Violence - Six

1523 Words
Sarah menoleh ke belakang. Kedua tangannya berhenti menyiapkan beberapa alat makan untuk pesta kecil. Dia melihat Ansell membuka pintu belakang, lalu masuk ke dalam ruangan."Kau akan pergi?" tanya Sarah melihat Ansell meletakkan cangkir teh yang beberapa menit lalu dia berikan untuknya. "Iya. Nanti aku kembali," jawab Ansell, dia tersenyum tipis saat berlalu di depan Sarah. Ansell berjalan ke ruang depan dan keluar rumah. Dia segera masuk ke dalam mobil, lalu melajukan mobilnya keluar halaman untuk bergabung dengan kendaraan yang lain. Ponselnya bergetar untuk ke sekian kalinya, dan masih dengan orang yang sama. Namun, Ansell memgabaikannya. Dia meletakkan ponselnya di kursi sampingnya dan lebih memilih berkonsentrasi dengan keadaan jalanan. Mobilnya berhenti di depan sebuah mini market. Dia membuka pintu lalu keluar dari mobil. Langkahnya tertuju ke arah mini market di depannya. Setelah membeli dua kaleng minuman beer dan sebungkus rokok, Ansell pun kembali masuk ke dalam mobil. Bola matanya melirik ke arah layar ponsel yang masih menyala. "Sampai kapan kau akan terus meneleponku, gadis bodoh?" gumam Ansell diiringi senyum miringnya. Rasanya sangat lucu dan sedikit membingungkan untuk gadis bernama Gwinevere Thompson itu. Gadis itu dengan mudahnya percaya pada dirinya tanpa berpikir harus berhati-hati, dan hal itu yang membuat Ansell merasa lucu serta bingung. Tiga juta dollars bukanlah jumlah uang yang sedikit, bahkan gadis itu terpaksa menjual rumahnya. Ansell melirik kembali pada layar ponsel saat sebuah pesan singkat terlihat di layar. Sebuah pesan ancaman yang tidak ada gunanya, setidaknya begitu pikir Ansell. Dia meraih ponselnya, lalu membuka pesan tersebut. 6.46 p.m>Aku tahu kau ada di mana. Kau pikir bisa lari begitu saja dariku?! Aku akan menangkapmu dan mengambil uangku kembali! Tunggu saja aku.haha Ansell hanya mengabaikan pesan itu. Dirinya berpikir jika Gwen tidak mungkin tahu di mana dirinya berada. Dia pun lebih memilih meletakkan ponselnya kembali dan menyalakan mesin mobil. Melajukan kembali mobilnya ke arah rumah sebelum Alfred dan Belle datang. *** Sinar lampu mobil Ansell menangkap sosok wanita yang baru turun dari sebuah taksi. Ansell pun menepikan mobilnya, dan masih memperhatikan wanita itu, berpikir jika itu Belle. Namun, keningnya berkerut saat menyadari siapa wanita itu yang nampak menahan langkahnya memasuki halaman rumah. Dan lebih memilih bersembunyi di balik semak-semak depan halaman rumahnya. Wanita berjaket merah dengan celana levis panjang, sedang rambut sepundaknya dibiarkan menutupi tengkuk. Pandangan wanita itu seperti sedang memperhatikan halaman rumahnya. Menyadari satu masalah yang akan timbul jika wanita itu berhasil memasuki halaman rumah, Ansell pun segera turun dari mobil. Dia berjalan cepat menuju wanita yang berdiri tak jauh darinya. Nampaknya wanita itu tidak mendengar langkah Ansell hingga perhatiannya tak teralihkan. Gwen terkejut, dia memekik namun suaranya redam dalam bekapan tangan Ansell. Gwen melirik ke belakang, untuk melihat sosok yang mengunci pergerakan tubuhnya. Langkahnya terseret-seret menjauh dari semak-semak saat Ansell menarik tubuhnya. Pria itu mengabaikan perlawanan Gwen. Hingga beberapa saat kemudian Gwen merasakan pria itu berhenti menyeretnya, melepaskan tangan kanan dari mulutnya serta tangan kiri dari pinggangnya. "Apa yang kau lakukan di rumahku?" pertanyaan Ansell seolah tidak ingin memberi celah pada Gwen untuk berbicara lebih dulu. "Untuk me—" "Apa menguntit menjadi hobi barumu?" Ansell menghadap ke arah Gwen. Satu langkah kakinya maju ke depan, ke arahnya. "Tidak! Itu karena—" Gwen tidak melanjutkan kalimatnya ketika merasakan punggungnya menempel sesuatu, yang membuatnya tidak bisa melangkah mundur. Dia menoleh sekilas ke belakang untuk melihat sesuatu yang menahan tubuhnya lalu kembali menatap Ansell. Pria itu tidak berhenti memojokkan Gwen. Bahkan sepasang matanya menatap tajam pada sosok wanita di depannya. "Apa kau tidak takut berurusan denganku?" tanyanya dengan nada suara yang terdengar menakutkan. Seolah memberi ancaman yang begitu besar untuk Gwen. "Kau yang membuatku melakukannya. Kau yang lebih dulu mengingkari janjimu. Aku sudah mem—" Gwen mematung saat pria itu mendekatkan wajahnya, hingga jarak mereka sangat dekat. Gwen dapat melihat dengan jelas sepasang bola mata yang menatapnya begitu tajam. Ansell menyipitkan tatapannya, menyadari respon yang tidak biasa dari wanita di depannya. Wanita itu nampak gugup hingga tidak melanjutkan ucapannya dan lebih memilih mematung, menatap kedua matanya. Apa wanita itu tidak merasa takut padanya? Atau wanita itu tidak begitu tahu tentang dirinya? Dia menatap tajam padanya namun responnya justru menggelikan. Sepertinya Ansell harus memperbaiki raut wajahnya ketika menunjukkan siapa dirinya, dan juga cara menatap tajam pada orang lain. Tubuh Ansell terdorong ke belakang saat Gwen mencoba menjauhkan tubuhnya dari Ansell. "Kembalikan uangku," pinta Gwen, kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket, dan memalingkan wajahnya seolah enggan menatap Ansell. "Sampai kapan kau akan berhenti meminta uangku?" "Uangmu?! Itu uangku, sialan!" Ansell memalingkan wajahnya ketika melihat sebuah mobil memasuki halaman rumahnya. Dia sudah terlambat untuk masuk ke dalam rumah karena Alfred dan Belle sudah datang. "Sial," umpatnya membuat Gwen mengernyit bingung, dan menarik Gwen untuk ikut menatap ke arah yang sama. Namun di sana tidak ada apapun. "Hei!" sentak Gwen berpikir jika Ansell mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. "Kalau kau tidak bersedia mengembalikan uangku, kalau begitu kau harus membantuku," lanjut Gwen saat Ansell kembali menatapnya. "Apa jika aku memilih salah satu, kau akan berhenti menggangguku dan pergi dari sini?" "Iya." "Baiklah." "Ba— Apa maksudmu?" Gwen merasa bingung. Dia tidak mendapat satu jawaban yang pasti dari kata 'baiklah'. "Kau harus datang ke bar Heraquen besok malam." "Jam berapa?" tanya Gwen masih merasa bingung. Ansell tidak langsung menjawab pertanyaan Gwen. Sebelah tangannya justru melambai ke arah taksi yang melaju di jalan. Hingga dia berhasil menghentikan sebuah taksi, Ansell tidak langsung menjawabnya. Tangannya yang lain menarik Gwen dan membukakan pintu, mendesak Gwen untuk cepat masuk ke dalam taksi. "Kau harus pulang sekarang." "Tapi... besok malam jam berapa?" "Antar dia sampai rumahnya," perintah Ansell pada sopir taksi. "Hei... Buy! Jam berapa?!" "Tujuh," jawab Ansell sekilas menatap jam tangannya. *** Taksi itu berhenti di sebuah halaman rumah. Setelah membayar biaya taksi, Gwen pun turun. Namun tidak sampai tiga langkah kakinya bergerak, dia berhenti. Pandangannya memperhatikan sebuah mobil yang tidak asing kini terparkir di depan rumah Bennie. Gwen melanjutkan langkahnya. Dia membuka pintu yang tidak terkunci. Tatapannya menangkap sosok pria paruh baya sedang duduk di sebuah sofa bersama temannya, Bennie. Bennie segera bangkit dan berjalan ke arah Gwen. "Beliau sudah menunggu lama," ucap Bennie dan tersenyum tipis pada Roy sebelum meninggalkan Gwen dengan ayahnya. Gwen tersenyum tipis membalas senyuman hangat Roy padanya. Dia menghampiri Roy dan duduk di sofa yang berseberangan. "Maaf membuatmu menunggu lama, Dad. Apa... ada sesuatu yang terjadi?" tanya Gwen to the point. Roy menatap Gwen sejenak, "Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja?" "Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja," jawab Gwen. "Kenapa kau menjual rumahmu?" Gwen terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. Dia melihat Bennie yang datang dengan membawa segelas jus orange untuknya sedang gelas lain sudah terletak sejak tadi di depan ayahnya. Gwen meminum minuman yang disuguhkan Bennie hingga tersisa setengah gelas. Dirinya masih memilih diam dan menyadari jika sejak tadi ayahnya memperhatikan dirinya. "Apa kau melupakan sesuatu?" Gwen menoleh ke arah ayahnya. Dia memikirkan sesuatu. Hingga beberapa saat kemudian dirinya tertegun. "Iya, aku melupakannya karena ada banyak urusan. Maafkan aku Dad, selamat ulang tahun." "Adik-adikmu sudah menunggumu. Mommy juga sudah menyiapkan gaun untuk kau kenakan di pesta ulang tahun Daddy besok malam. Malam ini datanglah ke mansion, dan menginap di sana." "Akan aku usahakan besok untuk datang. Tapi, aku tidak bisa menginap di mansion." "Kau sudah menjual rumahmu dan sekarang kau akan tinggal di mana?" Gwen tersenyum tipis, namun senyum itu terlihat seolah dipaksakan. "Beberapa hari ini Bennie selalu bermimpi buruk tentang hantu. Bahkan sebelum aku menjual rumahku, dia selalu menggangguku untuk meminta ijin dariku menginap di rumahku. Jadi... aku juga tidur di sini untuk menemaninya." "Begitukah?" Gwen mengangguk, "Iya." Roy nampak diam sejenak. Dia pun menghela napas pelan sebelum akhirnya bangkit berdiri. Gwen menyusulnya berdiri. "Jangan lupa besok malam," ucap Roy seraya mengelus puncak kepala putrinya. Gwen tersenyum seraya mengangguk. Roy pun melangkah menuju pintu. Namun di depan pintu dia berhenti, tubuhnya berbalik menghadap Gwen yang beberapa detik lalu menatap punggungnya. "Daddy belum mendapat jawaban mengapa kau menjual rumahmu," ucap Roy. Dirinya menatap Gwen dalam diam seolah sedang mencari jawaban dari tatapan sepasang bola mata di depannya. "Apa karena mendiang ibumu?" tanyanya dengan nada suara yang sangat pelan. "Aku hanya ingin mendapat jawaban yang pasti, Dad." "Jangan kau korbankan semua milikmu untuk rasa penasaran yang tidak berguna itu, Gwen." Gwen tersenyum tipis, dan mengangguk kaku. Airmata mulai berlinang di pelupuk matanya, hingga membuat pandangannya menjadi buram. Bersamaan dengan Roy membalikkan tubuhnya untuk kembali melanjutkan langkahnya pergi, airmata Gwen menetes. Kedua telapak tangan Gwen mengepal, seolah menyalurkan emosi yang merambat di hatinya. Pandangannya tak teralihkan dari ambang pintu yang nampak kosong, menyisakan bayangan ayahnya. Mengapa ayahnya berubah? Seolah tak lagi peduli pada mendiang ibunya dan dirinya? Mengapa ayahnya percaya begitu saja hasil pemeriksaan polisi yang tidak masuk akal? Dan mengapa ayahnya sangat mudah menggantikan posisi mendiang ibunya dengan orang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu yang membuatnya memberi jarak pada ayahnya. Terlebih lagi ayahnya terlihat sangat baik-baik saja setelah dirinya pergi dari mansion dan lebih memilih tinggal sendiri. Gwen?! Bahkan cara Roy memanggilnya pun sangat berbeda. Biasanya Roy akan memanggilnya dengan nama Queen seperti cara mendiang ibunya memanggil Gwen. Satu tahun tidak bertemu dengan ayahnya saja sudah membuatnya semakin berubah. Gwen tidak menyangka satu tahun yang lalu adalah terakhir kalinya dia mendengar ayahnya memanggil dirinya dengan sebutan Queen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD