Chapter 11 : Serpihan Kecil Hati

1670 Words
Sisi bersandar lemah di kitchen set. Sesaat tadi dia merasa tubuhnya limbung, hampir terjatuh. Kepalanya berputar-putar. Tubuhnya lemas tak bertenaga. Lidahnya terasa pahit. Perutnya juga bergejolak tak nyaman, membuatnya mual. Sudah tiga hari ini Sisi mengalaminya. Dia mengira semua itu pasti karena tekanan darah rendah yang sering dia alami ketika sedang kelelahan dan tidak makan teratur. Selama di Paris, Sisi memang hanya makan sedikit saja. Karena dia tidak begitu menyukai masakan khas kota romantis itu. Meski semahal apapun harga makanan yang dibeli oleh Ali, menurut Sisi lebih enak rendang buatan ibunya. Sisi jadi teringat ibu juga ayahnya yang kini berada di Jogjakarta. Mereka memutuskan untuk pulang ke kampung halaman mereka setelah Sisi menikah dengan Ali. "Si..." Suara Wanda menyentak Sisi dari lamunannya. Wanita itu menghampiri Sisi yang memejamkan mata sembari bersandar di kitchen set. "Pusing lagi?" Wanda mengusap kepala Sisi yang berbalut jilbab panjang berwarna merah muda. Sisi mengangguk begitu lirih. Kepalanya masih terasa berputarputar. "Iya, Ma." "Kalo gitu kamu nggak usah jemput Aisha. Biar Mama aja yang jemput. Kamu istirahat di rumah aja, Nak!" "Sisi gapapa kok, Ma. Sisi masih kuat jemput Aisha. Lagian kan ada Mas Ali yang nganter," ujar Sisi. "Beneran gapapa, Si? Kamu istirahat aja deh! Biar Mama nanti naik taksi aja buat jemput Aisha." Sisi tersenyum tipis pada Wanda, "Gapapa, Ma. Biar Sisi aja. Aisha kan minta jemput Sisi. Kasihan nanti kalo Aisha tau bukan Sisi yang jemput. Dia bisa kecewa, Ma." Wanda menghela nafas panjang. Dia kembali membalas ucapan Sisi, "Ya udah deh. Kamu hati-hati ya! Ini nunggu Ali jemput kan?" Sisi mengangguk. Lalu melihat jam tangannya. "Iya. Kayaknya bentar lagi Mas Ali jemput. Sisi ke atas dulu ya, Ma. Mau ganti baju," pamitnya. "Hati-hati, Nak!" ucap Wanda yang dibalas anggukan oleh Sisi. Dengan berhati-hati, Sisi menaiki tangga dan menuju ke kamarnya. Mengambil ponselnya di atas ranjang, Sisi menghubungi suaminya. Ali tidak menjawab teleponnya. Sisi kembali mencoba menghubunginya, namun Ali tidak juga menjawabnya. Hingga delapan kali Sisi mencoba menghubungi Ali. Namun tidak sedikitpun mendapatkan respon. Sisi menghela nafas panjang, "Mungkin Mas Ali lagi sibuk. Apa aku sms aja ya?" ujarnya. Sisi mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada Ali. Kemudian wanita itu bangkit menuju lemari dan berganti baju. *** Ritz Paris Hotel, room 405. Dia menginap disana selama ada pekerjaan di Paris. Pesan yang masuk ke smarphonenya membuat jantung Ali berdebar kencang. Setelah sekian lama, akhirnya dia mendapatkan informasi keberadaan Selly. Dia tau posisi Selly saat ini. Dan dia sangat ingin bertemu dengan wanita itu. Melihat wajahnya lagi, memeluk tubuhnya seperti dulu. Dan itu semua bisa menjadi kenyataan jika Ali pergi ke Paris sekarang. Mumpung Selly masih berada disana. Bangkit dari kursinya, Ali mengemasi tas kerjanya. Memasukkan ponsel juga tablet miliknya ke dalamnya. Kemudian pria itu menyahut jas hitamnya yang tersampir di sandaran kursi. Ali keluar dari ruangannya dengan terburu-buru. Pria itu mendatangi meja Lina, sekretarisnya. "Lina, saya pergi ke Paris untuk beberapa hari. Tolong kamu tunda semua jadwal saya!" ujarnya. Lina mengernyit. "Bapak benar mau ke Paris lagi, Pak? Bukannya Pak Ali baru dari sana?" "Saya ada urusan pribadi. Tolong kamu atur jadwal saya lagi, ya. Nanti kalo saya mau pulang, saya kabari kamu!" balasnya. Lina mengangguk paham, "Baik, Pak." Ali beranjak pergi dari meja Lina. Namun baru lima langkah pria itu kembali lagi. "Lina..." "Iya Pak?" Ali menelan ludahnya kaku. "Kalau keluarga saya tanya, kamu jawab saya ada pekerjaan penting di Paris. Dan mendadak," pesannya pada sekretarisnya. "Baik, Pak." "Makasih," ucap Ali. Kemudian pria itu berlari menuju ke lift kantor. Dia ingin segera sampai di bandara. Saat tangan Ali mencapai pintu mobil, ponselnya berdering pertanda ada telepon masuk. Ali berhenti mendadak saat melihat nama Sisi terpampang di layar ponsel. Tubuhnya mendadak kaku. Dia baru ingat akan Sisi, istrinya. Ali mengusap wajahnya kasar. Pria itu meletakkan ponselnya ke kursi mobil. Sementara di masuk dan duduk di kursi pengemudi. Lama Ali membiarkan ponselnya berdering. Sisi terus berusaha menghubunginya. Sampai akhirnya ponsel itu berhenti berdering. Ali menghela nafas lega. Namun beberapa detik kemudian, ada satu pesan masuk ke ponselnya. Mas, jadi nganter aku buat jemput Aisha? Bisa jemput aku sekarang kan? Kalo kelamaan takutnya nanti Aisha nunggu. Ali menepuk dahinya. Dia lupa jika dia berjanji akan mengantar Sisi untuk menjemput Aisha. Lalu dia harus bagaimana? Tiket pesawat yang dia pesan akan berangkat setengah jam lagi. Jika dia menyempatkan untuk mengantar Sisi dulu dan menjemput Aisa, pasti akan memakan waktu lebih dari setengah jam. Bisa-bisa dia ketinggalan pesawat. Ali bimbang. Batinnya bergejolak tak tenang. Sebagian besar hatinya menyuruhnya untuk mengabaikan Sisi dan mengejar penerbangan menuju ke Paris. Tapi ada sebagian kecil hatinya, yang berupa serpihan, memintanya untuk tetap tinggal dan kembali pada Sisi. Pria itu memukul kemudi mobil. Bingung pada keputusan yang akan dia ambil. Akhirnya Ali pun menuruti keinginan terbesar hatinya. Dia akan mengejar Selly. Berharap bisa kembali bertemu dengan wanita itu. Wanita yang selalu dia rindukan sampai saat ini. Kamu jemput Aisha naik taksi aja ya! Aku ada pekerjaan penting yang nggak bisa ditinggal. Hati-hati di jalan! Send. Ali mematikan ponselnya setelah mengirim pesan singkat untuk Sisi. Pria itu menghela nafas panjang. Dia yakin ini adalah keputusan terbaik. Dia bisa mengantar Sisi lain kali. Tapi kesempatan bertemu dengan Selly sangat langka dalam hidupnya. Ya, kesempatan untuk mengantar Sisi menjemput Aisha bisa di tunda dulu. Mungkin nanti dia akan melakukannya lain kali. Lain kali, pasti ada kesempatan lain, nanti. Adakah kesempatan itu akan datang lagi saat kamu sudah menyianyiakannya? *** Sisi menghela nafas panjang setelah menerima balasan pesan dari Ali. Kenapa juga Ali baru membalas pesannya sekarang? Kenapa tidak memberi tahu dari tadi kalau tidak bisa mengantarnya? Dia kan tidak perlu menunggu, dan pastinya Aisha akan ikut menunggu di sekolahnya. Sisi mencoba menghubungi nomor Ali, tapi tidak aktif. Wanita itupun membatin, sesibuk itukah kamu Mas? Tak ingin kembali berlama-lama, Sisi mengambil tasnya kemudian beranjak keluar kamar. Segera turun ke bawah untuk menjemput Aisha di sekolah. "Loh, Si! Kamu berangkat sekarang? Ali udah dateng ya?" tanya Wanda yang sedang berada di ruang tengah, mengganti bunga di vas yang telah layu. Kemudian mengisinya dengan bunga yang segar. Sisi menghampiri Wanda. Mencium tangannya untuk berpamitan. "Iya, Ma. Mas Ali nggak jadi jemput. Katanya ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal." "Loh... kok gitu sih? Terus kamu naik apa ke sekolah Aisha?" "Aku naik taksi aja, Ma. Barusan aku udah pesan taksi, kok. Paling udah dateng taksinya." Wanda menghela nafas pendek, "Ya udah. Kamu hati-hati ya, Si. Aisha langsung ajak pulang aja! Kalo dia minta main dulu jangan diturutin! Kamu kan lagi nggak enak badan." Sisi mengangguk, "Iya, Ma. Sisi berangkat dulu ya." Wanita itu bergegas keluar rumah. Di depan gerbang, sudah ada sebuah mobil taksi yang menunggu. Tanpa mau berlama-lama, Sisi pun minta diantar ke sekolah Aisha. *** "Itu lagi macet ya, Pak? Kok tumben sih, siang-siang macet?" tanya Sisi pada si sopir taksi. "Iya, Neng. Kayaknya sih ada kecelakaan." Sisi mendesah kasar. Sudah jam dua belas tepat. Itu artinya Aisha sudah keluar dari sekolahnya. Kalau menunggu taksi yang dia tumpangi bisa jalan, pasti akan lama. Kasihan Aisha kalau menunggu lama. Sisi pun berinisiatif berjalan sampai ke sekolah Aisha. Lagian kan dia sudah dekat dengan sekolah Aisha. Setelah membayar ongkos taksi, wanita itu pun segera turun dan berjalan melewati trotoar. Memang benar ada kecelakaan di pertigaan jalan. Cukup parah sepertinya sampai membuat jalanan macet total. Sisi berjalan cepat menuju ke sekolah Aisha. Hari itu matahari begitu terik. Sisi yang awalnya sudah pusing, makin pusing saat terkena sengatan panas matahari. Berkali-kali wanita itu mengelap keringat yang membasahi dahi dan hidungnya. Sementara wajahnya terlihat pucat. Sisi menghela nafas lega saat sudah sampai di sekolah Aisha. Wanita itu mempercepat jalannya, masuk ke dalam sekolah. "Aisha!" Sisi melambai pada Aisha yang sedang duduk di kursi dekat lapangan. Mata Aisha berbinar saat melihat Sisi. "Mommy tiri!" serunya senang. Bocah itu melambai pada Sisi. Aisha langsung berlari kencang menghampiri Sisi. Sisi terkekeh saat Aisha berhambur memeluknya. Wanita itu mengangkat Aisha ke dalam gendongannya. Sisi mengelap keringat di dahi Aisha dengan tangannya. "Ai nunggu Bunda ya? Maaf ya, Sayang kalo Bunda datengnya lama," Sisi mencium pipi Aisha dengan sayang. Aisha mengangguk pelan. "Daddy kemana?" tanyanya. "Daddy nggak ikut, Nak. Daddy lagi banyak pekerjaan." Aisha mendesah kecewa. Anak itu memanyunkan bibirnya. Sisi tersenyum geli. Dia kembali mencium pipi Aisha. "Jangan cemberut dong," ucapnya. "Habisnya, Daddy nyebelin sih! Nggak mau jemput Ai!" protesnya. "Daddy lagi sibuk, Ai. Daddy cari uang buat Aisha. Biar Aisha bisa sekolah, bisa jajan, bisa beli boneka. Jadi Aisha harus maklum kalo Daddy nggak bisa jemput," jelas Sisi. Aisha mencembik saat mendengar penjelasan Sisi. Anak itu kalau sudah ngambek pasti susah dibujuk. Karena itu Sisi berpikir untuk merayunya agar tidak ngambek lagi. "Kalo gitu sebagai permintaan maaf karena Daddy nggak bisa jemput, Bunda beliin es krim mau?" tawar Sisi pada Aisha. Bocah mungil itu langsung mengangguk kesenangan. Aisha tertawa girang. Dia memeluk leher Sisi dengan erat. Sisi terkekeh, wanita itu pun menurunkan Aisha begitu sampai di depan gerbang sekolahnya. "Ai turun dulu ya. Biar Bunda beliin es krim buat Ai. Tuh penjual es krimnya nggak jauh kok," ujarnya. Aisha mengangguk pelan. Matanya menatap pada penjual es krim di seberang jalan. "Ai mau es krim rasa apa?" "Coklat." "Ya udah. Ai tunggu disini ya! Jangan kemana-mana! Bunda beliin es krimnya dulu!" pesan Sisi pada Aisha. Wanita itu berjalan menyeberang jalan setelah mencium dahi Aisha. Sedangkan Aisha duduk di bangku marmer yang berada di depan gerbang sekolahnya. Cukup lama Aisha menunggu. Hingga akhirnya Aisha bersorak kegirangan saat melihat kedatangan Sisi dengan membawa dua buah es krim di tangannya. Aisha meloncat-loncat kesenangan. Hal itu sontak memancing tawa Sisi karena tas Aisha yang besar ikut memantul di saat bocah itu meloncat-loncat. Sisi tertawa renyah karena kelucuan Aisha. Wanita itu sampai tidak memperhatikan jalanan saat menyeberang. "Aaaa.....!" tubuh Sisi terhempas ke aspal setelah dihantam oleh sebuah mobil sport dari arah kanannya. "Bunda!" Aisha menjerit kencang melihat tubuh Sisi terkulai di tengah jalan. Es krim yang dia bawa berhamburan di aspal. Aisha berlari menuju ke arah Sisi. Begitu pula beberapa orang yang sedang berada disana. Mereka bergegas menolong Sisi. Aisha menangis terisak saat melihat darah mengalir dari tubuh Sisi. "Bunda berdarah," tangisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD