Suasana taman Champ De Mars malam itu begitu ramai. Banyak orang yang menghabiskan malam bersama orang terkasih di salah satu landmark kota Paris kala itu. Ali menggenggam tangan Sisi dengan erat. Mengajaknya berkeliling ke sekitar taman.
"Mas, kapan kita naiknya? Masa dari tadi muter-muter disini aja sih?"
Ali menahan senyumnya mendengar protes dari Sisi. Pria itu berpura-pura tidak mendengar ucapan Sisi. Ali melepaskan tangan Sisi. Lalu menuju ke tempat penjual kembang gula.
"Mas! Mas Ali!" Sisi menghentakkan kakinya kesal karena Ali malah meninggalkannya.
Ali menghampiri penjual kembang gula. Membeli dua buah kembang gula untuknya dan Sisi. Ali pikir Sisi akan senang. Istri pembangkangnya itu akan suka. Dia kan serakah dan suka makan, batin Ali.
Pria itu membawa dua buah kembang gula pesanannya. Kemudian mengucapkan terima kasih pada si penjual. Ali berbalik, hendak kembali ke tempat Sisi.
Namun matanya seketika terbelalak saat melihat Sisi tidak ada di tempat tadi ketika dia meninggalkannya. Sontak Ali pun menjadi cemas. Pria itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman.
Mencari-cari keberadaan istrinya, Ali berlari menyelusuri taman sembari memanggil-manggil nama Sisi. Hatinya gelisah, dia takut. Takut Sisi hilang, takut Sisi tidak kembali.
Kembang gula yang tadi dia beli terjatuh ke tanah. Tubuh Ali mendadak lemas karena tidak bisa menemukan Sisi dimanapun.
Namun sesaat kemudian Ali teringat jika dia membawa ponsel. Mungkin saja dia bisa menghubungi Sisi dengan ponselnya.
Ali menempelkan ponselnya ke telinga. Diiringi debaran dadanya yang terdengar begitu keras. Nafasnya tersenggal-senggal tak beraturan. Kakinya gemetaran, namun Ali berusah bertahan agar tidak roboh ke bawah.
Baru saja nada tunggu dari nomor Sisi terdengar, Ali membulatkan matanya. Pria itu segera membatalkan panggilan ke nomor Sisi. Matanya mendelik jengkel melihat sosok Sisi duduk di bawah pohon tak begitu jauh darinya.
Ali menggertakkan giginya menahan kesal. Dia berlari kesanakemari mencari Sisi. Tapi malah wanita itu duduk di kursi dengan santai sambil memainkan ponselnya.
Rambut panjangnya yang terurai, terlihat sangat indah. Diterbangkan dengan lembut oleh angin-angin nakal. Ali fokus menatap wajahnya yang begitu cantik saat terkena sinar rembulan kota Paris.
Jemari lentiknya berputar di layar ponsel. Mengerjakan entah apa. Ali tertegun cukup lama. Menikmati pemandangan yang sepertinya cukup lama tidak dia lihat. Pria itu sedikit heran, padahalkan selama ini dia selalu memandangi Sisi tiap malam saat wanita itu tertidur.
Tapi tidak tau kenapa saat ini rasanya berbeda. Ali seperti melihat sesuatu yang benar-benar berbeda dari sosok Sisi. Dia.... rindu. Ya, benar. Ada rindu yang sangat kuat saat melihat sosok itu. Rindu yang begitu menyesakkan dadanya.
Tanpa sadar Ali melangkah perlahan mendekati sosok itu. Matanya menatap lurus ke depan. Tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya. Tidak juga berkedip sekalipun. Seolah-olah saat dia memejamkan matanya sedetik saja, sosok itu akan menghilang untuk selamanya.
"Mas!"
Ali tersentak kaget. Tiba-tiba tubuh pria itu limbung. Seolah baru saja dibangunkan dari mimpi yang panjang, Ali menganga. Tertegun. Seperti orang bodoh.
Di sebelahnya, Sisi terlihat kebingungan dengan sikap suaminya. "Kenapa Mas?" tanyanya.
Ali menatap horror wanita itu. Pandangannya beralih ke bawah pohon. Dan hilang. Sosok Sisi yang dia lihat duduk di kursi itu hilang.
"Mas... kenapa?" Sisi memegangi wajah Ali yang terlihat seperti orang i***t.
Sementara yang ditanya masih termanggu. Tidak bergerak sedikitpun. Pikirannya melayang-layang entah kemana. Sisi pun jadi cemas melihat sikap Ali.
Wanita itu mengguncang badan Ali. Menepuk-nepuk pipinya. Berusaha menyadarkan Ali dari tatapan kosongnya. "Mas... Mas Ali! Mas kenapa?"
Sisi mendesah lemah. Kenapa Ali bisa jadi bertingkah aneh seperti itu? Apa suaminya itu kerasukan makhluk halus? Sejak tadi Ali menatap ke bawah pohon besar di sekitan taman.
"Mas... Mas kenapa? Jangan bikin aku takut," ucap Sisi cemas.
Wanita itu memeluk Ali dengan erat sembari menangis. "Maafin aku Mas. Maaf... aku janji nggak akan pergi tanpa pamit kayak tadi," isaknya.
"Sisi..."
Sisi mendongak menatap suaminya. Wanita itu mengusap pipi Ali dengan lembut. "Iya, Mas. Aku disini," bisiknya.
Ali langsung mendekapnya erat. Seolah tak ingin kehilangan Sisi. Pria itu menciumi puncak kepala Sisi. Sejuta pemikiran menumpuk di kepalanya. Bukankah tadi dia melihat Sisi duduk di bawah pohon sambil memainkan ponselnya. Tapi kenapa tiba-tiba wanita itu sudah berada di sampingnya?
Bukankah itu aneh?
***
Ali memejamkan matanya. Dia kembali mengingat sosok yang dia lihat tadi. Dia duduk di bawah pohon dengan rambut terurai panjang sambil memainkan ponsel. Rambut?
Dia ingat sekarang. Sisi yang dia lihat di bawah pohon tadi tidak memakai jilbab. Rambutnya terurai panjang. Ali terperangah saat sebuah pemikiran hinggap di kepalanya.
"Selly?" lirihnya.
"Selly siapa, Mas?"
Ali tersentak kaget saat melihat Sisi berada di hadapannya sembari membawa sebuah nampan di tangannya. Meletakkan nampan berisi secangkir minuman ke meja di depan Ali, Sisi duduk di sofa tepat di samping pria itu.
"Diminum dulu, Mas. Aku buatin coklat hangat," ujarnya.
Ali mengangguk pelan, namun tidak menjawab ucapan Sisi. Pria itu meneguk habis coklat hangat yang dibuatkan oleh Sisi. Dan itu sontak memancing keterkejutan Sisi. Wanita itu ternganga melihat coklat hangat dengan asap mengepul di atasnya kini tandas diminum Ali.
"Mas... itu tadi masih panas!" seru Sisi.
Ali menoleh padanya dengan tatapan datarnya. Pria itu menarik pinggang Sisi mendekat. Kemudian pria itu mendaratkan bibirnya di atas bibir Sisi tanpa basa-basi. Ali menciumnya dengan kasar, seolah menuntaskan rindu.
Sisi hanya bisa pasrah saat Ali menarik jilbabnya, juga ikat rambut yang dipakainya. Hingga rambut panjang wanita itu jatuh tergerai ke bawah. Ali menatap Sisi dengan lekat.
Bibirnya kembali mendarat di atas bibir Sisi. Malam itu, Ali menyentuh Sisi sambil membayangkan sosok yang begitu dia rindukan selama bertahun-tahun.
***
"Mas..." Sisi mengguncang tubuh Ali yang sedang tertidur di sampingnya.
Ali menggeliat pelan. Membuka matanya perlahan. Menatap Sisi yang sedang berbaring miring menghadapnya. "Kenapa?" tanyanya serak.
"Udah masuk waktu sholat subuh belum ya?"
Ali meraba ponselnya yang berada di atas nakas. Pria itu mengangguk pelan, "Udah jam enam. Udah masuk subuh."
Sisi bangkit dari ranjang. Mencari-cari bajunya yang dibuang oleh Ali ke bawah lantai. "Aku yang mandi dulu atau Mas Ali mau duluan?" tanyanya pada Ali yang masih bersandar di ranjang.
"Kamu duluan aja, Sayang. Aku mau telfon Aisha dulu."
Tubuh Sisi membeku. Hatinya terasa diremas kencang. Untuk pertama kalinya Ali mengucapkan panggilan sayang untuknya. Seharusnya Sisi merasa bahagia, namun entah kenapa justru dia ingin menangis.
Sisi merasa Ali sedang memanggil orang lain. Panggilan itu dia ucapkan dengan nada biasa, tanpa beban. Seolah sudah terbiasa mengucapkan kata itu.
"Si... kenapa?" ucap Ali cemas ketika tanpa sengaja melihat mata Sisi yang berkaca-kaca.
Sisi membalas dengan gelengan lemah. Wanita itu buru-buru masuk ke kamar mandi. Tubuh Sisi meluruh ke bawah saat pintu kamar mandi tertutup rapat. Dia tidak suka, hatinya sakit ketika Ali memanggilnya dengan sebutan itu. Karena sebutan itu bukan untuknya.
***
"Mas, kamu masih marah sama aku ya?" ujar Sisi kepada Ali saat mereka berada di cafe bandara. Menunggu keberangkatan pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Indonesia.
Ali diam saja tidak menjawab. Pria itu fokus pada ponselnya. Sisi mendesah pelan, "Maaf, Mas. Aku janji deh nggak akan gitu lagi," lirihnya.
"Nggak akan ada lain kali! Aku nggak akan bawa kamu ke Paris lagi. Mending liburannya di Sidoarjo aja!" balas Ali ketus.
"Kenapa di Sidoarjo, Mas? Emang di Sidoarjo ada wisata apa?"
"Ada tuh, lumpur Lapindo! Biar ntar kalo kamu hilang lagi, tinggal cemplungin disitu!"
Sisi cemberut mendengar ucapan suaminya. "Jahat banget, Mas. Masa aku mau dicemplungin ke lumpur!" gerutunya.
Sudut bibir Ali berkedut menahan senyuman yang hampir lolos ketika melihat wajah cemberut istrinya itu. "Biar kapok! Biar nggak hilang-hilang lagi! Bikin orang panik aja!" balasnya.
"Ya maaf. Kan kemarin itu aku pengen banget naik ke atas menara Eiffel. Mas Ali juga sih ngajak aku muter-muter. Mana aku nunggu Mas beli kembang gulanya lama banget. Jadi aku nekat naik sendiri," jelas Sisi pada Ali.
Ali mengetok kepala Sisi yang tertutup jilbab berwarna biru muda. Membuat wanita itu mendesis kesakitan. Sisi mencebik "Sakit, Mas!"
"Makanya lain kali bilang dulu kalo mau kemana-mana! Kebiasaan deh, hilang-hilang mulu! Awas ya, jangan pergi lagi dari aku! Jangan hilang tanpa ngasih tau aku! Jangan pergi," ucap Ali seraya menatap Sisi lekat.
Sisi mengangguk pelan. "Insyaallah, kalau Allah SWT menghendaki. Aku nggak bisa janjikan sesuatu yang nggak aku ketahui akhirnya," balasnya.
Suara pengumuman keberangkatan dari petugas bandara memutuskan kontak mata mereka. Ali bergegas mengambil tas tangan Sisi yang ada di kursi sampingnya. Berdiri sambil membawa tas Sisi, Ali mengulurkan tangannya pada wanita itu. "Ayo kita pulang!" ujar Ali.
Sisi menatap tangan Ali lama. Wanita itu tersenyum tipis, kemudian menyambut tangan Ali. Kemanapun kamu membawaku, aku akan ikut, Mas. Sekalipun itu ke dalam jurang penderitaan yang penuh dengan rasa sakit sekalipun.
***
Ali berjalan mendahului Sisi sembari mendorong koper besar berisi barang-barang mereka. Sementara Sisi berada di belakangnya. Mata Ali berkeliling mencari-cari penjemput mereka di bandara.
"Itu Pak Yoyok!" Ali menunjuk seorang pria paruh baya yang berdiri di pintu kedatangan.
Sisi mengangguk pelan. Matanya bersinar melihat si kecil Aisha yang digandeng Pak Yoyok. Wanita itu mempercepat jalannya. Dia sudah sangat merindukan putrinya. Seminggu tidak bertemu Aisha membuatnya rindu akut.
"Daddy!" teriak Aisha saat melihat Ali datang bersama Sisi. Bocah itu berlari saat Ali melambai padanya.
Ali tersenyum bahagia karena bisa kembali melihat Aisha. Pria itu sudah berjongkok hendak menangkap tubuh Aisha yang berlari ke arahnya.
"Daddy!" pekik Aisha senang.
Mata Ali membulat saat Aisha menepis tangannya dan berlari ke arah Sisi. Menubruk tubuh wanita itu. Memeluknya begitu erat. Sisi mengangkat tubuh Aisha ke atas. Menggendongnya sembari menciumi pipi Aisha dengan gemas.
"Bunda kangen sama Ai, Nak. Kangen banget. Ai ikut jemput Bunda juga ya?"
Aisha mengangguk. Bocah itu terkekeh geli diciumi Sisi seperti itu. Bocah itu melingkarkan tangannya ke leher Sisi. Kepalanya bersandar dengan nyaman di bahu Sisi. Dia juga rindu mommy tirinya.
Ali cemberut melihat Aisha dan Sisi. Pria itu melayangkan protesnya pada Aisha, "Ai kok peluknya Bunda, sih? Kan Daddy duluan yang panggil Ai!"
Aisha tertawa renyah. "Soalnya Ai nggak kangen sama Daddy!" ledeknya. Bocah itu menjulurkan lidahnya pada Ali.
Sisi tertawa geli melihat wajah manyun Ali. Wanita itu menoleh saat mendengar suara langkah orang mendekat. "Papa... " Sisi menghampiri mertuanya. Mencium punggung tangan Papa Ali.
Erik menepuk-nepuk kepala Sisi dengan lembut sembari tersenyum. "Kamu pulang, Nak."
Sisi mengangguk. "Iya Pa," balasnya.
"Ya udah. Kita ngobrol di rumah aja ya! Mama kamu udah nunggu
dari tadi."
Sisi tersenyum. Dia begitu bahagia memiliki mertua seperti Erik dan Wanda. Mereka orang-orang baik. Begitu tulus padanya. Bisa menerima menantu seperti Sisi. Wanita biasa yang dulu berstatus sebagai anak sopir mereka. Bersikap baik, bahkan sangat baik menurut Sisi.
Wanda dan Erik memperlakukan Sisi seperti anak mereka sendiri. Meskipun Sisi merasa Erik dan Wanda menyembunyikan sesuatu darinya. Beberapa kali Sisi memergoki mereka memandanginya tanpa sebab.
"Ayo, Nak!" ucap Erik pada Sisi.
Sisi mengangguk pelan. Mengikuti langkah Erik. Sementara Ali berjalan bersama Pak Yoyok, sopir mereka. Mengurusi barang bawaan mereka dari Paris.
***
Tubuh Ali membeku saat menerima pesan dari detektif sewaan yang dia pekerjakan seminggu lalu untuk menyelidiki sosok wanita yang dia temui di Paris. Hatinya gelisah tiap malam, dia sungguh penasaran siapakah sosok yang dia lihat saat itu.
Akhirnya, didorong rasa penasaran yang semakin menjadi, pria itu membayar seorang detektif untuk menyelidiki sosok itu.
Dia menyerah pada akhirnya. Hal yang dia tahan selama lima tahun pun dia keluarkan seminggu lalu. Dulu saat resmi bercerai dengan Selly, Ali memutuskan untuk menahan diri dari rasa penasaran akan keberadaan wanita itu.
Sebenarnya bisa saja dulu dia menyuruh detektif untuk mencari keberadaan Selly seperti saat ini. Tapi saat mendengar sendiri dari mulut Selly agar Ali tidak mencarinya lagi, pria itu pun pasrah. Ali menuruti kemauan Selly untuk melepaskannya.
Ponsel yang dipegang Ali jatuh meluncur ke lantai dengan kerasnya. Jadi benar? Saat itu yang dia lihat adalah... Selly?