Asell melirik ponselnya, menunggu wanita itu membalas pesan. Satu menit, dua menit, masih belum ada balasan. Dia pun memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, namun kembali menariknya. Melirik lagi, berpikir jika saat ini Gwen sedang mengetik pesan.Lima menit berlalu dan belum ada pesan masuk. Hingga membuat Ansell berdecak pelan. Merasa kesal pada dirinya sendiri yang melakukan hal konyol. Karena nyatanya ini adalah kali pertama dia menunggu sebuah balasan pesan yang tidak membahas hal penting.
Dia masih diam dengan pandangan kembali memperhatikan sungai kecil di depannya. Ponsel miliknya ia letakkan di atas meja. Ansell melangkah pelan mendekati sungai. Terus berjalan hingga melintasi jembatan kecil.
Sepuluh tahun bukanlah waktu yang cepat. Namun kenangan itu masih sangat jelas dalam ingatan Ansell. Dia masih sangat ingat bagaimana hutan di depannya telah membantu dirinya melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan.
Bibir Ansell tertarik pelan, membentuk senyuman miris setiap kali mengingat kejadian itu. Sebelah tangannya menyentuh batang pohon yang terdapat tanda goresan. Sebuah tanda yang dia buat sepuluh tahun lalu. Tanda yang memberi jalan untuknya masuk ke dalam hutan dengan benar.
"Ansell."
Ansell tertegun mendengar suara panggilan itu. Dia menoleh ke belakang, melihat sosok wanita paruh baya berjalan ke arahnya. Sarah memakai mantel untuk melindungi tubuhnya dari angin malam yang semakin dingin.
"Kau belum tidur, Mom?" tanya Ansell saat menghadap ke arah Sarah.
Setelah melintasi jembatan kecil, Sarah berdiri di hadapan Ansell. Dia tersenyum tipis, sekilas. Lalu kembali menatap dalam pada Ansell.
"Berbuat baik memang tidak mudah. Terlebih demi melepas diri dari tanggung jawab," gumam Sarah sembari melirik ke arah goresan pada batang pohon yang beberapa saat lalu di sentuh Ansell.
"Hal yang sulit untukku hanya kata tolong," gumam Ansell pelan.
Sarah terdiam sejenak. Hingga langkah kakinya terdengar jelas di tengah kesunyian malam. Dia menyentuh kedua pundak Ansell, mengelus wajahnya dengan lembut serta penuh kehangatan.
"Jika menurutmu itu sebuah kesalahan... kau bisa memperbaikinya."
"Aku sedang berusaha melakukannya." Ansell membalas tatapan dalam Sarah, hingga wanita itu memalingkan wajahnya untuk menghindar dari tatapan Ansell. "Untuk terus melindungi seseorang sepertimu, Mom," sambung Ansell.
Sarah terkejut. Tanpa bisa menahannya lebih lama, dia menarik Ansell. Memeluk pria itu sangat erat. Seolah rasa tenang menghapus segala kecemasannya.
"Terima kasih, Ansell."
"Tidak, Mom. Kau tidak boleh mengatakan itu padaku," Ansell membalas pelukan Sarah.
Perlahan Sarah melepas pelukannya. Dia mengusap wajahnya untuk mengahapus airmata yang sempat menetes. Dirinya menarik napas panjang sebelum kembali memperhatikan Ansell.
"Lusa aku akan pergi ke Itali," ucap Ansell mengalihkan pembicaraan.
"Lusa? Hari kamis?"
"Iya. Apa ada sesuatu?" tanya Ansell.
"Tidak," jawab Sarah pelan sembari menggelengkan kepala, "hanya saja, aku teringat jika lusa adalah hari ulang tahun seseorang yang sangat kukenal."
"Siapa dia?" tanya Ansell merasa penasaran.
"Seseorang," jawab Sarah seolah tidak ingin menyebutkan namanya.
"Apa kau ingin bertemu dengan orang itu? Atau kau ingin memberikan sesuatu untuknya? Aku bisa membelikannya besok, Mom."
"Tidak, tidak perlu Ansell. Lagipula aku tidak berniat untuk menemuinya."
Ansell menghela napas pelan, "Baiklah."
***
Gwen mengernyit saat sinar matahari menusuk kelopak matanya. Dia meraih salah satu bantal untuk menutupi wajahnya, berniat menghindari dari sinar menyebalkan tersebut.
"Gwen, aku pergi dulu."
Gwen mendesah kasar mendengar teriakan Bennie yang semakin membuatnya tidak bisa lagi melanjutkan mimpi indah. Dia melempar bantal yang sebelumnya digunakan untuk menutupi wajahnya. Dengan rasa kesal Gwen pun bangkit dari ranjang. Dia berjalan ke arah pintu lalu membukanya.
"Kau akan pergi ke mana?" Gwen ikut berteriak meskipun saat ini posisi Bennie sedang berdiri di bawahnya, merapikan ruangan tengah yang digunakannya untuk tidur.
"Kau tidak melihatku ada di bawah sini? Kenapa harus berteriak?!" Bennie membalas dengan tatapan sengit sembari menghentak-hentakkan kakinya saat akan meletakkan piring kotor di wastafel.
"Lagipula kenapa kau juga berteriak tadi? Kau tahu kalau aku sedang tidur kan?!"
"Ini sudah jam 9, Gwen! Astaga!!"
"Apa masalahmu?!"
Bennie mendesah pelan sembari melirik ke arah Gwen yang sedang menuruni anak tangga. Hingga akhirnya Gwen sampai di dapur. Sedang Bennie meraih tas dan jalan berlenggak-lenggok layaknya seorang wanita hingga membuat Gwen tertawa pelan.
"Hei, kau akan pergi ke mana?" tanya Gwen saat menuangkan air putih ke dalam gelas dan meminumnya.
"Berangkat kerja."
"Di mana?"
"Di salah satu salon yang ada di Hoperita st."
"Jauh sekali," gumam Gwen pelan, "Lalu kau pergi pakai taksi?"
"Tidak. Pakai mobilmu," jawab Bennie sembari mengayunkan kunci mobil Gwen.
"Apa?! Hei, itu mobil antik tahu? Kau tidak boleh memakainya sembarangan. Kembalikan padaku!" Gwen berlari ke arah Bennie untuk merebut kembali kunci mobilnya.
"Anggap saja ini sebagai biaya sewamu selama di sini," ujar Bennie diiringi kekehannya.
"Tidak mau! Mobil itu lebih berharga daripada nyawamu!" teriak Gwen dan terus berusaha merebut kunci itu.
Bennie hanya tertawa. Dia terus berlari menghindari Gwen. Bennie tahu jika mobil itu adalah hadiah terakhir yang Gwen terima dari mendiang ibunya. Itu sebabnya Gwen sangat menjaga mobil itu dengan baik.
Setelah hampir sepuluh menit usahanya merebut kembali kunci itu, akhirnya Gwen pun berhasil. Dia mendesah lega dan memasukkan kunci mobil ke dalam saku celana pendeknya.
"Sudah sana pergi," usir Gwen dengan memberi isyarat mengusir Bennie, "hush...hush..."
"Sialan kau!" Bennie membuang wajahnya di depan Gwen dan melanjutkan niatnya untuk pergi ke tempat kerjanya yang baru.
Gwen tersenyum pelan saat bayangan Bennie sudah tak terlihat. Dia menghela napas pelan. Dirinya dan Bennie memang sudah terbiasa bercanda hal seperti itu. Dan Gwen sangat senang mempunyai teman seperti Bennie yang selalu menghibur dirinya dengan tingkah konyol maupun membuat kesal.
***
Sebuah mobil Audy model lama memasuki sebuah halaman mansion. Mobil itu berhenti tepat di depan teras mansion. Salah seorang pengawal yang melihatnya segera berjalan cepat menghampiri mobil untuk membukakan pintu mobil tersebut. Namun hal itu sudah dilakukan lebih dulu oleh pemiliknya. Hingga pengawal itu hanya mampu membungkuk untuk memberi salam.
"Selamat pagi, Ms. Thompson."
"Iya," jawabnya singkat.
Dia mengalihkan tatapannya. Melihat ke dalam pintu mansion yang terbuka. Mansion itu menyimpan banyak kenangan manis yang berusaha dihapuskan oleh orang lain. Dan itu sebabnya dirinya memilih untuk pergi lebih cepat sebelum kemangan manis itu digantikan dengan lebih banyak kenangan buruk.
Gwen menghela napas pelan sebelum melangkah masuk ke dalam. Dia meraih tas mini backpack yang ada di dalam mobil lalu memakainya. Tak lupa juga untuk menutup pintu mobilnya.
Dengan sepatu keds, langkah Gwen tidak menimbulkan suara yang begitu jelas. Dia memasuki mansion yang memiliki ruangan depan cukup luas. Pandangannya memperhatikan sekeliling. Dia tidak melihat siapapun kecuali para pelayan yang sedang bekerja dan menyapa padanya.
Jika saja di mansion ada pelayan baru yang bekerja belum ada satu tahun, mungkin mereka tidak akan mengenali Gwen. Dengan penampilan yang tidak menunjukkan seorang putri dari keluarga Thompson, Gwen hanya mengenakan tanktop bertali depan dan rok mini levis. Dia membiarkan rambut pendeknya tergurai untuk menutupi setengah dari panjang kedua antingnya.
"Gwen?"
Gwen menahan langkah untuk menaiki anak tangga. Dia berhenti seperti patung, tidak berniat untuk melihat maupun melirik pada sumber suara yang memanggilnya.
"Kau sudah pulang? Sudah setahun kau tidak mengunjungi kami. Bagaimana kabarmu?"
Suara itu, Gwen sangat membencinya. Wanita itu selalu saja berucap dengan nada-nada hangat yang menjijikkan.
"Gwen?" Luisa kembali memanggil karena tidak ada jawaban dari Gwen. "Apa kau ingin meminum sesuatu? Aku akan membuatkannya untukmu."
"Menjijikkan," gumam Gwen pelan namun dapat ditangkap oleh indra pendengar Luisa.
"Siapa, Mom?" tanya Willene, muncul dari arah yang sama dengan Luisa. Dia memperhatikan Gwen dari atas hingga bawah saat berdiri di samping Luisa. "Oh... gadis yang tidak tahu diri itu? Untuk apa dia datang kemari? Bukankah dia sendiri yang mengatakan tidak akan pernah lagi datang?" Willene menyindir, kedua tangannya bersedekap.
"Gwen, apa kau sudah makan?" tanya Luisa dan lebih memilih mengabaikan ucapan putrinya karena tidak ingin keduanya semakin bertengkar.
Gwen hanya mendengus tanpa memberikan jawaban. Dia melanjutkan langkahnya untuk menaiki anak tangga. Memilih pergi dari hadapan dua wanita yang sangat menjijikkan baginya.
"Hei! Mommy sedang berbicara denganmu!" teriak Willene kesal melihat sikap acuh Gwen.
Gwen menghentikan langkahnya. Dia menatap tajam pada Willene dan Luisa bergantian. "Dia bukan Mommy-ku. Untuk apa aku mendengarkan ucapannya?" ucap Gwen sarkartis.
"Kurang ajar!" balas Willene.
Luise mencekal lengan Willene yang hendak menghampiri Gwen. "Sudahlah. Kalian sudah besar. Untuk apa kalian masih saja bertengkar sampai sekarang?" ucap Luisa sembari menatap Willene dan Gwen yang masih saja memalingkan wajahnya setiap kali mendengarnya berbicara.
Willene mendesah kasar dan mengurungkan niat untuk menghampiri Gwen. Dirinya hanya merasa kesal pada kakak tirinya yang selalu saja mengabaikan ibunya saat sedang berbicara. Seolah menganggap dirinya dan ibunya tidak ada.
Gwen tersenyum meremehkan. Dia bersikap acuh meninggalkan dua orang itu. Gwen melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga untuk sampai di kamarnya. Setelah melewati tangga dan koridor ruangan, akhirnya Gwen sampai di depan kamarnya. Dia tidak tahu apakah kamarnya masih sama atau tidak. Setahun yang lalu saat dirinya berkunjung ke mansion, kamar itu belum ada yang berubah sedikit pun.
Sebelah tangan Gwen memegang knop pintu untuk mendorong daun pintunya. Namun, satu detik kemudian keningnya mengernyit ketika menyadari pintu kamarnya terkunci.
"Mencari ini?"
Gwen berbalik badan. Dia melihat Kisha berdiri dengan angkuh sembari menunjukkan kunci kamarnya. Ada rasa kesal sekaligus lucu melihat Kisha melakukan hal itu karena nyatanya itu mengingatkannya pada Bennie pagi tadi.
"Kembalikan kunci kamarku," ucap Gwen singkat.
"Kau mengabaikan ucapan Mommy. Kau juga sudah pergi dari mansion ini dan berjanji untuk tidak datang lagi. Lalu kau mengingkari janjimu?"
"Kembalikan kunci kamarku," Gwen masih mengulang ucapannya.
Kisha tertawa pelan. Dia menatap tajam pada kakak tirinya itu. "Untuk apa aku memberikan kunci kamar itu padamu? Toh kau sudah tidak tinggal di sini?"
"Kau akan memberikannya atau aku sendiri yang akan mengambilnya?" tawar Gwen.
Kisha tertawa sembari menutup mulutnya, "Lucu sekali ancamanmu."
"Okay," ucap Gwen seolah pasrah membuat Kisha berpikir jika Gwen menyerah. Namun Gwen tiba-tiba menarik tangan Kisha lalu merebut kuncinya. Dia juga mendorong tubuh gadis itu hingga menabrak meja kecil yang ada di samping dinding.
"Aaauuuukkh..." Kisha memekik merasa lengannya seperti tersengat listrik saat menghantam ujung meja. "Sialan kau!"
"Merebut kunci darimu tidak sesulit mempertahankan pisauku darinya," ucap Gwen.
"Kau menyakitiku! Akan aku laporkan perbuatanmu pada Daddy nanti!" ancam Kisha lalu berlari menjauh.
Gwen menghela napas pelan melihat adik tirinya berlari menjauh. Dia pun mencoba membuka pintu kamarnya. Rasa lega membuatnya tersenyum sejenak. Dia pun segera membuka pintu itu dan masuk ke dalam kamar.