BOS YANG NARSIS

1403 Words
"Kamu sudah makan siang?" tanya Diana. "Be-belum, Bu." "Ayo, saya juga belum makan siang, kita makan dulu. Pak Ethan tidak akan marah, yang penting kamu aktifkan saja ponselmu," kata Diana. Sebenarnya, Diana ingin berbincang-bincang dengan gadis yang bisa bertahan 'lama' menjadi sekretaris Ethan ini. Biasanya tidak ada yang betah dengan kecerewetan dan juga kesombongan Ethan. Tapi, gadis ini begitu berbeda dan tahan banting. Dulu, Daniel ayah Ethan juga terkenal sangat dingin dan tidak mau dekat dengan wanita hingga pada akhirnya cinta Rania bisa mengikis kesombongan Daniel. Diana sebagai pegawai lama tentu saja tahu kisah cinta pemilik perusahaan ini. Perlahan, Diana pun menggandeng tangan Zalina dan mengedipkan matanya. Melihat senyum di wajah Diana, Zalina pun yakin jika bosnya itu akan baik-baik saja tanpanya untuk sesaat. LA RUE memiliki 7 lantai. Kantin terletak di lantai 1, tepat di bagian samping gedung. Kantin itu diperuntukkan bagi para karyawan yang bekerja di sana tentu. Ada 3 orang koki yang bertugas memasak di kantin itu. Sejak dulu LA RUE memang tidak memberikan uang makan bagi para karyawannya. Tetapi, sabegai ganti para karyawan bebas untuk makan siang di kantin ini. Bahkan menu yang disediakan pun cukup enak dan setiap hari berganti. Hal ini pun dilakukan supaya waktu bekerja lebih efisien. Karyawan tidak perlu keluar dari area perkantoran hanya untuk membeli makan siang. Menu siang itu kebetulan adalah menu favorit Zalina. Ada pepes ayam, gulai daun singkong, sambal teri kacang, dan juga ada mie goreng serta telur mata sapi. Juga tersedia jus dan buah-buahan yang bisa mereka ambil. Para karyawan bebas mengambil berapa menu yang mereka suka. Jika memang kuat, diizinkan untuk tambah juga. Diana mengambil nasi dan pepes ayam juga gulai daun singkong, sementara Zalina hanya mengambil pepes dan gulai tanpa nasi ditambah sambal teri kacang. "Nggak makan nasi?" tanya Diana. "Lauknya sudah memiliki kolesterol tinggi, Bu. Bisa gemuk saya nanti," jawab Zalina tersipu. "Duh, badanmu itu sudah bagus. Beda sama saya yang buntutnya udah dua," canda Diana. Kedua wanita berbeda usia itu pun duduk di meja paling sudut yang tidak terlalu ramai. Ini adalah pertama kalinya Zalina makan di sini. Biasanya ia tidak berani meninggalkan meja dan memakan bekal yang ia bawa dari rumah. "Lina, makan siang itu perlu. Jika memang tidak sempat turun ke kantin, kamu bisa meminta office girl atau office boy membawakan makan siang ke atas. Tidak apa. Saya tau loh selama kamu bekerja di sini, kamu tidak pernah makan siang di kantin, kan. Kamu membawa bekal dari rumah?" tanya Diana. Zalina mengangguk dan tersenyum sungkan. Ia memang tidak pernah membawa makanan dari rumah karena tau jika kantor ini memiliki fasilitas makan siang di kantin khusus karyawan. "Iya, Bu. Saya takut kalau Pak Ethan nanti marah. Apa lagi Ibu kan bilang supaya tidak pernah mematikan ponsel karena Pak Ethan sering menyuruh ini dan itu di luar jam kerja," kata Zalina. Tawa Diana lepas seketika. Gadis di hadapannya ini benar-benar polos. "Ya ampun, Lina. Kamu ini polos sekali, ya," kata Diana, "Kamu tidak punya teman dekat?" "Teman dekat? Lelaki atau perempuan?" "Kalau lelaki saya jamin belum. Perempuan?" Zalina menunduk dan menggelengkan kepalanya perlahan. Bagaimana bisa memiliki teman jika sejak kecil ia selalu dipanggil anak haram? "Sejak kecil, nggak ada yang mau berteman dengan saya, Bu. Saya cukup puas bermain di rumah dan belajar." Diana menghela napas panjang. Sejak pertama bertemu Zalina ia memang sudah menyukai gadis itu. "Kalau begitu, mulai saat ini kita berteman. Jangan sungkan jika ada apa-apa. Kamu bisa menanggapku kakak perempuanmu sendiri. Jangan panggil saya ibu jika di luar kantor. Panggil saja Mbak," kata Diana. Kedua mata Zalina berbinar seketika. "Benar, Bu?" "Ya tentu saja. Saya suka dengan pekerjaanmu. Sejak kamu bekerja di sini, Pak Ethan tidak pernah mengeluh dan marah-marah lagi. Semoga saja untuk selanjutnya begitu," kata Diana. "Amiin, Bu. Saya takut kalau beliau marah," kata Zalina lagi. Tiba-tiba saja, ponsel milik Zalina berdering dan wajah gadis itu pun langsung tegang saat melihat siapa yang menelepon. "Saya lapar, kamu di mana?" Kalimat itu langsung diucapkan Ethan saat Zalina mengangkat teleponnya. "Maaf, Pak. Saya sedang di kantin bersama ibu Diana." "Segera kembali ke mejamu, sekarang!" "Tap-" "Nggak ada tapi, sekarang!" TUT! Telepon pun langsung diputus secara sepihak oleh Ethan. Zalina pun menoleh dan melihat Diana sedang terkikik geli. "Bu ... maaf, saya duluan ke atas." "Iya. Sana cepat, jangan sampai bos marah kepadamu," kata Diana terkikik geli. Dengan setengah berlari, Zalina pun segera bergegas kembali ke lantai atas. Untung saja lift yang diperuntukkan bagi petinggi perusahaan itu berbeda dengan lift yang diperuntukkan bagi karyawan biasa. Dan karena Zalina adalah sekretaris pribadi Ethan, dia bisa menggunakan lift itu. Dan saat ia tiba, tampak Ethan sedang berdiri di depan pintu ruangannya sambil mendelik ke arah Zalina. "Dari mana?" tanyanya ketus. "Saya punya maag dan kebetulan ibu Diana mengajak saya makan siang di kantin. Apa saya salah lagi, Pak?" "Salah kalau tidak mengajak saya." Zalina mengembuskan napasnya dengan keras. "Ya ... saya mau ngajak Bapak kan sungkan. Lagi pula tadi Bapak lagi marah-marah saya kan tambah takut mau ajak Anda makan," kata Zalina. "Trus, sudah selesai makan?" tanya Bian. "Bapak keburu telpon dan suruh ke sini ya belum selesai. Baru dua suap, padahal enak makanannya." Ethan menggelengkan kepalanya. "Memang menunya apa?" "Gulai daun ubi, sambal, pepes ayam, mi-" "Haduh ... sudah. Kamu ikut saya sekarang. Temani saya makan siang," kata Ethan sambil menarik tangan Zalina untuk mengikutinya. Dan seperti biasa, Zalina hanya bisa pasrah mengikuti langkah bosnya itu. "Kita makan di cafe depan saja. Saya lagi malas nyetir mobil," kata Ethan. Di depan gedung milik LA RUE memang ada beberapa cafe dan resto juga butik dan dekat ke Mall juga. Jadi, jika memang sedang bosan makan di kantin kantor dan baru gajian ... pegawai LA RUE bisa makan di sana. Dan Ethan mengajak Zalina untuk makan di salah satu restoran yang berderet di sana. "Mau makan apa? Di sini steaknya enak, kamu harus coba," kata Ethan menawarkan. "Samakan saja dengan pesanan punya Bapak," kata Zalina. "Prime Ribeye Steak, medium well ditambah milkshake strawberry dua," kata Ethan kepada pelayan. Pelayan wanita itu segera menulis pesanan Ethan dan berlalu dari situ. Tiga puluh menit kemudian, pesanan mereka pun datang. Dengan sedikit malas, Zalina pun mulai menyantap hidangan di hadapannya. Sebenarnya ia tidak berselera lagi. Tetapi, dia juga tidak ingin penyakit maag yang ia derita kambuh. Sementara Ethan makan dengan sangat lahap karena memang ia sudah sangat lapar. Ia merasa bersalah juga kepada Zalina karena kemarin sampai membiarkan Zalina kelaparan. "Lain kali, jika saya sedang sibuk dan kamu merasa lapar jangan tunda untuk makan. Saya ini bukan bos yang sewenang-wenang. Manusia itu harus makan." "Saya ...." "Saya tau, mungkin kamu merasa segan. Tetapi, saya lebih tidak suka jika kamu makan bersama orang yang belum terlalu kamu kenal seperti Bian. Ya, dia memang klien saya. Tapi, saya tidak tau bagaimana pribadinya. Kamu ini perempuan, Zalina. Bagaimana jika dia berbuat macam-macam terhadapmu? Bagaimana jika kamu diculik? Tapi, jika kamu makan di kantin kantor ini bersama dengan Diana atau karyawan yang lain silakan saja. Saya mengizinkan jika memang sudah waktunya makan. Tetapi, jika saya masih berada di ruangan pamit dulu. Jangan sampai saya kebingungan mencari," kata Ethan panjang lebar. "Anda peduli sekali kepada saya?" tanya Zalina bingung. "Kamu adalah pegawaiku dan aku tidak mau kamu celaka. Karena Bian adalah klienku ... aku tidak mau jadi merasa bersalah jika terjadi sesuatu kepadamu. Karena aku yang memperkenalkan tepatnya menjadi jembatan yang membuatmu kenal dengan Bian." Zalina menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Apa yang dikatakan Ethan memang benar. Dan seharusnya ia tidak percaya begitu saja kepada orang yang baru saja ia kenal. Apa lagi ia juga memang tidak mengenal Bian secara pribadi. "Saya minta maaf jika membuat Anda khawatir. Saya hanya takut saat kemarin kemalaman dan juga saya merasa sudah sangat lapar dan tidak bisa menolak saat Pak BIan mengajak saya. Maafkan saya, lain kali saya akan lebih berhati-hati lagi," kata Zalina. Ethan mengangguk, "Mulai besok, saya akan menyuruh Pak Soleh untuk mengantar dan menjemputmu pulang dan pergi kerja," katanya. "Apa nanti karyawan yang lain tidak akan iri dengan fasilitas yang Anda berikan kepada saya? Saya ini baru bekerja di sini," kata Zalina. "Saya memberikan ini nggak gratis, Lina. Ini akan dipotong dari uang transportmu." Zalina kembali mencicit dalam hati, 'Memang nggak bisa liat orang senang!' gerutunya. Melihat bibir Zalina yang mengerucut, Ethan hanya tersenyum. "Kalau mau memaki saya, jangan dalam hati. Bilang aja. Tapi, hati-hati jangan sampai ujungnya jatuh cinta sama saya." Zalina membelalakkan matanya, soal percaya diri, rasanya sang bos memang juara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD