CEMBURU JILID II

1038 Words
"Yang mengantarmu semalam itu siapa? Dia bukan bosmu, kan?" Tanya Kartika. Semalam ia memang belum menanyakan apa-apa kepada Zalina. "Bukan, dia itu klien bosku, Bu. Kemarin aku lembur dan ketika menunggu bis lama sekali. Kebetulan, Pak Bian lewat di halte dan menawarkan tumpangan. Ya aku ikut saja habis perutku sudah lapar juga. Dan aku takut jika menunggu lama di halte itu sendiri," jawab Zalina. Kartika menghela napas panjang, 'kasian sekali nasibmu, Nak. Sejak kecil tidak pernah mengenal ayahmu. Setelah besar kamu harus menjadi tulang punggung ibumu ini,' bisiknya dalam hati. "Ya sudah, sekarang habiskan sarapanmu. Ibu sengaja membuatkanmu nasi kuning. Biasanya kamu paling suka nasi kuning," kata Kartika. Zalina tersenyum, ibunya memang pintar memasak. Menurut cerita Kartika, dulu keluarga ibunya pengusaha yang cukup sukses. Hanya saja, ayah Kartika bangrut. Dan dulu ibunya juga sempat menjadi narapidana karena suatu kejadian. Tetapi, hingga hari ini Kartika tidak pernah mengatakan kejadian apa. Masa lalu Kartika seolah misteri yang sulit untuk dipecahkan. "Bu, apa ayah kandungku orang yang jahat?" tanya Zalina hati-hati. Kartika menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap nasi.Kartika menghela napas panjang, ia menatap Zalina dengan kedua netra yang berkaca-kaca. "Ibu berharap, kamu tidak pernah bertemu dengannya. Ibu takut jika mereka tau kamu ini anak ibu mereka akan mencelakakan dirimu." “Kenapa, Bu? Hingga hari ini Ibu tidak pernah mengatakan apa-apa soal ayah kandungku. Kenapa, Bu?” “Sudahlah Zalina. Jangan paksa ibu. Kelak jika ibu sudah siap maka ibu akan menceritakannya kepadamu,” kata Kartika. Zalina hanya menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia sudah hapal dengan jawaban ibunya. “Ya sudah, Bu. Sekarang, aku pergi dulu ya, Bu. Oya, aku boleh membawa nasi kuningnya ya, Bu?" "Boleh, ibu masukkan ke dalam kotak, ya." Kartika pun segera memasukkan nasi kuning buatannya ke dalam kotak berikut dengan topingnya. Tak lupa sambal dan kerupuk juga. Setelah selesai ia langsung memberikannya kepada Zalina. Dan gadis itu pun segera berangkat kerja. Hari itu Zalina sedang malas membuatkan sarapan untuk Ethan dan ia merasa jika nasi kuning buatan ibunya itu cocok untuk sarapan.Dan Ethan memang harus mencicipi rasanya yang nikmat. Sesampainya di kantor, seperti biasa ia selalu menjadi yang pertama datang di lantai 6 gedung itu. Tuti yang juga sudah datang tampak sedang membersihkan ruangan Ethan. Zalina pun dengan cepat segera ke pantry dan menyiapkan nasi yang sudah ia bawa beserta secangkir kopi. Setelah meletakkan sarapan di ruangan Ethan, Zalina pun segera ke mejanya dan menyalakan komputer lalu seperti biasa ia memeriksa email. Biasanya di malam hari Ethan selalu mengirim email berisi tugas yang harus ia kerjakan pagi itu. Dan, betul saja ada beberapa email yang masuk. Dengan cepat Zalina pun mulai bekerja. Sekitar dua puluh menit kemudian, Ethan tampak berjalan dan langsung masuk ke ruangannya tanpa menoleh sedikit pun kepada Zalina. Bahkan ia tidak membalas sapaan Zalina. Gadis itu merasa bingung tetapi, ia tidak mau ambil pusing dan fokus kembali pada pekerjaannya. Satu jam kemudian telepon di mejanya berdering dan Zalina pun bergegas mengangkatnya. Saat tau siapa yang menelepon ia pun segera masuk ke ruangan bosnya itu . "Permisi, Pak ...." Ethan yang sedang menunduk langsung menegakkan kepalanya dan memberi isyarat supaya Zalina duduk di hadapannya. "Siapa yang menyuruhmu pulang bersama Bian?" tanya Ethan tanpa basa basi. "Maaf ...." "Pertanyaan saya sudah cukup jelas. Ada hubungan apa antara kamu dengan Bian?" Zalina mengerutkan dahinya, ia memang tidak mengerti dengan apa yang Ethan katakan. "Apa Anda marah?" tanya Zalina bingung. "Saya yang sedang bertanya Nona Zalina. Ada hubungan apa kamu dengan klien saya?" Zalina menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Saya lembur sampai pukul enam sore kemarin. Anda bisa memeriksa mesin absen. Saya menunggu bis tetapi sampai tiga puluh menit tidak ada yang lewat. Lalu, Pak Bian lewat dan memberikan saya tumpangan. Hanya itu," jawab Zalina dengan tegas. "Antar pulang sekaligus acara makan malam? Begitu?" tanya Ethan sinis. Kedua mata Zalina membulat, ia merasa kesal sekarang. "Pak, saya hanya lapar dan tidak ada salahnya jika saya menerima kebaikan dari seseorang yang mengajak saya makan malam, bukan?" kata Zalina. "Apa tidak ada taksi? Kamu tidak punya uang untuk membeli makan sendiri? Apa kamu begitu kelaparan sehingga mau saja diajak makan oleh orang yang baru kamu kenal?" tanya Ethan dengan sinis. Zalina menghela napas dan mengembuskannya dengan kasar. "Kemarin, saya tidak sempat makan siang, Pak. Jika Anda tanya mengapa, karena Anda saja makan di ruangan. Saya tidak punya uang untuk memesan makanan dari luar dan saya juga merasa sungkan untuk meminta orang lain mengambilkan saya makanan yang disediakan di kantor. Lalu jika Anda tanyakan mengapa saya tidak naik taksi, saya tidak memiliki uang yang cukup untuk naik taksi. Dan jika saya harus mengingatkan Anda, penampilan saya bisa layak karena fasilitas yang Anda berikan, bukan? Saya bekerja di sini karena saya membutuhkan uang, Pak. Jadi, alih-alih untuk taksi lebih baik saya naik bis yang lebih murah," kata Zalina panjang lebar dengan nada bicara yang berapi-api. Ethan terdiam seketika. Ia memang sangat sibuk kemarin dan ia lupa jika Zalina adalah orang baru di kantornya. Dan ia lupa siapa Zalina dan keluarganya. Hanya saja saat kemarin ia melihat Zalina berdua dengan Bian ia merasa sangat kesal. Terlebih saat melihat betapa bahagianya Bian berada di dekat Zalina. Ethan merasa sangat kesal. "Jika memang transportasi yang kamu butuhkan. Mulai besok, Pak Soleh akan mengantar dan menjemputmu!" "Tapi, saya masih bisa berangkat dan pulang kerja sendiri, Pak. Bapak nggak perlu sampai menambah pekerjaan Pak Soleh," kata Zalina. "Enak saja. Kalau kamu tidak mau, saya bisa menurunkan jabatanmu ke staff biasa. Pokoknya saya nggak mau tau. Ini perintah dan saya nggak suka dibantah! Sekarang silakan kembali ke meja kerjamu," kata Ethan dengan wajah datar. Zalina menahan napasnya dan ia pun segera pamit keluar. Dengan kesal, ia mengempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia merasa sangat kesal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Di sini ia bekerja dan ia tidak mau kehilangan pekerjaannya. Tetapi, apa yang Ethan berikan kepadanya seperti beban yang tidak bisa ia pikul. "Kenapa, Lina?" Zalina tersentak, ia mengangkat wajahnya dan melihat Diana sedang tersenyum ke arahnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi. "Baik, Bu. Ibu mau bertemu dengan Pak Ethan? Beliau ada di dalam," kata Zalina dengan ramah. “Baik. Jika ada sesuatu yang mungkin ingin kamu bicarakan, bicara saja dengan saya,” kata Diana. “Baik, Bu. Terima kasih banyak atas semuanya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD