Violence - One
"Bocah sialan..."
Dua kata itu menjadi salam perpisahannya. Tubuhnya sudah tidak mampu bertahan. Darah segar tak berhenti merembas dari sela-sela luka yang didapatkannya. Pandangannya mulai menggelap, sampai akhirnya kelopak mata itu tertutup rapat untuk selamanya.
Bocah itu mematung, menatap sosok ayahnya yang tergeletak di depannya. Sebilah pisau yang penuh dengan darah, terlepas dari genggaman tangannya.
Ansell, begitu nama bocah tersebut. Kebencian yang setiap saat semakin tumbuh membesar dalam hatinya telah membuatnya melakukan hal tersebut. Rasa sakit yang setiap hari dia dapatkan, menumpuk hingga membekas dendam dalam dirinya.
Kening pria itu berkerut membentuk garis-garis. Keringat dingin membuat wajah dan tubuhnya basah. Kedua matanya yang terpejam, seperti hendak dibuka namun kesulitan. Tubuhnya bergerak gusar, mencoba bangkit namun seperti ada yang menindih di atasnya. Seperti itu yang ia rasakan setiap kali mimpi itu menghampiri.
"Ansell. Ansell. Ansell."
Meskipun mendengar ada suara yang memanggilnya, Ansell tetap tidak bisa membuka mata. Hingga perlahan ia merasakan lengannya disentuh dan digerakkan perlahan, sembari kembali memanggil namanya.
"Ansell. Ansell."
Ansell langsung membuka matanya—lebar. Napasnya tersengal-sengal membuat wanita yang berada di sampingnya menatap khawatir. Ansell menarik napasnya panjang, untuk membuat dirinya lebih tenang sedikit. Lalu menoleh ke arah wanita itu yang kini menyentuh keningnya.
"Demam mu masih tinggi. Minumlah obat ini," ucap wanita itu lalu memberikan obat penurun panas dan segelas air putih.
Ansell menerimanya. Lalu meminum obat itu.
"Kau ingin makan sesuatu?"
"Tidak," jawab Ansell dan meletakkan gelas kosong itu di atas nakas. "Aku akan istirahat sebentar. Nanti demamku pasti turun. Lagipula aku harus mengurus sesuatu nanti," jawabnya dan kembali memejamkan matanya.
"Baiklah," ujar wanita itu pasrah. Kedua tangannya menarik selimut untuk menutup seluruh tubuh Ansell.
Dia pun bangkit, lalu berjalan ke arah pintu. Sebelah tangannya menarik knop pintu untuk membukanya. Namun saat pintu itu hampir menelan bayangannya, langkah kakinya terhenti merasa Ansell memanggilnya.
"Mom."
Wanita yang dikenal Sarah itu menoleh, menatap Ansell.
"Tolong bangunkan aku jam delapan malam."
Sarah tersenyum, lalu mengangguk, "Iya," jawabnya.
***
Suasana dalam ballroom itu sangat ramai. Upacara pernikahan dari putri petinggi di Florida sukses dilaksanakan. Para tamu undangan mulai bergantian bersalaman, mengucapkan selamat pada sepasang pengantin baru.
Hampir seluruh tamu undangan melakukannya. Namun tidak untuk seorang wanita bergaun merah itu. Dengan langkah kesalnya yang menghentak-hentakkan lantai, ia memilih keluar dari acara pesta tersebut.
"Bennie! Awas saja kau!" teriaknya lalu mengepalkan kedua tangan dan meremasnya, seolah menyalurkan emosi dalam dirinya.
Gwinevere Thompson, nama lengkap wanita itu. Dirinya akrab di sapa Gwinevere. Rasa kesal yang disebabkan oleh sahabat karibnya—Bennie, dikarenakan Bennie menyarankan dirinya untuk memakai gaun merah itu. Sebenarnya bukan itu masalah intinya. Melainkan ada wanita lain yang memiliki gaya pakaian mirip dengannya. Dan hal tersebut menjadi bahan olokan dari kedua adik tiri untuknya.
Saat Gwinevere melewati koridor dalam gedung itu untuk berniat segera pulang, dirinya terkejut merasakan sebuah lengan yang menarik lengannya. Tubuhnya ditabrakkan pada dinding membuat Gwinevere terkejut. Sontak kedua matanya membelalak saat telapak tangan pria itu menutup pernapasannya.
Gwinevere tidak berhenti melebarkan bola matanya ketika pria itu mendekatkan wajahnya. Meskipun tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas, namun Ansell dapat melihat sepasang bola mata biru itu.
Hingga perlahan telapak tangan pria itu terlepas dari wajahnya, nampak jelas Ansell memperhatikan dirinya. Kening Ansell mengernyit mengetahui bahwa yang hampir diculik bukanlah wanita itu.
"s**t!" umpatnya, dan memilih meninggalkan wanita itu.
Gwinevere masih mematung menatap sosok pria yang mulai melangkah, menjauh darinya. Hingga punggung Ansell tak dapat dijangkau oleh pandangannya, Gwinevere memilih untuk melanjutkan niatnya pulang ke rumah.
Setelah menaiki lift untuk sampai di basement gedung tersebut, Gwinevere langsung masuk ke dalam mobilnya. Dia mulai menyalakan mesin, sebelum akhirnya menginjakkan kakinya pada pedal gas untuk menjalankan mobil.
Sepanjang jalan Gwinevere terus memikirkan pria bermata biru itu. Andai saja pria itu tidak menariknya ke lorong yang memiliki cahaya minim, pasti Gwinevere bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dan, sebenarnya apa yang sedang dilakukan pria itu?
Setelah menghabiskan waktu hampir dua puluh menit di jalan, Gwinevere pun sampai di rumahnya. Dia segera keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu rumahnya. Gwinevere mendorong daun pintu, lalu masuk ke dalam. Dirinya melihat Bennie sedang duduk di sofa sembari menyalakan televisi.
"Kau sudah pulang?" tanya Bennie saat menoleh sekilas ke arah Gwinevere yang menyusulnya duduk di sofa.
Gwinevere tidak langsung menjawab pertanyaan Bennie. Dia justru meluruskan kakinya. Lalu membaringkan tubuhnya. Menggunakan paha Bennie yang empuk sebagai bantalnya.
"Acaranya membosankan," jawab Gwinevere diiringi helaan napas panjang hingga menarik perhatian Bennie.
"Apa Willene dan Kisha juga ada di sana?"
"Tentu saja. Mereka kan seperti lem, selalu menempel padanya," jawab Gwinevere dengan nada kesal. Dirinya kembali teringat dengan kedekatan kedua adik dirinya bersama ayahnya. Mereka terlihat sangat dekat hingga membuat Gwinevere merasa cemburu.
"Hei!" gertak Gwinevere tiba-tiba membuat Bennie terkejut. Dia langsung bangkit duduk dan menatap Bennie. "Gara-gara kau, mereka terus saja mengolok-olok ku!"
"Gara-gara aku?" Bennie merasa bingung. Seingatnya, dia tidak pernah berbicara langsung dengan kedua adik tiri Gwinevere.
"Iya. Karena kau menyarankan mu untuk memakai gaun ini, mereka terus saja meledekku."
"Mungkin mereka saja yang merasa iri denganmu, Gwen. Karena kau terlihat cantik jika memakai gaun."
"Ck," Gwinevere berdecak kesal, "Bukan itu Ben. Tapi masalahnya ada orang lain yang berpakaian sama persis denganku. Bahkan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dan kau tahu siapa yang melakukannya? Dia anak calon presiden!"
"Mana aku tahu dia juga memakai gaun yang sama denganmu."
Deg.
Gwinevere langsung diam bagaikan patung. Ingatannya kembali pada saat pria itu menariknya. Apakah pria itupun berpikir hal yang sama dengan Bennie? Lalu, apakah yang menjadi tujuannya melakukan itu adalah anak calon presiden yang sedang dia ceritakan? Apakah dirinya hampir saja diculik? Atau dirinya hampir saja terbunuh? Bukankah presiden ataupun petinggi dan pejabat memang menjadi santapan enak untuk hal-hal semacam itu?
"Gwen!"
Gwinevere tersentak saat Bennie menyentuh pundaknya.
"Kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?" tanya Bennie bingung melihat Gwen mendadak diam.
"Aku... tidak apa-apa," jawabnya.
"Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Ben, aku hampir diculik," ucap Gwinevere cepat bahkan saat Bennie belum selesai bertanya.
"What?!" Bennie langsung melebarkan matanya mendengar pernyataan tersebut. "Diculik? Bagaimana bisa Gwen? Lalu... Lalu apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka? Siapa yang hendak menculik mu? Apa kedua adik tiri mu? Atau ibu tiri mu? Atau—"
"Sssttt," Gwinevere menempelkan jari telunjuk pada bibir Bennie supaya berhenti bertanya hal yang tidak penting. Tidak heran jika Bennie selalu bereaksi berlebihan, terlebih itu menyangkut dirinya. Karena Gwinevere tahu, Bennie adalah sosok sahabat dekat yang benar-benar mengkhawatirkan dirinya.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Bennie, lagi. Sembari menjauhkan jari Gwinevere dari bibirnya.
"Aku tidak tahu."
Bennie mengernyitkan keningnya bingung, namun hal itu justru membuat Gwinevere tertawa. Bennie terlihat lucu ketika berekspresi seperti saat ini. Tidak ingin membuat Bennie terus merasa penasaran, Gwinevere pun mulai menceritakan kejadian itu.
***
Ansell mendesah pelan. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya lalu menyulut rokok tersebut. Pandangannya tertuju pada pintu ballroom yang mempunyai dua daun pintu. Sebenarnya Ansell tidak ingin masuk ke dalam meskipun mempunyai undangan yang dapat membantunya masuk. Namun, dirinya tidak ingin melakukan kesalahan lagi. Ansell pun memutuskan untuk masuk ke dalam ballroom.
Dalam sekejap, bola mata Ansell dipenuhi oleh keramaian dalam ballroom. Pandangannya mencari seseorang yang dia maksud dengan cermat. Untung saja tidak banyak yang memakai gaun warna merah. Ansell tersenyum miring, melihat sosok wanita yang memakai gaun warna merah sedang berdiri di tempatnya. Tanpa menunggu lebih lama, ia pun pergi kearah wanita itu.
“Permisi, Nona,” sapa Ansell dengan senyum ramahnya.
Wanita itu menoleh kearah Ansell, dan membalas senyumannya, “Iya?”
“Saya Louise,” Ansell memperkenalkan dirinya. Dia menyebutkan nama sekenanya. itu memang yang dilakukan Ansell jika akan melakukan tugasnya dengan jalan mendekati korbannya lebih dulu.
“Panggil saja Boa,” balas wanita itu dan menerima uluran tangan Ansell sebagai awal perkenalan mereka.
Ansell pun mencoba mengakrabkan diri dengan wanita itu. Percakapan di antara mereka membuat wanita itu merasakan ketertarikan pada Ansell. Hingga di akhir percakapan mereka, Ansell menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.
***
Pria itu memperhatikan seorang wanita yang sedang berbicara dengan empat pengawalnya. Tak lama kemudian, wanita itu berjalan kearah mobilnya sedang empat pengawalnya pergi kearah yang berlawanan. Ansell keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil untuk wanita bergaun merah tersebut.
Setelah memastikan wanita itu masuk ke dalam mobilnya, Ansell pun menyusulnya masuk ke dalam. Dia mulai menyalakan mesin, lalu menginjak pedal gas. Sepanjang jalan Ansell hanya diam memperhatikan jalanan kota. Sesekali ia juga memperhatikan keadaan sekitar jalan melalui kaca spion mobilnya. Berjaga-jaga jika pengawal wanita itu mengikutinya.
“Kita akan kemana?” tanya Boa ingat jika Ansell tidak menanyakan alamatnya.
“Kita akan bersenang-senang sebentar,” jawab Ansell lalu menoleh kearah Boa, “Kau tidak keberatan, kan?”
Wanita itu tersenyum, “Tidak, kok,” jawabnya.
Ansell membalas senyumannya. Ia semakin menambah kecepatan laju mobilnya. Hingga tak lama kemudian, mobilnya masuk ke sebuah pekarangan mansion yang sangat besar. Ansell memarkirkan mobilnya di sana.
Mereka keluar dari mobil bersamaan ketika para pengawal di sana membukanya. Wanita itu terlihat bingung memperhatikan Ansell mendekati seorang pria paruh baya.
“Ini sisa bayaran mu,” ucap pria paruh baya itu sembari memberikan koper berisi uang pada Ansell.
“Selamat bersenang-senang, Nona,” ujar Ansell ketika berjalan kearah mobil.
Ansell memilih untuk segera pergi dari tempat itu. Tanpa mempedulikan umpatan wanita itu yang ditujukan padanya, serta suara gelak tawa penuh kemenangan dari pria paruh baya yang memberikan uang.