SESUATU YANG TIDAK BENAR

1005 Words
"Kamu bisa lembur malam ini, Lina?" tanya Ethan saat jam makan siang. Zalina mengerutkan dahinya, selama dua bulan ini ia bekerja dengan Ethan, bosnya itu belum pernah memintanya lembur. "Ada apa, Pak?" tanya Zalina. Sebelumnya Ethan tidak pernah menyuruhnya lembur. "Kita akan menjamu klien kita. Kontrak ratusan juta yang akan segera datang tidak bisa disia-siakan begitu saja. Ini klien besar yang siap bekerja sama untuk memasarkan produk kosmetik perusahaan kita ke luar negeri, jadi tidak boleh ada cela, apalagi membuat kecewa. Kita minum sebentar saja," kata Ethan. Zalina mengangguk setuju tanpa bisa beralasan apa pun lagi. Dengan mobil mewah milik Ethan, mereka pergi menuju salah satu bar yang berada di kawasan Mangga besar. Klien asal Amerika yang katanya harus kembali ke negaranya esok hari tampak bersemangat menghabiskan malam terakhir di Indonesia. "I like this place," kata si bos kepada kliennya. "It must be nice," kata klien asal Amerika itu menanggapi. Zalina memang mampu berbicara dalam beberapa bahasa. Ethan merasa tidak sia-sia memiliki sekretaris seperti Zalina. Sebuah lift yang berjalan cukup lambat membawa mereka bertiga. Zalina langsung mendekati seorang pelayan wanita yang mendatanginya dengan senyum sopan. "Selamat datang. Untuk berapa orang?" sapa wanita itu pada Zalina. "Tiga orang. Saya minta meja di luar ya. Smoking room." "Baik, Bu. Silakan," Zalina mempersilahkan klien dan bosnya untuk mengikuti langkahnya, sedangkan Zalina sendiri mengikuti langkah wanita itu. Zalina sudah mencari tahu sebelumnya jika kliennya adalah perokok aktif, karenanya dia meminta meja yang bisa digunakan sebagai tempat merokok. Pemandangan kota Jakarta di malam hari membuat suasana malam makin menarik. Tapi sosok lain juga berhasil mencuri perhatian Zalina malam itu. Ethan, yang terkenal angkuh ternyata mampu tertawa geli mendengar lelucon kuno yang dia lontarkan dengan asal. Sorotan mata Ethan yang terus mengikuti setiap gerak gerik Zalina, membuat banyak tanda tanya di hati Zalina. Dia senang sekaligus risih dengan tatapan yang sulit diartikan itu. Tetapi Zalina hanya bisa tersenyum semanis mungkin menanggapinya. Jabatan mereka yang terlampau jauh mengurungkan niatnya untuk bertanya apalagi memaksa. Sebotol red wine dari tahun 2010 dengan namanya yang panjang dan sulit diucapkan dipesan untuk menghangatkan acara berbincang di malam tanpa purnama. Tidak ada bulan maupun bintang yang bisa terlihat dengan mata telanjang dari bar yang terletak di bagian roof top gedung itu. Tetapi entah karena obrolannya yang menarik atau memang karena suasana malam yang luar biasa, sebotol wine ternyata masih kurang untuk mengiringi malam yang panjang. "Pesankan satu botol lagi," kata Ethan menyuruh Zalina untuk memesan satu botol wine lagi ketika botol wine sebelumnya sudah habis. "Baik, Pak," jawab Zalina, sigap. Sayangnya, minuman alkohol tidak terlalu berteman baik dengan Zalina. Gadis itu memang tidak terbiasa meminum minuman beralkohol. Gadis itu menjadi sedikit agresif, seperti bukan Zalina. Maklum ini adalah kali pertama Zalina minum minuman yang memiliki kadar alkohol. "Kita pulang ke rumahmu?" tanya Ethan pada Zalina setelah selesai mengantarkan klien mereka kembali ke hotel. "Aku mau pulang ke hatimu, itu pun kalau Anda masih punya hati," kata Zalina dengan berani. Entah mengapa Zalina bisa seberani itu kepada Ethan, mungkin karena pengaruh alkohol yang sempat ia minum tadi. Ethan tertawa geli melihat kelakuan sekretarisnya itu."Kita pergi ke tempatku saja, ya," bisik Ethan pada Zalina yang duduk di sebelahnya. Ethan itu melirik pada kaca spion sebentar, sebelum dia kembali mengamati jalanan Jakarta yang sudah mulai sepi. Malam ini Ethan memang mengajak Pak Soleh supir pribadinya karena ia tau jika ia minum tidak akan kuat untuk menyetir. "Hmm... apa yang akan kita lakukan di tempatmu?" tanya Zalina setengah sadar. "Apa saja," kata Ethan berbisik di telinga Zalina. Sengaja Ethan menurunkan volume suaranya agar sopir itu tidak mendengar ucapannya. "Contohnya?" Ethan mengaitkan tangannya di pinggang Zalina lalu menarik tubuh wanita itu agar lebih dekat dengan tubuhnya. Dikecupnya bibir bagian bawah milik Zalina. "Seperti ini," kata Ethan setelah mencium bibir Zalina yang kemerahan. Zalina mendorong tubuh Ethan perlahan. "Kamu pikir aku wanita seperti apa?" "Memang Kamu wanita seperti apa?" Zalina tersenyum manis. "Wanita yang akan membuatmu tergila-gila. Karena hanya saya sekretaris yang bisa bertahan dengan Anda, bukan?" "Oh ya? Aku meragukan itu. Aku bukan orang yang mudah jatuh hati pada wanita, apalagi sampai tergila-gila." "Itu karena kamu belum tahu bagaimana aku begitu memesona," kata Zalina asal bicara. Saat ini gadis itu memang sudah dipengaruhi oleh alkohol. Sambil tertatih, Ethan membawa Zalina menuju apartemennya. Sebenarnya Ethan bisa mengantarkan Zalina ke rumahnya. Tetapi, apa yang nanti akan ia kataka jika ibunya bertanya? Jadi, ia memutuskan untuk membawa Zalina ke apartemennya. Tidak mungkin ia membawa Zalina ke rumahnya. Bisa-bisa Rania akan mengamuk. Lagi pula besok hari Sabtu dan kantor mereka juga libur. Rasa sepi yang menggelayuti batinnya seakan memudar setelah melihat senyum itu. Dia tidak ingin rasa sepi itu kembali lagi saat membiarkan wanita itu pulang ke rumahnya. Ethan ingin menghabiskan malam ini dengan menyimpan kenangan dari senyum itu sebanyak-banyaknya Mata Zalina terasa berkunang-kunang. Penglihatannya kabur tetapi rasa haus terasa jelas di tenggorokanya. "Aku haus, Anda punya air minum, Pak?" kata Zalina pada Ethan yang sedang membantunya duduk di atas kursi yang berada di dapurnya. Dibukanya tutup botol air mineral dengan kualitas tinggi itu oleh Ethan. "Ini," kata Ethan seraya memberikan botol air minum yang terbuat dari kaca. Zalina menarik lengan Ethan setelah menghilangkan dahaganya dengan setengah botol air mineral yang Ethan berikan sebelumnya. Sambil terhuyung, Zalina mencoba berdiri dari duduknya dan menghadap Ethan yang sedang mengamatinya. Zalina melingkarkan tangannya ke pundak Ethan yang jauh lebih tinggi darinya. Ethan merangkul pinggang Zalina yang mungil, mendekatkan tubuh wanita dengan tinggi 160 senti itu ke dalam pelukannya. "Boleh aku menciummu?" bisik Zalina. Ethan tersenyum kecil. Dia langsung mencium bibir Zalina tanpa menjawab pertanyaan wanita itu. Bibir mereka saling mengecup dan tangan mereka saling merangkul satu sama lain. Zalina melepaskan ciumannya. Meski mabuk, Zalina masih bisa berpikir bahwa tidak selayaknya dia mencium pemilik tempatnya bekerja itu. Tapi Ethan masih ingin mengecap bibir itu lagi. Dia tidak ingin menyudahinya sampai di sini saja. "Rasanya ini tidak benar," kata Zalina yang masih setengah tersadar. "Tidak usah pikirkan soal benar dan salah. Kita hanya perlu menikmati malam ini. Kamu akan menjadi milikku malam ini," kata Ethan sambil mencoba mencium bibir Zalina lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD