KETAKUTAN KARTIKA

1024 Words
"Apa ini, Nak? Uang dari mana untuk membeli semua pakaian ini?" tanya Andini saat melihat Zalina masuk dengan susah payah membawa banyak belanjaan di tangannya. Bahkan ada seorang lelaki yang ikut membantu membawa belanjaan Zalina. "Saya permisi dulu, Mbak. Ibu, saya Soleh ... supir pribadi Tuan Ethan. Saya mengantar Mbak Zalina pulang. Mari, Bu ...." "I-iya, terima kasih Pak." Zalina pun membawa semua belanjaan yang tadi Ethan belikan ke dalam kamarnya diikuti langkah Andini yang semakin penasaran. "Lina, kau belum menjawab pertanyaan Ibumu ini. Uang dari mana?" cecar Andini lagi. "Ini semua Pak Ethan yang beli. Inventaris kantor. Kalo aku nggak lolos masa percobaan ya diambil lagi semua. Ya nggak apa-apa, Bu. Aku kan jadi nggak perlu beli baju baru untuk ke kantor. Tadi aja, aku dihina orang, Bu." "Siapa yang menghinamu? Kurang aja betul. Belum tau kalau ibumu ini jago berantem?" "Ish, ibu mah barbar. Tadi, aku meeting di luar. Sekretaris klien Pak Ethan itu bilang aku kampungan, trus nggak pantes jadi sekretaris. Ya tadinya aku mau lawan ... tapi, setelah kupikir memang penampilan aku tadi nggak banget deh, Bu." "Lalu, ini ganti baju? Bosmu yang beliin?" "Iya, Bu." Andini menghela napas panjang dan mengembuskanny perlahan. Ia membelai rambut putrinya itu dengan penuh kasih sayang. Meski dulu kehadirannya sempat ia sesali, tapi toh bayi itu kini sudah beranjak dewasa dan justru Andini menyesal sempat mengingkari keberadaannya. ** "Om, anak yang ada dalam kandunganku ini anak Om. Apa Om lupa malam itu Om yang sudah merenggut kehormatan saya?! Saya mohon Om. Saya nggak keberatan kalau Om menikahi saya secara siri. Setelah anak ini lahir Om boleh menceraikan saya." Albert menatap gadis di hadapannya ini. Ia tidak pernah lupa jika memang ia yang menodai kehormatannya. Ia sadar jika saat ia meniduri gadis itu masih perawan. Tapi, bagaimana bisa ia menikahinya? Lagi pula, gadis itu tinggal bersama mami Karla yang notabenenya seorang mucikari. Tidak mungkin jika gadis itu tidak pernah melakukan hubungan badan dengan lelaki lainnya. "Saya nggak yakin ini anak saya. Kau tinggal bersama mami Karla, jadi-" "Saya memang tinggal bersama Mami Karla. Jika Om pikir saya tidur bersama lelaki lain, saya nggak menyangkal juga. Tapi, saya nggak pernah lupa memakai pengaman. Lelaki yang tidur selalu memakai kondom." "Hahahaha ... Andini, kau pikir aku ini anak kecil yang mudah dibohongi? Ini, bawa uang ini untukmu. Bantuan dariku untuk membesarkan anakmu, sekarang pergi dari hadapanku sebelum aku memanggil security!" Albert mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan melemparkannya ke wajah Andini. Gadis muda itu hanya bisa mengepalkan tangannya dan beranjak pergi tanpa mengambil selembar uang pun yang diberikan oleh Albert. *** "Bu, malah ngelamun," kata Zalina saat sang ibu hanya diam membisu. "Lina, kau tau kan bagaimana susahnya ibu membesarkanmu? Ibu hanya nggak mau nantinya kau akan merasa kecewa. Hati- hati dalam memilih teman dan jangan mudah jatuh cinta pada orang kaya." Zalina menghela napas panjang dan menepuk punggung tangan sang ibu perlahan. "Bu, Lina tau kalau ibu khawatir. Tapi, yakinlah Lina bisa menjaga diri, Bu." "Tapi, ini LA RUE COSMETIC, Lina." "Ada apa sebenarnya dengan tempat kerjaku? Apa ada hubungannya dengan ayahku?" Andini langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak, bukan itu. Sudahlah nggak usah dibahas lagi. Sekarang mandi, ibu mau siapkan makan malam dulu," kata Andini sambil berlalu. Sementara Zalina hanya menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Selalu seperti itu. Setiap kali ia bertanya mengenai ayahnya, Andini selalu menghindar. Bukannya Zalina tidak tau jika ibunya dulu adalah seorang wanita penghibur ... p*****r, kupu-kupu malam. Tapi, Zalina tidak mau menghakimi. Yang ia tau, ibunya sudah berhenti saat ia berusia 10 tahun. Sebagai gantinya, sang ibu bekerja sebagai pelayan di cafe milik mami Karla. Tidak usah tanya bagaimana ia menghadapi perundungan dari kawan-kawannya. "Zalina anak haram! Zalina anak p*****r!" "Jangan dekati anak itu, dia anak pembawa sial! Makanya nggak punya bapak!" Kalimat ledekan semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Zalina. Sampai hinaan dan makian itu berhenti saat ia meraih juara karya tulis ilmiah tingkat Nasional. Tetangga- tetangga mulai membicarakan hal yang positif tentangnya. Tapi, Zalina juga ingin sekali bisa mengenal siapa ayah biologisnya. Ayah yang sudah membuatnya ada di dalam rahim sang ibu. Yang sudah membuatnya lahir ke dunia ini. 'Sampai kapan Ibu akan menyembunyikan semua ini dariku?' bisik Zalina dalam hati. Bergegas dirapikannnya semua pakaian, sepatu dan juga tas yang sudah Ethan belikan untuknya. Dalam hati ia bertekad untuk bekerja keras dan berusaha untuk tidak mengecewakan bosnya itu. Setelah semua barang-barang itu rapi di dalam lemari, Zalina pun bergegas mandi. Ia tidak ingin membuat Andini menyiapkan semua sendirian. Namun, saat ia sudah selesai mandi, ternyata hidangan sudah tertata rapi di atas meja makan. "Ibu masaknya cepet bener sih, kan aku baru aja mau bantu," protesnya. "Hanya tumis tauge sama telur dadar aja, kok. Ya udah kamu makan, nanti cuci piriingnya. Ibu malam ini kan kerja." Zalina memegang tangan sang ibu. "Bu, bisakah ibu berhenti? Lina nggak mau ibu sakit. Walau bagaimana bekerja di tempat hiburan itu kan bikin sakit, Bu. Asap rokok, dan juga lelaki hidung belang." "Ibu bukan gadis muda lagi, Lina." "Tapi, tetap saja. Pokoknya Lina mau ibu berhenti dari pekerjaan ibu sekarang. Lina kan sudah bekerja, dan gaji Lina cukup untuk kita hidup berdua saja." Andini menghela napas panjang, "Kau sendiri yang bilang masih dalam masa percobaan. Bagaimana kalau tidak lolos?" tanyanya. Zalina menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ibu percaya sama Lina. Lina nggak akan mungkin dipecat atau nggak lolos." "Kau bukan Tuhan yang bisa mengetahui kejadian hari esok, Lina." "Tapi, apa salah kalau aku berusaha sebaik mungkin?" Andini menghela napas panjang, entah dari mana sifat keras kepala putrinya itu berasal. Mungkin dari keluarga Albert. Zalina memang sejak kecil keras kepala dan tidak mengenal kata takut jika ia merasa tidak bersalah. "Bu ... Lina mohon. Jangan bekerja di sana lagi. Kalau perlu Lina akan meminta kepada Mami Karla supaya Ibu tidak usah bekerja di sana lagi." "Tapi, bagaimana jika kau dipecat?" "Ucapan itu doa, Bu. Kalau pun aku dipecat kita masih bisa usaha yang lain. Lina juga akan mencari pekerjaan lain sebagai antisipasi jika tidak lolos nanti. Yang paling penting, Ibu berhenti kerja. Sudah cukup selama ini Ibu banting tulang bekerja siang malam untuk Lina. Sekarang giliran Lina yang mencari nafkah untuk Ibu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD