Tanpa terasa Gwen sudah menghabiskan waktu lebih dari tiga jam di dalam kamar. Memeriksa seisi kamar, sekedar berbaring di ranjang dan menikmati acara televisi. Hidupnya sudah kembali bermalas-malasan seperti dulu ketika semuanya masih utuh. Memang inilah kegiatan sehari-hari Gwen saat masih tinggal di mansion.Gwen menoleh ke arah pintu ketika mendengar ketukan. Menatap datar pada daun pintu yang perlahan terbuka. Perkiraannya benar, bukan saudara tiri maupun ibu tirinya yang datang, melainkan ayahnya. Dia tak membalas senyum ramah yang setiap kali diberikan Roy padanya.
"Daddy langsung pulang saat menyelesaikan rapat, mendengar kau datang," kalimat yang diucapkan Roy menjadi awal perbincangan keduanya.
"Aku hanya ingin mengunjungi tempat ini sebentar," jawab Gwen dan bangkit berdiri menyambut kedatangan ayahnya.
Langkah Roy terhenti di depan Gwen. Dia menyentuh pundak Gwen untuk menarik putrinya dalam pelukan. Gwen hanya diam mengikuti. Dia membalas pelukan ayahnya sejenak.
"Maafkan ucapan Daddy sewaktu mengunjungimu kemarin."
Gwen hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Dia kesal, mungkin lebih diartikan kecewa. Bukan sejak kemarin merasakan hal itu pada ayahnya. Namun sejak lama, ketika memilih untuk lebih pergi dari mansion.
"Kau sudah makan siang?" tanya Roy saat melepas pelukannya.
"Aku akan makan siang di luar."
"Makanlah bersama kami. Mommy-mu juga sudah menyiapkan—"
"Aku ada janji siang ini, Dad. Lagipula aku hanya menunggu Daddy datang sejak tadi."
"Baiklah," gumam Roy dengan nada menahan kecewa. Dia kembali mengelus pundak Gwen. "Daddy akan menyuruh Mommy untuk segera memberikan gaunnya padamu. Jangan lupa untuk memakainya di pesta nanti malam."
Gwen hanya mengangguk. Dia membiarkan langkah Roy menjauh darinya. Meninggalkan kamarnya untuk memanggil Luisa.
Selang beberapa menit, Ayah dan Ibu tirinya memasuki kamar dengan membawa paper bag. Luisa mengulurkan paper bag tersebut dan langsung diterimanya.
"Ini adalah gaunmu yang kami pilih untuk pesta nanti malam," ucap Luisa dengan senyum.
Gwen membuka paper bag, menatapnya sekilas dan kembali menatap ayahnya. Bertingkah seolah tidak ada Luisa di samping ayahnya.
"Terima kasih, Dad. Kalau begitu, aku pamit dulu," pamit Gwen dan melangkah pergi, meninggalkan tempat yang pernah memberikan kenyamanan serta kehangatan.
***
"Aku akan membayarmu penuh jika kau sudah berhasil menculiknya," ucap seorang pria dengan setelan jas yang rapi.
Ansell menatap tumpukan uang dolar di dalam koper yang terbuka. Dia meraih salah satu uang dolar yang sudah tertata rapi.
"Bagaimana dengan tiket pesawat dan biaya hidupku selama di Itali nanti?" tanya Ansell.
"Aku sudah mengurus semua yang kau butuhkan di sana. Aku hanya memberikan waktu dua hari untukmu menjalankan tugas ini. Aku rasa kau tidak akan gagal menculik bocah berusia sebelas tahun dalam waktu dia hari, bukan?"
Ansell tertawa pelan, namun tatapannya berubah tajam. Seolah tidak terima dengan kalimat penghinaan dari pria di hadapannya.
"Kau meremehkanku?"
"Tidak. Tentu saja tidak," jawab pria itu.
Namun perhatian mereka teralihkan sejenak ketika mendengar bunyi yang tak lagi asing. Ansell mengabaikan ponselnya yang berdering. Dia lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada pekerjaannya.
Keduanya pun saling menyetujui. Ansell keluar dari ruangan kerja pemilik perusahaan di gedung tersebut dengan membawa koper berisi uang. Mungkin para karyawan yang melihatnya, berpikir jika dirinya kolega bisnis bos mereka.
Kekuasaan dan kekayaan memang membuat manusia tak beradab menjadi buta. Ini bukan kasus pertama untuk Ansell. Bahkan dirinya dibayar oleh manusia-manusia yang lebih keji darinya.
Leonardo Sorensen, putra pertama dari pemilik Courigne Group, memberikan tugas pada Ansell untuk menculik adik kandungnya sendiri yang sedang menikmati liburannya di Itali. Itu disebabkan oleh ketidakadilan isi surat wasiat mendiang ayahnya yang menyatakan jika 95% saham jatuh pada adik bungsunya, Liam Sorensen. Sedangkan Leo hanya mendapat 5% dari saham perusahaan dan bertugas menggantikan posisi Liam sebagai pemilik perusahaan hingga adiknya beranjak dewasa.
Hal itu membuat Leo menjadi lebih kejam. Bagaimana tidak, dirinya seolah bersikap baik di depan adiknya, namun otak dan hatinya sudah dipenuhi oleh keinginan atas kematian adiknya.
Ansell sangat tahu bagaimana kesuksesan Courigne Group sehingga dia memberikan harga yang tidak sedikit untuk tugas yang sangat mudah baginya. Dia meminta Leo untuk membayar sepuluh juta dolar. Namun nampaknya Leo ingin berhati-hati, takut Ansell gagal dalam menjalankan tugasnya sehingga dia memberikan setengah dari harga yang diminta Ansell sebagai jaminan.
Ansell masuk ke dalam mobil. Tanpa menunggu lama, mobilnya melaju di jalanan. Ansell merasa penasaran karena ponselnya kembali berdering. Dia pun mengambil ponsel untuk mengeceknya. Sebuah kontak berinisial "Sarah" tertera di layar ponsel.
"Halo," sapa Ansell, masih dengan perhatian tertuju pada jalanan kota.
"Kau di mana?" terdengar suara wanita dari seberang.
"Aku akan kembali ke apartemen, Mom."
"Oh..."
"Apa ada sesuatu?"
"Tidak. Mom hanya ingin mengatakan kalau hari ini akan pergi ke minimarket untuk membeli makanan dan perlengkapan lainnya."
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak perlu, Ansell. Mom tahu mungkin kau sedang sibuk, itu sebabnya Mom meminta Belle untuk mengantar Mom."
"Tapi, Mom..." gumam Ansell saat mengingat sesuatu.
"Mom tahu... Mom tidak akan belanja di minimarket di sini. Mom akan pergi ke Haines City."
"Baiklah," Ansell mengiyakan.
Ansell mengerutkan keningnya sedetik saat Sarah memutuskan sambungan telepon. Masih menatap pesan singkat itu di top up tanpa langsung membukanya. Pesan itu dikirim saat dirinya masih berada di gedung perusahaan Courigne.
Sedang apa? Diterima
Kau di mana? Diterima
Pesan itu lagi, dengan pengirim yang sama. Ansell mendesah pelan. Sepertinya dia harus mulai terbiasa mendapat pesan tak penting itu. Tak berniat untuk membalasnya, Ansell lebih memilih meletakkan ponselnya di dash board.
***
Waktu berjalan dengan cepat. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ansell masih berkutik dengan beberapa data di atas meja. Melupakan makan malam, dirinya nampak sangat sibuk dengan pekerjaannya.
Hingga dering ponsel yang terdengar untuk ke sekian kalinya mengalihkan perhatian Ansell. Sudah lebih dari lima kali dia mengabaikan panggil telepon tersebut dengan kontak yang sama. Namun karena merasa terganggu dengan tingkah usil sang penelepon, Ansell pun mengangkat telepon itu.
"Berhenti menggangguku, gadis bodoh!" gertak Ansell dengan nada suara penuh rasa kesal.
Ansell tertegun saat mendengar jerit tangis wanita itu. Dia pun langsung diam.
"Kenapa kau membentakku?!" jerit Gwen dengan isak tangisnya. "Aku kan hanya ingin mendengar suaramu," rengeknya.
Ansell tertegun mendengar dentuman musik yang sangat keras. Bahkan jeritan Gwen seperti terdengar ucapan biasa.
"Kau di mana?" tanya Ansell dan bangkit berdiri.
Namun Gwen tidak menjawab pertanyaannya. Dia justru memutuskan sambungan telepon membuat Ansell terkejut. Merasa sedikit cemas mendengar wanita itu menangis di tempat itu, Ansell berpikir jika saat ini Gwen pasti sedang mabuk.
Dia pun berjalan menuju pintu keluar apartemen dengan sesekali menghubungi Gwen. Namun wanita itu tak kunjung mengangkat teleponnya. Hingga membuat Ansell merasa kesal.
Ansell berlari menuju lift. Dia menekan tombol lantai dasar dan kembali berlari saat keluar dari gedung itu. Ansell masuk ke dalam mobil, lalu melajukannya menuju beberapa tempat diskotik untuk menemukan Gwen.
Ansell sampai di diskotik pertama yang lebih dekat dengan apartemennya. Dia masuk ke dalam untuk mencari Gwen. Namun setelah mengelilinginya, dia tak menemukan Gwen di sana. Ansell pun kembali mencari ke diskotik yang lain, begitu seterusnya.
Sedangkan di suatu tempat nampak wanita cantik bergaun kuning sedang duduk menikmati minumannya. Keadaannya sudah mabuk, bahkan dia meluruskan satu lengan dan menyandarkan kepalanya di atas meja. Pandangannya tertuju pada gelas kaca yang kosong serta ponsel miliknya.
"Nona, aku melihatmu sendirian sejak tadi," ucap seorang pria dan ikut duduk di samping wanita itu. Tangannya nampak bergerak memeluk punggung yang terekspos dengan jelas.
"Kau... siapa?" tanya Gwen dengan suara khas orang mabuk, matanya sudah tak melihat dengan jelas.
Pria itu tersenyum, mendekatkan wajahnya pada Gwen, "Mari kuantar kau pulang, Nona."
"Apa kau pengawalnya Buy?" tanya Gwen diiringi tawa, dirinya benar-benar sudah dibawah kendali alkohol, "Di mana Buy?" Gwen mendongakkan kepala, menengok kanan kiri untuk mencari Ansell.
"Buy?" pria itu mengerutkan keningnya, "Oh, iya... aku pengawalnya. Ayo, kita pulang," ajaknya dan menarik Gwen untuk berdiri.
Dengan senyum nakal penuh kemenangan, pria berkaos biru itu merangkul Gwen. Menuntun wanita itu untuk segera ikut pulang dengannya.
Namun tak sampai lima langkah, pria itu terkejut melihat sosok tubuh berdiri tegap dengan tatapan tajam tertuju padanya. Merasa tak mengenal pria itu dan ingin cepat membawa Gwen ke hotel, dia mengabaikannya. Beberapa kali mencoba pergi namun dihalangi, rasa kesal pun menjalar di otaknya.
"Siapa kau?!!" gertaknya pada pria tak dikenal yang terus menghalangi dirinya dan wanita itu pergi.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu," desis Ansell tanpa mempedulikan apakah suaranya dapat ditangkap oleh indra pendengar pria itu atau tidak.
Tanpa menunggu lama, Ansell pun langsung memukul wajah pria itu hingga membuatnya mundur ke belakang. Gwen yang hampir ikut terjatuh akibat kehilangan keseimbangan pun menabrak dinding dan bersandar di sana.
Perkelahian yang terjadi antara Ansell dan pria asing tersebut cukup menarik perhatian pengunjung. Bahkan sebagian di antara mereka merasa terganggu. Namun Ansell tidak menghiraukannya, dia terus memukul pria itu hingga terbaring di atas lantai.
Ansell mencengkeram kerah kaos pria itu, menarik ke arahnya. Tatapannya masih tajam menusuk ke dalam bola mata pria tersebut.
"Jauhkan tangan kotormu darinya," bisik Ansell tepat di depan wajah dia.
Pria itu hanya terbatuk-batuk akibat pukulan Ansell yang bertubi-tubi. Saat Ansell menjauh darinya, beberapa pria lain yang merasa empati membantu pria asing itu berdiri.
Ansell menghampiri Gwen yang menundukkan wajahnya dengan mata terpejam. Tatapannya memperhatikan gaun malam seksi yang membalut tubuh Gwen. Dia melepas jaket kulitnya, memakaikannya di tubuh Gwen untuk menutupi punggungnya. Dengan langkah perlahan, Ansell memeluk Gwen dan menuntunnya untuk keluar dari tempat berisik tersebut.