Violence - Five

1533 Words
Dering ponsel terdengar nyaring mengisi ruangan, namun hal itu tak mampu membuatnya tersadar dari mimpi. Dia masih tertidur nyenyak di sofa depan televisi. Kedua tangannya telentang ke arah yang berlawanan sedangkan satu kakinya dia tekuk di atas punggung sofa. Rambut pendeknya menjuntai ke bawah namun tak sampai menyentuh lantai. Inilah kegiatan barunya, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur di rumah sahabatnya, Bennie. Tak tahu lagi harus melakukan apa karena telah menjual rumah serta kafe yang menjadi sumber penghasilannya. Sebelah tangannya bergerak, hingga mengenai gelas kaca yang dia letakkan beberapa jam lalu di atas meja. Kedua matanya pun terbuka lebar dalam hitungan detik saat mendengar benda jatuh. Dia terduduk, terkejut. Sedang kepalanya menoleh ke arah pecahan gelas yang berserakan di atas lantai. "Sial," umpatnya kesal sembari menggaruk-garuk kepalanya, membuat rambut cokelat keemasannya semakin berantakan. Gwen bangkit dari sofa, berjalan ke arah pecahan gelas. Dia memungut pecahan-pecahan itu dengan sangat hati-hati dan mengumpulkannya di atas meja. Masih dengan wajah kusutnya, dia menundukkan kepalanya hingga dagu menyentuh lututnya. "Kepalaku masih pusing," gumamnya mengingat telah minum beberapa gelas beer sebelum akhirnya tertidur. "Jika bukan aku, pasti sudah menjadi orang gila," sambungnya mengingat kekesalannya pada seorang pria yang telah kabur membawa uangnya, setidaknya seperti itu. Perhatian Gwen teralihkan ketika mendengar ponselnya kembali berdering. Dia pun segera meraih ponsel di atas meja tepat di samping botol minuman. Melihat kontak nama yang tertera di layar ponselnya, Gwen segera berdiri dan langsung mengangkat telepon. "Kenapa kau baru menghubungiku, sialan?!" gertak Gwen kesal tanpa mempedulikan pria itu. "Sekarang kau di mana?!" "Di depan rumahmu." "Apa?!" Gwen terkejut, dirinya segera berlari ke arah pintu depan dan membukanya, pandangannya mengelilingi sekitar namun tak menemukan seseorang. Hingga akhirnya dia sadar jika saat ini sedang berada di rumah Bennie. "Kau-kau-kau di mana?" tanya Gwen yang tiba-tiba menjadi gugup, dia berjalan keluar rumah dengan hanya mengenakan celana pendek dan kaos lengan pendek berwarna biru. Sedang tangannya yang lain merapikan tatanan rambutnya. "Rumahmu terjual dengan cepat." Gwen menghela napas pelan. Dia merasa ucapan pria itu menyindirnya. "Kau tunggu di sana. Aku akan segera sampai. Pokoknya kau tidak boleh pergi, mengerti?!" ucap Gwen dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu berlari cepat menuju rumah lamanya. Beberapa kali Gwen hampir menabrak orang lain yang berlalu lalang di sekitarnya. Dia hanya mengucapkan maaf tanpa menghentikan larinya. Hingga beberapa menit kemudian Gwen sudah sampai pada tujuannya. Dirinya terengah-engah saat berhenti berlari dan berjalan pelan ke arah seorang pria. Pria itu masih berdiri di tempatnya, menatap Gwen dengan seksama. Sebelah tangannya dia masukkan ke dalam saku celana jeans-nya sedang tangan yang lain dibiarkan lurus ke bawah. Kaos putih polos dengan lengan pendek membalut tubuhnya. Ansell telah melepas jaket kulitnya dan meletakkannya di dalam mobil. "Kau membuatku membuang sepuluh menitku yang sangat berharga," ucap Ansell sebagai kalimat sapaan ketika Gwen sudah berdiri tepat di hadapannya. "Aku sudah menghubungi lebih dari sepuluh kali. Lalu kenapa kau baru datang? Kau juga membuatku menunggu berjam-jam," balas Gwen masih dengan tatapan kesal. Gwen mendesah pelan melihat Ansell seolah-olah mengabaikan ucapannya. "Aku ingin bicara denganmu," ucap Gwen mencoba masuk pada intinya. "Sejak tadi kau sudah bicara denganku, bukan?" "Aku sudah membayarnya. Aku sudah mengirimkan uang ke rekeningmu. Sekarang kau harus membantuku." "Aku hanya memberimu batas waktu hingga dua hari, dan kau sudah lebih dari batas waktu. Jadi, aku tidak akan menerima tawaranmu." "Apa?!" Gwen terkejut mendengar jawaban Ansell, "Tapi aku sudah membayarmu, Sialan." "Itu bukan urusanku." Ansell tersenyum miring. Dia berjalan ke arah mobil. Sebelah tangannya membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam. Namun saat dirinya hendak menutup pintunya, Gwen menahan daun pintu mobil Ansell dengan kedua tangannya. "Kalau begitu," ucap Gwen membuat Ansell menatapnya, "Kembalikan uangku. Kembalikan tiga juta dolar milikku." "Aku tidak memintamu membayarku setelah batas waktu bukan? Lalu untuk apa kau meminta uangku?" jawab Ansell. Dia menangkis kedua tangan Gwen yang menahan pintu mobilnya. "Dasar pria pembohong! Kembalikan uangku!" teriak Gwen sembari memajukan tubuhnya. Dia memegang kaos Ansell dan menariknya keluar dari mobil. Bahkan tak jarang satu tangannya bergerak memukul d**a Ansell. Ansell pun keluar dari mobil. Namun dia segera melepaskan kedua tangan Gwen dari kaosnya. Dia juga mendorong wanita itu untuk mundur, seolah menjaga jarak darinya. "Seharusnya kau tidak langsung mentransfernya, wanita bodoh," jawab Ansell. "Itu karena aku percaya padamu, sialan! Aku sama sekali tidak berpikir kau akan membohongiku! Tapi apa yang aku lihat? Kau bahkan tidak mau mengembalikan uangku dan menolak untuk membantuku! Kau memerasku!" gertak Gwen dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat marah pada pria di hadapannya. Karena mempercayai pria itu, dirinya rela menjual rumah dan kafenya. Karena mempercayai pria itu, dia hingga merepotkan sahabatnya. "Itu masalahmu yang mudah percaya pada orang lain," jawab Ansell pelan, nyaris tak terdengar oleh gendang telinga Gwen. Gwen masih mematung mendengar ucapan Ansell hingga tak sadar jika pria itu sudah masuk ke dalam mobil. Suara mesin itu menyadarkan Gwen. Dia tertegun melihat mobil Ansell mulai bergerak menjauh meninggalkan dirinya. "Hei! Berhenti!" teriak Gwen dan berlari mengejar mobil tersebut. "Berhenti kau, sialan!" teriak Gwen sambil terus berlari mengejar mobil Ansell yang semakin jauh. "Aakkh," Gwen memekik saat kakinya tersandung. Lutut dan telapak tangannya pun mencium aspal jalanan. Dia meringis pelan sembari bangkit berdiri. Masih menatap mobil yang baru saja dikejarnya meskipun pandangannya mengabur akibat airmata yang memenuhi pelupuk matanya. "Aku akan terus mengejarmu sampai aku mendapatkan uangku kembali, Buy," desis Gwen ketika pandangannya tak lagi menjangkau bayangan mobil Ansell. *** Ansell memarkirkan mobilnya di sebuah halaman rumah. Merasa enggan untuk segera keluar dari mobil, Ansell justru menyandarkan punggungnya. Dia merogoh saku celana, mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebuah kartu nama ada dalam genggamannya. Ansell terdiam menatap kartu nama bertuliskan Gwinevere Thompson. Kartu nama itu sudah terlihat tak baru lagi. Namun entah mengapa dirinya masih menyimpan kartu nama tersebut. Itu karena aku percaya padamu, sialan! Aku sama sekali tidak berpikir kau akan membohongiku! Tapi apa yang aku lihat? Kau bahkan tidak mau mengembalikan uangku dan menolak untuk membantuku! Kau memerasku! Kalimat itu kembali terngiang di kepalanya. Jika ada seseorang yang mempercayainya, apa dirinya pun bisa mempercayai orang lain? Kenapa wanita itu langsung percaya padanya padahal baru mengenal dirinya? Helaan napas panjang keluar dari bibir Ansell. Dia pun memasukkan kembali kartu nama itu ke dalam saku celananya dan menangkis pikiran-pikiran yang berhubungan dengan wanita bernama Gwinevere Thompson tersebut. Ansell menoleh ke arah samping ketika mendengar kaca mobilnya diketuk dari luar. Dia melihat seorang wanita paruh baya tersenyum padanya. Ansell tersenyum, membalas senyuman hangat wanita itu. Tak menunggu lama untuknya membuka pintu mobil. Ansell segera keluar dari mobil. Dirinya di sambut oleh pelukan hangat serta kecupan singkat di pipinya. "Kenapa kau tak langsung masuk ke dalam?" tanyanya dengan nada suara ramah. Dan Ansell sangat menyukai cara wanita itu berbicara. "Maafkan aku karena sudah membuatmu menunggu lama, Mom." Wanita itu tersenyum lagi sembari menggelengkan kepalanya. Kini sebelah tangannya melingkar di pinggang Ansell. "Tidak apa-apa. Sekarang sudah waktunya makan malam," ucap wanita itu mengingatkan karena hari mulai petang. "Baiklah, ayo," Ansell ikut merangkul. Kini keduanya pun berjalan memasuki sebuah rumah. *** Wanita yang dikenal bernama Sarah itu menghentikan langkahnya. Dia tersenyum tipis dengan dua cangkir di tangannya. Tatapannya terpaku pada sosok punggung yang nampak kokoh. Langkah kakinya mengalun pelan, menghampiri seorang pria yang memanggilnya dengan sebutan "Mom". Dia mendekat pada Ansell dan berdiri tepat di sampingnya. "Teh mint, kesukaanmu," tawar Sarah dan menyodorkan secangkir teh yang ada di tangan kanannya. Ansell menoleh. Dia menatap cangkir dan ibunya bergantian, lalu menerima cangkir tersebut. "Terima kasih, Mom." Sarah membalasnya dengan senyuman. Dia memperhatikan Ansell yang kembali menatap genangan air di depannya. Tangannya mendekatkan cangkir itu ke arah mulut lalu menyesapnya perlahan. "Kau akan bermalam di sini?" tanya Sarah memecahkan keheningan. "Iya," jawab Ansell singkat. Sesekali dia menyesap teh itu. "Malam ini Alfred dan Belle akan datang." Ansell tertegun mendengar ucapan Sarah. "Belle sudah pulang?" tanyanya. "Iya. Itu sebabnya mereka akan datang kemari. Mungkin jam delapan mereka akan datang." "Apa akan ada perayaan menyambut gadis itu?" Sarah tertawa pelan mendengar nada bicara Ansell seolah menyindir Alfred dan putri kesayangannya, Belle. "Apa aku harus mengatakan pada Belle kalau kau datang malam ini dan akan menginap di sini?" "Kau tahu Mom kalau aku lebih memilih tidur di tengah hutan daripada harus berada di sini untuk bertemu dengannya," jawab Ansell sambil melirik ke arah kebun yang dipenuhi pohon lebat di depannya. "Lalu, apa keputusanmu masih sama?" tanya Sarah. "Dia tidak mungkin datang kemari. Aku akan berada di sini sampai mereka pulang nanti." "Baiklah," Sarah berbalik, berniat meninggalkan Ansell di halaman belakang. "Mom," panggil Ansell dan menoleh ke belakang saat Sarah mulai melenggang menjauh. Sarah pun menghentikan langkahnya, dia ikut menoleh ke arah Ansell. Ansell terdiam sesaat. Dirinya bingung harus mengeluarkan kalimat pertanyaan seperti apa. Dirinya hanya ingin tahu alasan mengapa Gwen mempercayainya. "Jangan lupa mengunci pintunya," ucap Ansell pelan lalu kembali menatap ke depan. Dia tidak bisa bertanya hal itu pada ibunya. Dirinya sama sekali tidak pernah menanyakan hal seperti itu pada orang lain. Dan dia tidak ingin terlihat bodoh hanya karena itu. Sarah tersenyum pelan, menatap Ansell. Meskipun tahu ada sesuatu yang telah mengganggu pikiran putranya, dia tidak ingin menanyakan apapun. Karena kebiasaan Ansell selalu lebih memilih waktu sendirinya di depan sungai kecil yang berada di halaman belakang rumah. Dan di saat Ansell di sana, tentu saja ada sesuatu yang telah mengganggu pikirannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD