Violence - Seven

1205 Words
"Gwen..."Suara Bennie memanggil pelan sembari memperhatikan Gwen yang berdiri tak jauh darinya. Dia dapat melihat temannya kini menangis dalam diam sembari memandang ke arah pintu. Ketika berniat menghampiri Gwen, dia terkejut dan menahan langkahnya. Melihat Gwen berjalan cepat keluar rumah. "Dad." Roy menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang, tepat ke arah putrinya. Sedang Gwen berhenti di depan ayahnya. Kedua matanya menatap ayahnya. "Aku tidak pernah menyesali apa yang telah aku lakukan," ucap Gwen dengan suara yakin serta bergetar untuk menahan suara tangis yang menyesakkan dadanya. "Jangan lupa untuk datang besok," Roy mencoba mengalihkan pembicaraan di antara mereka. "Aku hanya ingin mengetahui kebenarannya, Dad. Hanya itu. Aku..." Gwen mendesah pelan sembari mengalihkan tatapannya sejenak dan kembali menatap ayahnya, "Bahkan aku yakin jika Mommy belum meninggal." "Itu sudah sepuluh tahun yang lalu." "Iya! Dan sebulan setelah kejadian itu kau menikah dengan wanita tak tahu diri itu lalu melupakan tentang Mommy!" Gwen berteriak, tidak mampu lagi menutupi rasa kesal yang dia rasakan selama hampir sepuluh tahun. "Gwen!" Roy ikut membentak, rasa kesal menyalur ke dalam dirinya. "Jangan berbicara seperti itu tentang Mommy-mu!" "Dia bukan Mommy-ku, Dad! Aku masih sangat ingat siapa nama Mommy-ku!" "Hentikan omong kosongmu," ucap Roy memelan, dia melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam mobil tanpa mempedulikan Gwen yang masih berdiri di tempatnya, menatap kepergiannya dalam diam. *** (10.36 p.m) Sedang apa? >DiterimaDiterimaDiterimaDiterimaDiterimaTerkirimDiterimaTerkirimDiterimaTerkirim< *** Gwen tersenyum tipis membaca pesan Ansell. Nampaknya dia berhasil membuat Ansell kesal. Bibirnya masih membentuk senyuman saat jemarinya men-scroll pesan-pesan konyol yang dia kirimkan pada pria itu. Mengganggu Ansell menjadi hiburan sederhana yang cukup membuatnya merasa senang. Ketukan pintu kamar mengganggu kesenangan Gwen. Dia melirik ke arah pintu yang terbuka perlahan. Gwen hanya diam melihat Bennie masuk ke dalam kamar. "Kau yakin kau baik-baik saja?" Bennie menatap cemas pada Gwen. Dia duduk di tepi ranjang sedang Gwen masih berbaring di sana dengan ponsel di tangan kanannya. Bennie menghela napas pelan merasa khawatir pada keadaan Gwen. "Gwen..." "Aku baik-baik saja, Ben." "Kau yakin?" Alis Bennie terangkat. "Ehm," Gwen mengangguk pelan. "Lebih baik kau tidur saja sebelum aku menjadi lebih gila karena melihatmu mencemaskanku." Bennie tersenyum, merasa yakin jika keadaan Gwen sudah lebih baik dari sebelumnya. Yah, seperti itulah temannya. Gwen akan merasa sedikit lebih baik setelah menyalurkan emosinya dengan menangis sambil tertawa layaknya orang gila. "Kau boleh tinggal di sini lebih lama." "Hei, ada apa denganmu?" tanya Gwen meledek mendengar ucapan Bennie. "Daripada kau harus tinggal di mansion bersama dua saudara tiri dan ibu tirimu itu, lebih baik kau di sini saja. Aku tidak ingin kau bernasib sama seperti Cinderella." "Cinderella juga akan bertemu Pangeran, Ben. Apa kau tidak ingin aku juga bertemu pangeranku, hah?" "Bukan seperti itu..." Gwen tertawa pelan. Dia bangkit duduk diiringi helaan napas panjangnya. Kedua tangannya memeluk Bennie membuat temannya sedikit terkejut. "Kau yang terbaik, Ben. Terima kasih," gumam Gwen. "Ooohhh Gwen kau membuatku terharu..." Gwen tertawa saat melepaskan pelukannya, hingga Bennie pun ikut tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD