Chapter 13 - Penglihatan (2)

1527 Words
Happy Reading ***** flashback __ Suasana kelas taman kanak-kanak itu nampak Ricuh, tepatnya setelah ada kejadian di mana seorang anak perempuan dengan rambu ikal di kuncir dua di katakan sebagai pencuri. "Hiks, enggak, Nia enggak mencuri," tangisan anak itu makin terdengar keras saja seiring teman-teman yang lain terus bersorak 'pencuri-pencuri' berkali-kali. "Nia nggak mencuri." Anak itu berusaha menyangkal apa yang di tuduhkan semua orang, tapi sebuah kertas amplop kosong yang tadi di temukan di tas gambar unyil milik Nia membuat semua orang tak mempercayai ucapannya sama sekali. Rilla yang notabene adalah anak baru ditaman kanak-kanak itu pun hanya bisa diam saja mengamati, bahkan nama-nama teman sekelasnya saja ia belum hafal sepenuhnya. Tapi melihat Nia menangis seperti itu membuat Rilla menundukkan kepala merasa kasian, seragam, sepatu, dan tas Nia memang yang paling buruk di antara anak-anak lain, tapi tidak seharusnya Nia di perlakukan seperti itu, bukti amplop kosong saja menurut Rilla belum cukup. Anak perempuan dengan bando pink mulai berjalan mendekati Nia, dan tiba-tiba anak itu malah mendorong bahu Nia kasar hingga sang empu jatuh ke bawah, "Dasar pencuri!" teriaknya sambil mendorong tadi. Rilla yang melihatnya sontak ikut melangkah maju, meski ia anak baru ia tak akan tega melihat teman lain diperlakukan semena-mena, Rilla hendak mencegah karena anak perempuan dengan bando pink atau yang Rilla tau bernama Sinta itu akan menendang Nia yang sudah terjatuh itu, "Sinta ...," Skat.. Skat.. Mata Rilla terpejam erat ketika tangannya menyentuh lengan Sinta hendak mencegahnya menyakiti Nia. Rilla melihat sesuatu di otaknya seolah berputar suatu kejadian, di mana saat Sinta mengambil amplop dari ruang guru dan mengambil uangnya sedangkan amplop kosongnya di letakkan di tas Nia. Skat.. Skat.. Bayangan kejadian itu langsung berhenti saat tangan Rilla di tepis oleh Sinta kasar, "Ada apa denganmu?" Sinta tak suka dengan tingkah Rilla anak baru yang lancang terhadapnya, "Kau ..." "Kau pencuri?" Rilla membuka matanya setelah beberapa saat memahami situasi, "Sinta kau yang mencurinya?" tanya Rilla lagi membuat semua teman sekelasnya terdiam kebingungan, begitupun Sinta yang hanya diam saja nampak sedikit terkejut tapi masih berusaha menutupinya. "Apa maksudmu?" tanya Sinta seolah-olah tak mengerti padahal ia tau betul apa yang di maksudkan Rilla, Sinta benar-benar yang mencuri uang dan sengaja membuat Nia yang menerima imbasnya. "Kamu mencuri uangnya, bukan Nia!" Rilla memang bisa di bilang cukup berani untuk ukuran anak baru. "Hei Rilla, jangan berbicara omong kosong ya, kau itu masih anak baru." Salah seorang anak lain yang tadi berdiri di samping Sinta mulai maju dan berteriak kepada Rilla, sepertinya itu teman Sinta yang sengaja membela temannya. Rilla menggeleng tak setuju, ia berkata jujur dan bukan omong kosong belaka saja, "Tapi dia yang mencuri," tangan Rilla terangkat menunjuk wajah Sinta. "Ada apa ini?" Itu suara ibu guru wali kelas mereka, guru itu datang setelah tadi sempat pergi keluar, sebenarnya guru itu juga sedang mengusutnya. "Ibu Rilla menuduh Sinta mencuri, padahal jelas-jelas yang mencuri adalah Nia bu," adu teman Sinta tadi spontan, karena mungkin berfikir ibu guru akan mempercayainya, lagi pula semua orang sudah melihat amplop di dalam tas Nia. Rilla yang di tatap penuh cemoohan oleh semua orang pun membuat matanya mulai memanas, apalagi ibu guru, tatapannya juga seolah mengatakan tidak percaya akan ucapan Rilla, mungkin karena Sinta adalah salah satu anak orang kaya dan donatur di taman kanak-kanak itu. "Kenapa kau berkata seperti itu Rilla? Apa kau memiliki bukti?" tanya ibu guru seraya mengelus kepala Rilla pelan. "Aku melihatnya ibu guru, aku melihatnya. Hiks." Tangis Rilla pecah begitu saja tanpa dapat ia bendung, semua orang tak mempercayai bahwa ia melihat memori Sinta yang telah mengambil uang. "Rilla jangan menuduh teman seperti itu, Nia sudah terbukti bersalah karena amplopnya ada di tas Nia." ucap ibu guru membuat tangis Nia dan Rilla makin pecah. "Aku tak berbohong ibu guru, aku berkata jujur. hiks." Rilla memang tak memiliki bukti tapi ia jujur. "Sudah-sudah, ayo ikut ibu ke kantor guru dulu, Nia sama Sinta ikut ibu juga." Guru itu juga sebenarnya lumayan bingung mengatasinya, tapi sepertinya ia akan memanggil orang tua Rilla juga, "Hiks, ibu guru percaya sama Rilla?" Rilla kecil menghapus air matanya yang tidak mau berhenti mengalir itu. "Iya nanti kita bicarakan di ruang guru ya," Setelah itu ketiganya, yakni Rilla, Nia, dan Sinta di bawa ke ruang guru, dan orang tua mereka juga di panggil. Hingga akhirnya keputusan tetap berpihak pada Sinta, dan Nia terbukti bersalah juga Rilla yang di katai berbohong, mungkin karena kepala sekolah takut jika donatur terbesar taman kanak-kanak itu hilang jika tak membela anaknya. Dan hari itu ketiganya di pulangkan lebih cepat, Rilla masih saja terisak menangis sambil di tuntun mamanya menuju mobil. "Mama, Rilla nggak bohong, Rilla berkata jujur, hiks." Mama Rilla hanya bisa menghela nafas beberapa kali, lalu ia mulai berjongkok di samping anak perempuannya itu, dan mulai menghapus air mata anaknya yang luruh di pipi itu perlahan. "Iya sayang mama percaya dengan Rilla." Mama Rilla tersenyum pedih melihat anaknya, ia tidak tega. "Tapi kenapa ibu guru dan semua orang tak mau percaya dengan Rilla?" "Tidak apa-apa sayang, yang terpenting itu Mama percaya. Nanti biar mama yang ganti uangnya agar Nia temanmu itu tidak terbebani. Okay," Mama Rilla juga tau betul jika Nia tak bersalah, apalagi dilihat dari penampilannya orang tua Nia bukan dari keluarga mampu jadi ia memutuskan untuk menggantinya. Mama Rilla mengelus puncak kepala anaknya sayang, ia tau jika anaknya itu memiliki kelebihan spesial seperti suaminya _yang telah meninggal dunia_, jadi ia percaya betul. Rilla menuruni seratus persen gen papanya, yakni dapat melihat masalalu seseorang. "Sayang, setelah ini jangan pernah langsung berbicara apapun yang kau lihat, bisa? Meski itu sebuah kebenaran Rilla tidak boleh langsung bercerita dengan siapa-siapa, Rilla harus mencari tau dulu dan harus memiliki bukti, agar semua orang percaya sama Rilla." "Tapi ma," "Sayang, semua orang tak sama seperti mama, ada yang akan percaya ada yang tidak. Jadi mama mohon agar Rilla menuruti apa yang mama minta ya? Mama hanya tidak ingin terjadi apa-apa denganmu kedepannya." Dengan air mata yang masih mengalir, Rilla pun mengangguk, dan berjanji dengan dirinya sendiri tak akan mengatakan kepada siapapun apa yang ia tau dan lihat di bayang memori masalalu seseorang yang ia sentuh. ____ Flashback off ***** "Jadi bagaimana?" sela Noah setelah mereka memutuskan duduk di sebuah meja dan kursi yang di sediakan minimarket tadi, namun terletak di emperan minimarket. Helaan nafas yang keluar dari mulut Rilla menandakan jika dirinya antara siap dan tak siap mengatakan, ia takut jika Noah tak akan percaya dengan apa yang ia katakan seperti orang-orang dulu saat ia masih kecil. "Em, sejujurnya aku memiliki kelebihan sepertimu," harusnya Noah percaya bukan dengan cerita Rilla, Rilla saja percaya dengan adanya kemampuan yang Noah miliki. "Aku dapat melihat masa lalu saat bersentuhan dengan orang." Noah yang awalnya sudah membulatkan mata terkejut, makin terkejut saja saat Rilla menjelaskannya lebih detail. "Kau serius?" "Untuk apa aku berbohong, ishh." Ingin rasanya Rilla memukul kepala pria ini, mengapa tanggapannya seperti itu. Tatapan Noah juga semula ke arah Rilla pun mengubah pandanganya menjadi ke arah jalanan yang ramai kendaraan berlalu lalang itu. "Lalu kenapa kau tak pernah mengatakan apapun kepada orang-orang selama ini?" tanyanya lagi. "Untuk apa mengatakannya? Untuk mempermalukan diri, atau agar bisa di pandang lebih. Tanpa perlu mengatakan apapun, asal aku bisa menyelamatkan hidup orang-orang di sekitar aku sudah merasa cukup." Rilla ingat bagaimana masa kecilnya yang selalu di maki hanya karena ia berkata jujur akan apa yang ia lihat dari masalalu orang-orang. Karena hal itulah yang membuatnya sangat takut jika menceritakannya. "Lalu kenapa kau mau memberitahuku?" Noah membenarkan posisi duduknya, karena cukup merasa antusias. Siapa yang tak antusias jika mengetahui ada orang yang ternyata memiliki kelebihan macam dirinya, meski kemampuannya tak sama. Rilla sontak mendelik mendengar pertanyaan Noah itu, "Bodoh! Kau lupa, kau memaksaku tadi." Wanita itu hampir saja tak dapat menahan pukulannya. Benar juga, memang Noah tadi yang memaksa Rilla untuk berkata jujur. "Tapi aku juga berfikir kau pasti akan percaya dengan apa yang katakan. Karena aku sepenuhnya percaya akan kemampuanmu." Mata Rilla dan Noah pun bertemu, ketika Noah menolehkan kepala. Mereka saling menatap cukup lama tanpa sadar, hingga beberapa saat Noah yang tersadar pertama kali. Tiba-tiba Noah sedikit gugup, tapi ia berusaha menyembunyikannya dari Rilla. "Percaya diri sekali," Eh, "Kau tak percaya?" Rilla sampai mencondongkan badan mendekati Noah karena hal itu. "Atas dasar apa aku tak percaya? Aku tau bagaimana rasanya orang-orang mencemooh meski aku berkata jujur. Tenang saja aku percaya padamu," Huft, Rilla akhirnya dapat bernafas lega. "Syukurlah." Entah kenapa baru kali ini ia merasakan rasa lega di dadanya, setelah bertahun-tahun ia hidup hanya dirinya dan sang mama yang tau tentang kemampuannya, dan hari ini ia menceritakan kepada orang lain, rasa sesak yang seolah ia tanggung kian menguap. "Jadi selama ini kau juga percaya akan kemampuanku?" tanya Noah balik, ia kira yang percaya seratus persen dengan kemampuannya hanya Aben, komisaris Miller, dan Putri saja. Rilla mengangguk pelan, "Ya." "Lalu kenapa tak pernah membelaku?" Hampir setiap saat ketika Noah melihat bayangan kematian dia selalu adu mulut dengan orang-orang, dan semuanya tidak pernah percaya _selalu menentang Noah_. Padahal kalau ada satu orang yang membelanya saja, Noah sudah sangat senang. "Haha, untuk apa? Aku malah suka kau menderita." Rilla tersenyum miring setelahnya. Mata Noah melotot sempurna, "Aish, sial. Kau tetap medusa." ***** Tbc . . . . . Kim Taeya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD