Chapter 15 - Bukan Pelaku

1348 Words
Happy Reading ***** Cklekkk.. Melihat pintu yang mulai terbuka sedikit membuat Noah yang telah berancang-ancang hendak mendobrak pun memilih mengurungkan niatannya itu dan bergerak maju cepat. Brakk... Noah mendorong pintu itu keras-keras hingga makin terbuka lebar menampilkan sosok pria yang berusia awal dua puluhan yang mereka duga adalah Amir. "Ada apa ini?" tanyanya takut-takut apalagi pintu rumahnya di buka paksa seperti itu. "Amir! Kenapa tak mau membuka pintu?" serobot Rilla yang ikut menyusul untuk memasuki kamar sewa itu. Rilla juga telah menutup pintu tadi rapat agar orang-orang di luar tak melihat apa yang akan Noah dan Rilla lakukan. "Kenapa kalian seperti ini? Dan bagaimana kalian tau namaku?" Amir tentu merasa takut, kedua orang ini sangat dominant dan pintu sudah di hadang, ia jadi tak bisa kabur kalau terjadi apa-apa. Noah melangkah cepat dan langsung mencekal kuat kerah baju _lusuh_ yang di pakai Amir. Noah mendorong Amir hingga punggung sang empu menubruk kerasnya dinding. "Jawab! Kenapa kau tak membuka pintu?" Amir yang sudah sangat takut dan panik itu seolah linglung dan bingung harus menjawab apa, bibirnya hanya memucat dan bergetar, "Aku-aku tak mendengarnya," ucapnya dengan terbata-bata. "Jadi kau tuli hah? Atau kau sengaja tak mau membuka karena takut jika ada yang membahas tentang pacarmu Mita," Rilla ikut maju untuk memulai memanas-manasi pria ini agar membuka suara. Mendengar nama Mita di sebut, Amir sontak membulatkan mata lebar-lebar dengan wajah yang menegang tak dapat tertutupi, namun dia masih berusaha menyangkalnya, "Mi-Mita siapa?" Tidak terang-terangan saja Noah dan Rilla tak akan tertipu, apalagi jika sudah nampak begitu jelas seperti ini, tentu saja hal mustahil bagi Noah dan Rilla akan percaya. "Kau berpura-pura bodoh rupanya," Rilla tersenyum culas, sisi medusa-nya sengaja akan ia tunjukan jika pria ini masih berpura-pura bodoh. Selama menjadi detektif beberapa tahun terakhir Rilla memang sudah tak asing dengan sosok-sosok macam Amir ini, bahkan lebih dan Rilla sudah memiliki trick tersendiri untuk membuat para pelaku atau orang yang di curigai mau membuka mulut dengan sendirinya. "Aku tak tau Mita," Ck, Amir tetap berusaha keras menyangkalnya, yang mana hal itu membuat Noah geram dan makin mengetatkan cekalan-nya pada kerah baju Amir. Rilla bergerak maju dan menepuk bahu Noah agar bisa sedikit lebih santai menghadapi Amir, karena jujur saja dari gelagat yang di tunjukkan pria ini membuatnya sedikit ragu jika dia adalah pelakunya. Pelaku pembunuhan se-sadis itu tak mungkin akan bersikap ketakutan gemetar macam itu. "Kau yang menghamilinya!" ucap Rilla dengan nada penuh keyakinan, sengaja ia tak bertanya dan malah seolah sudah menetapkan jika benar Amir telah melakukannya. "Tidak!" Amir spontan berteriak keras-keras dengan mata lebar mendengar tuduhan itu. Meski sebenarnya jantungnya sendiri sudah berdegup tak karuan. "Kau ingin bayi itu mati!" Rilla kembali berucap, dan makin bersemangat melihat respon yang Amir tunjukan. Seperti untuk menghamili Amir memang melakukannya, tapi untu membunuh, Hmm, masih pelu dipertanyakan. "Ti-tidak," Entah kenapa Amir malah berubah gugup padahal beberapa detik yang lalu berbicara lantang. "Atau kau yang ingin Mita mati? Kau yang membunuhnya!" Pandangan Amir lurus ke depan nampak kosong. Dengan ucapan Rilla yang ketiga, Amir seolah berada di puncaknya. Tubuh pria itu bergetar hebat, dan mulai menggeleng kuat-kuat. "Tidak, aku tidak melakukannya. Aku tak membunuh Mita, tidak!" Melihat bentuk Amir yang makin mengenaskan saja itu membuat Noah pun memutuskan untuk melepaskan cekalan di kerah baju Amir, membuat sang empu sontak terjatuh luruh ke bawah. Noah menahan Rilla yang hendak bergerak makin maju saja, dan memberi intrupsi dengan tatapannya. Melihat pria ini menangis tentu saja mereka menjadi iba dan _mulai_ tak mencurigai jika dia adalah tersangka lagi, tapi mereka tetap perlu memastikannya. Noah berjongkok untuk melihat keadaan Amir makin jelas, sebenarnya pria ini bisa di bilang sudah cukup mengenaskan sebelumnya, pakaian lusuh, wajah kusut, dan di tambah seperti ini dia makin cukup mengerikan saja. "Jika kau tak membunuhnya, kenapa kau tak mau membuka pintu?" tanya Rilla berusaha sedikit lebih tenang dan tak kasar seperti tadi. Amir yang di beri pertanyaan lagi juga menggelengkan kepalanya kembali beberapa kali, "Ak-aku, hanya takut?" "Kenapa kau takut jika tak membunuhnya?" Mata Noah menyipit masih sedikit mengintimidasi. "Aku, aku hanya-hanya ..., tapi aku telah membunuh anaknya, hiks. Aku membunuhnya," Amir kembali bersikap _kalut_ seperti itu, mulai berteriak-teriak seraya menjambak rambut sendiri dan memukul-mukul kepala. Noah menoleh ke samping atas di mana Rilla berdiri, alisnya di kerutkan memberi tau jika dia tengah bingung. Pasalnya dari hasil autopsi yang sudah di lakukan tidak ada keterangan yang mengatakan jika Mita sedang mengandung atau tengah keguguran kala itu. "Jelaskan pada kami, kami adalah detektif," ucap Rilla yang mana langsung mendapat perhatian penuh dari Amir, yang awalnya hanya terus menyakiti kepalanya, "Kau dapat bercerita dengan jelas tanpa di tutup-tutupi, kami akan melindungi mu," Apa yang di katakan Rilla nyatanya adalah sebuah kebohongan belaka, jika Amir terbukti bersalah mereka sama sekali tak akan bisa menolong, apalagi status Noah dan Rilla hanya sebagai penyidik. Detektif memang di perbolehkan untuk berbohong seperti ini agar memberi kelegaan _pelaku_ dalam bercerita. "Aku tak membunuh Mita!" cicit Amir dengan suara sangat pelan. "Kami persilahkan untuk kau memulai bercerita," ucap Rilla, sedangkan Noah hanya menunggu dengan harap-harap tertentu. "Aku-aku dan Mita hanya memulai hubungan tanpa status, dan setelahnya aku membuat kesalahan dan ...," "Kau memperkosanya?" Noah bertanya lantang terkejut, ia pikir kalaupun mereka melakukannya atas dasar suka dengan suka. Amir hanya bisa menundukkan kepalanya dalam, "Sepertinya iya ..., dan aku menyesal telah melakukannya, aku saat itu mabuk sangat berat, dan tak ingat apapun setelahnya. Hiks." Ia tertunduk makin dalam saja. "Lalu bagaimana kau dan temanmu yang juga bekerja dengan Mita bisa tau kalau dia hamil?" tanya Noah seraya mengangkat kepala pria di depannya itu agr kembali terdongak, "Kau tau temanku?" Amir balik terkejut mengetahuinya. "Itu tidak penting, lanjutkan," Noah menepuk punggung Amir cukup keras. "Em, temanku mengatakan jika Mita mual-mual di tempat kerja, dan aku berfikir dia telah hamil." "Lalu aku-aku berfikir untuk membunuh bayinya, tapi Mita malah mati terbunuh. Dan aku takut, aku juga menyesal bayiku benar-benar mati. Meski awalnya itu yang aku inginkan sebab aku masih mahasiswa, tapi setelah semuanya terjadi aku menyesal, aku masih mencintai Mita dan anak itu aku-aku juga ingin dia tetap ada di dunia ini." Pandangan Amir lurus ke arah mata Rilla dan sesekali pada Noah, seolah membuktikan tak ada keraguan di sana, pria ini berkata sejujurnya. Mendengar cerita itu membuat Rilla tak dapat menahan helaan nafas lelahnya, astaga, karena sepertinya ada kesalah fahaman di sini. "Kau tau Mita sebenarnya tidak hamil," ucap Rilla sungguh-sungguh, dan apa yang ia lontarkan itu bukan hanya kebohongan belaka. "APA?" Saking terkejutnya pria ini _Amir_ sampai bangkit dari tempatnya untuk berdiri. "Tidak, tidak mungkin. Dia pasti hamil saat itu, aku ...," "Jangan bercanda, kau bahkan tak ingat telah melakukannya atau tidak." sahut Noah, karena ia sendiri juga melihat di hasil autopsi jika tak ada tanda-tanda kehamilan pada mayat korban. "Tapi, tapi aku-aku sudah ...," Amir nampak makin kalut saja, ia mulai berjalan mondar-mandir ke sana kemari. "Bukannya baik jika kau tak bersalah?" Noah mengerutkan dahi bingung melihat sikap aneh pria ini makin menjadi-jadi. "Tapi-tapi aku sudah, Wuokkk." Secara tiba-tiba Amir memasukkan jari tangannya ke dalam mulut seperti berusaha memuntahkan diri. Dan hal itu sukses membuat Noah dan Rilla membulatkan mata terkejut. Hei, kenapa pria itu? Fikiran keduanya sudah tertuju pada Amir yang mungkin telah menelan sesuatu, atau menelan obat. "Katakan apa yang kau telan?" Noah ikut panik dan bergerak maju memiting kerah belakang Amir. "Aku tak menghamilinya, aku tak bersalah, jadi untuk apa aku mati?" Amir tidak memperdulikan Noah dan tetap berusaha memuntahkan isi perutnya. "Kau menelan apa?" Noah dan Rilla merasa frustasi saat ini, mereka harus berbuat apa, "Aku-aku hanya ...," Secara tiba-tiba tubuh pria ini mulai mengejang, karena Noah tak dapat menahan dia pun terjatuh berbaring di lantai, "Hei, hei," "Di malam kejadian aku meminta orang agar Mita meminum obat peluruh janin dan mungkin dia ...," Hanya kata itu yang sempat terlontar dari bibir pria ini, karena setelahnya kejang-kejangnya makin menjadi di tambah mulutnya yang kini mulai mengeluarkan busa. "Siapa, siapa yang kau suruh?" Pertanyaan penuh kepanikan Noah tentu saja sudah tak di gubris. Rilla sendiri sudah sibuk dengan ponselnya, ia hendak menghubungi ambulan untuk segera datang kemari, "Aish sial," ***** TBC . . . . . Kim Taeya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD