyatanya Rilla sudah lebih menerimanya, meski hatinya sendiri juga ingin menolak. Tapi sebagai Detektif ia berusaha bersikap seprofesional mungkin dalam menjalankan tugas-tugas yang di berikan. "Kalau begitu saja permisi," Rilla membungkukkan badan sedikit sebagai bentuk rasa sopan. "Tunggu-tunggu, ini ..., Paman ..." Noah hendak berusaha berdiskusi lagi dengan Komisaris Miller, tapi nyatanya si wanita medusa Rilla malah menarik tangannya begitu saja, "Hya, lepaskan aku." Rilla tak memperdulikan penolakan Noah dan tetap menyeret tangan Noah untuk menuju pintu keluar. "Diamlah, kita berbicara di luar." bisik Rilla karena Noah tetap berusaha menahan diri tak mau di ajak, apalagi sebagai wanita kekuatan Rilla sudah pasti akan kalah jika itu melawan Noah. Setelah itu Noah menghela nafas lelah, dan menuruti langkah Rilla _dengan sangat terpaksa_ yang masih menariknya. "Kenapa kau menerimanya begitu saja?" tanya Noah to the point setelah mereka baru saja menginjakan kaki ke luar ruangan komisaris Miller. Noah juga sudah menarik tangannya _kasar_ yang tadi sempat di cekal oleh Rilla. Rilla mendesah tak suka, masih juga bertanya tentang ini, "Hei dungu, kau tak tau ini tugas negara, mana bisa aku menentang komisaris Miller. Kau pikir apa? aku yang ingin di tugaskan bersamamu? Cih jangan harap." 'Dungu?' Tunggu-tunggu kenapa gadis ini berbicara pedas sekali, dan berani-beraninya mengatai Noah dungu. Dan lagi pula ia tak pernah berfikir sedikitpun jika alasan Rilla menerima itu karena dirinya, "Tutup mulut omong kosong itu." "Kenapa?" Rilla mengangkat dagunya tinggi-tinggi muak dengan sikap Noah yang seperti ini. "Kau seharusnya tak menerima ini!" Noah sungguh tak ingin menjadi satu tim dengan Rilla, tidak, ia tidak mau. "Kau jangan ke kanak-kanakan ya," Rilla mengepalkan kedua tangannya erat, menahan nafsu-nya untuk mencakar wajah menyebalkan di depannya itu. "Siapa? Aku? huh. Aku hanya tak ingin melakukan denganmu." Noah tentu saja tak terima mendapat ejekan ke kanak-kanakan, meski sebenarnya memang begitu. "Aishh, kau! jika kau tak mau, sana bicara kepada komisaris sendiri, biar aku yang mengurusi kasus ini sendiri." Rilla sudah muak dan tak perduli dengan Noah, biarkan pria ini melakukan apa yang dia inginkan, "Cih, detektif kompeten apanya, yang ada detektif childish nan dungu!" gerutu Rilla seraya hendak melangkah pergi meninggalkan Noah begitu saja. Tangan Noah terkepal erat, tak terima wanita medusa ini terus mengatainya, "Hya, aku masih bisa mendengarnya." Rilla yang sudah berada beberapa langkah di depan Noah pun langsung memutar badan untuk menghadap Noah kembali, tak lupa ia juga menunjukan smirk seperti biasanya, "Memang sengaja, Dungu." Dan setelah itu Rilla kembali melanjutkan langkahnya, merasa puas dengan hasil karyanya, yakni wajah memerah penuh amarah milik Noah. Noah hanya bisa mengacak rambutnya kasar. "Aishh, sialan." ***** TBC . . . . . Kim Taeya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD