Happy Reading
*****
"Katakan!"
Beberapa menit setelah Noah dan Rilla bercakap-cakap membicarakan tentang kemampuan Rilla tadi, akhirnya mereka berdua langsung kembali masuk ke dalam minimarket.
Mereka tak berbasa-basi lagi, dan segera menghampiri si laki-laki pekerjaan tadi.
Tentu saja awalnya pria itu memang terkejut di datangi detektif _lagi_ apalagi sorot mata dan raut wajah keduanya nampak tak ramah sama sekali seperti sebelumnya.
"Katakan yang sejujurnya apa yang kau tau!" Rilla mulai bertindak tegas bahkan mereka juga meminjam ruangan istirahat para pekerja di sana agar tak menjadi bahan tontonan orang-orang saat mengintrogasi.
"Maaf, tapi aku ...,"
"Kau berbohong! Ku pastikan kau akan ikut di tuntut jika melakukan kebohongan lagi!" ucap Noah dengan nada penuh ancaman. Kita lihat apakah laki-laki ini masih berani berbohong. Sebenarnya kalau memang berniat menyembunyikannya harusnya dia tutup mulut saja dan tak membawa-bawa nama teman apalah itu sedari awal. Ck, benar-benar amatiran dalam berbohong.
Laki-laki itu ketakutan, terlihat dari logat tubuhnya yang gelisah dan badannya yang mulai pucat, "Sebenarnya aku tak berniat menyembunyikan apapun, tapi ...,"
Brakk...
"Katakan yang jelas, temanmu telah menghamili gadis itu!" Rilla yang tak tahan dengan segala keleletan ini pun menggebrak meja di antara mereka cukup keras.
Mata laki-laki itu membulat sempurna, benar-benar terkejut dengan apa yang di ucapkan Rilla barusan. "Bagaimana kalian tau?" Laki-laki itu merasa tak pernah mengungkapkan apapun tapi detektif ini tau?
"Jadi kau tau jika temanmu yang membunuh Mita, dan kau mencoba menutup-nutupinya?" Noah memicingkan mata mengintimidasi dan menyimpulkan sendiri. Tapi laki-laki di depannya itu malah berdiri dari tempatnya sepertinya tak terima dengan apa yang Noah katakan.
"Tidak aku tidak tau! Aku tidak tau apapun, sungguh. Beberapa hari sebelumnya kita membahas tentang bayi yang di kandung Mita, memang benar bayi itu ingin di gugurkan, tapi setelah beberapa hari Mita malah meninggal dunia dan temanku tidak dapat di hubungi, aku sudah menanyakan banyak hal apa mungkin benar temanku yang membunuh, tapi dia tetap tidak membalasnya. Aku mohon jangan libatkan aku, aku tak tau apa-apa tentang ini." Laki-laki itu sudah sangat kalut saat menjelaskan, bahkan dia sampai hampir menangis.
"Ck, Tenanglah," Sudah pasti sebagai detektif Noah hanya akan mengancam agar laki-laki ini dapat berkata jujur, dan tak berniat apa-apa. "Ku bilang duduk!" Noah sampai harus ikut berdiri dan menepuk bahu laki-laki itu untuk segera duduk, mereka perlu berdiskusi lagi.
"Aku tidak tau apapun, tolong percaya padaku." Kekalutan yang terlihat jelas membuat Rilla hanya memainkan mengamati sambil memainkan lidah di dalam mulutnya, ck, dia saja seketakutan ini dan masih mau menutupi tadi.
"Kenapa kau tadi tak berkata jujur?"
"Aku hanya takut ikut terlibat, karena aku yang mengenalkan Mita kepada temanku." Sungguh laki-laki itu tak bermaksud apa-apa, ia juga tak menyangka temannya kan menghamili Mita, malah-malah mungkin membunuh? Sebenarnya untuk perkara membunuh ia masih belum percaya, karena ia tau betul dia bukan orang yang se-psychopath itu.
"Kau tenang lah, aku akan menjamin kau tidak akan terlibat jika kau bisa berkata jujur dan bisa di ajak berdiskusi." Noah tak tega juga melihat anak orang seperti itu, seperti bocah yang takut di sunat dua kali saking pucat nya.
Noah dan Rilla menunggu beberapa saat agar laki-laki ini setidaknya bisa sedikit tenang. Dan setelah dia terlihat tak sepucat tadi, Noah mulai kembali melanjutkan introgasi.
"Aku butuh nomor dan alamat rumah temanmu, dia tinggal di daerah sekitar sini bukan?"
Di tanyai sepeti itu oleh Noah, laki-laki pekerja ini mengangguk lemah, "Dia mahasiswa yang juga merantau yang aku tau dia menyewa sebuah kamar kos satu kilo meter dari tempat ini."
Noah dan Rilla mengangguk mengerti, dan Rilla mulai mencatat alamat rumah yang laki-laki itu sebutkan, juga Noah yang mengirimkan nomor juga ss-an percakapan dari ponsel laki-laki ini.
"Satu lagi, apa kau mengenal orang-orang ini?" tanya Noah seraya menyodorkan dua buah kertas berisikan gambar foto yang ia ambil dari saku jaket, foto itu adalah wajah korban satu dan korban dua sebelumnya.
Tapi laki-laki ini menjawabnya dengan sebuah gelengan yakin, "Aku tak tau mereka siapa," dia nampak jujur mengutarakannya.
"Baiklah, sudah cukup pertanyaan yang kami ajukan, jika ada perlu lain kami akan menghubungimu." ucap Rilla mengakhiri dan mulai mengemasi barang-barangnya di atas meja.
"Iya, tapi tolong berjanjilah tidak akan melibatkan aku," Laki-laki ini rupanya masih sangat takut, jadi Noah pun berjalan mendekat dan menepuk bahu kecilnya itu pelan beberapa kali.
"Tidak perlu takut, asal kau sudah berkata jujur."
Mendengar ucapan menenangkan Noah, laki-laki ini mengangguk mengerti.
"Kami permisi,"
Baru saja Noah dan Rilla hendak melangkah pergi, suara laki-laki di belakangnya yang menginterupsi membuat keduanya menghentikan langkah dan menoleh ke arah belakang.
"Aku tau kedua gadis di foto itu, aku sudah mengingatnya, itu adalah seorang pelayan di salah satu restoran dekat sini, aku beberapa kali pernah melihatnya di sana. Dan yang kedua dia adalah anak sma yang bekerja paruh waktu di toko bunga tidak jauh dari sini."
Noah dan Rilla hanya diam saja, jika itu pun kedua detektif ini sudah tau betul dari penyelidikan detektif sebelumnya, Rilla pikir jika laki-laki ini mengenalnya atau dekat dengan temannya itu, kemungkinan besar pembunuhnya memang si teman laki-laki ini.
"Ya terimakasih atas informasinya." Dan setelah mengatakan itu Noah pun melangkah pergi keluar dari ruangan istirahat para pekerja swalayan di ikuti ole Rilla di belakangnya..
*****
Setelah dari sana mereka mengendarai mobil kembali hendak menuju rumah yang di sewa teman laki-laki tadi, yang mereka tau bernama Amir.
Jajaran rumah atau bisa di bilang kamar-kamar sepetak itu nampak sepi, mungkin karena yang tinggal di sana adalah mayoritas mahasiswa dan siang hari begini para pelajar dan mahasiswa tengah menjalankan kegiatan di sekolah maupun kampus.
"Sepertinya dia tak ada di rumahnya." ucap Rilla tiba-tiba di tengah keheningan yang sedari tadi mendera.
"Kita coba dulu saja," balas Noah tanpa melihat ke arah Rilla dan memilih fokus menyetir mobil, sebab ia hendak memarkirkan mobilnya.
Rilla hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan pelan tanpa ada suara.
Setelah beberapa saat mobil Noah sepenuhnya terparkir rapi di pinggir jalan, mereka pun segera turun tanpa menunggu lagi.
Noah dan Rilla menghampiri salah satu rumah sepetak dengan nomor 12, itulah alamat yang di berikan oleh laki-laki pekerja tadi.
Rilla menggoyangkan kepalanya memberi arahan agar Noah yang mengetuk pintu saja, dan Noah pun mengangguk setuju.
Tangan Noah terulur dan mulai mengetuk pintu perlahan,
Tok.. Tok.. Tok..
Ketukan Noah berhenti, menunggu beberapa saat siapa tau mendapat respon dari dalam. Namun setelah merasa cukup menunggu tapi tak mendapat sahutan ganti Rilla yang bergerak untuk mengetuk. Wanita itu memang tak sabaran.
Tok.. Tok.. Tok..
Tok.. Tok.. Tok..
Ketukan Rilla lebih kasar dari pada Noah dan lebih lama, tapi tetap saja tak mendapat respon apa-apa.
"Aishh, sepertinya memang tak ada orang di dalam." Rilla melaporkan para Noah yang juga sudah berfikir seperti itu.
"Maaf," Suara yang terdengar dari arah belakang Noah dan Rilla membuat mereka berdua sontak menoleh, dan dilihatnya seorang pria yang mungkin berusia awal dua puluhan tengah berjalan pelan ke arah mereka. Sepertinya pria ini adalah salah satu mahasiswa yang tinggal di salah satu jajaran kamar-kamar ini.
"Kalian mencari Amir?" tanya pria dengan rambut cepak itu.
Rilla mengangguk, dan melangkah sedikit maju, "Ya, kami mencarinya, kau tau di mana dia sekarang?"
"Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku tak melihat batang hidungnya. Mungkin dia pulang kampung." ucap pria itu dengan raut wajah meyakinkan, sepertinya dia sama sekali tak berbohong.
"Benarkah?" Noah ganti yang menyahut.
"Mungkin saja, kalian bisa menanyakan kepada ibu kos di rumah paling ujung."
Rilla tersenyum canggung dan mencoba menghadang tubuh Noah, si dungu ini akan menakuti orang jika bertanya terlalu mengintimidasi seperti itu, "Baiklah, terimakasih atas infonya."
"Kalau boleh tau kalian siapa ya?" tanya pria itu sedikit penasaran dengan orang asing ini.
"Kami saudara jauhnya," Noah sengaja berbohong, agar orang lain tak perlu terlalu ikut campur, karena mereka belum memiliki bukti penuh apakah Amir pelakunya atau bukan.
"Ya begitu," Rilla ikut menyahut untuk menambah kesan meyakinkan.
"Okay lah, aku pamit pergi dulu."
Pria itu benar-benar pergi meninggalkan Rilla dan Noah.
"Coba kita tanya untuk memastikan," usul Rilla yang mana langsung mendapat persetujuan dari Noah.
"Aku juga berfikir seperti itu,"
Gladakkk..
Hanya saja seolah tuhan berpihak kepada mereka, meeka malah mendengar suara keras seperti benda jatuh dari dalam kamar itu. Noah dan Rilla sudah saling menatap, pemikiran keduanya sudah seperti tengah bertelepati dan sama persis.
"Dia di dalam?"
Tok.. Tok.. Tok..
Tanpa berfikir panjang Rilla langsung mengetuk pintu itu keras-keras, malah lebih keras dari sebelumnya.
Tok.. Tok.. Tok..
"Kau mau membuka pintu, atau kami dobrak?" Harusnya orang di dalam sadar jika ancaman Noah bukan sekedar omong kosong belaka, karena jujur saja Noah siap jika harus tanggung jawab jika pintu ini mau tak mau rusak.
"Dalam hitungan ketiga jika kau tak segera membuka pintu aku pastikan pintu ini benar-benar rusak." lanjut Noah dengan suara tegas yang sudah pasti tidak akan bisa di ganggu gugat.
"Noah," Rilla sedikit khawatir jika Noah sedang tidak bercanda.
"Menyingkir!" Perintah Noah dengan mata yang menajam.
"Ku bilang menyingkir!" Benar sudah Noah ingin merealisasikan ucapannya itu, dan meminta Rilla tak menghadap pintu.
Rilla hanya bisa menuruti kemauan Noah, ya bagaimana lagi, sepertinya tak masalah jika pintu rusak, ia juga akan ikut patungan mengganti nantinya.
"Satu," Tangan kanan Noah sudah terangkat dengan jari telunjuk yang mengacung.
"Dua," Ditambah jari tengah yang mengacung pula.
"Tiga,"
Cklekkk..
*****
TBC
.
.
.
.
.
Kim Taeya