Chapter 1 : Doa dan harapan
Matahari bersinar lembut pagi itu. Terasa hangat namun tidak menyengat. Angin berhembus pelan. Menerbangkan dedaunan yang gugur ke tanah. Suara burung pipit saling bersahutan di atas pohon cemara yang menjulang tinggi.
Seorang gadis sedang duduk di ranjang. Berhadapan dengan laptop. Sibuk melakukan sesuatu entah apa. Tangannya bergerak lincah menekan keyboard. Mata sendunya yang hitam legam bak mutiara hitam menyorot ke layar laptop.
Konsentransinya pecah saat suara ketukan pintu terdengar. Bersamaan dengan suara lembut seorang wanita yang memanggil namanya. Gadis itu bangkit dari ranjang dan berjalan menuju pintu.
Sebuah senyuman lembut menyambutnya. Seorang wanita paruh baya dengan wajah lembut tersenyum tipis pada gadis itu. "Kamu ini! Dipanggilin dari bawah dari tadi nggak nyahut! Kamu ngapain aja sih? Ayah udah nunggu itu!" tegurnya pada putri tunggalnya itu.
Gadis itu meringis kecil. "Maaf, Bu. Sisi tadi ngerjain pekerjaan yang masih numpuk. Kan mulai minggu depan Sisi udah resign. Jadi semua pekerjaan Sisi, harus selesai secepatnya," balasnya.
Wanita yang dipanggil ibu itu menggeleng pelan. Mengelus kepala anak gadisnya sepenuh hati. "Ya wes. Sekarang kamu makan dulu.
Nanti diteruskan lagi kerjaannya. Jangan sampai lupa makan. Nanti kalo kamu kurus, kasian Mas Ali mu itu! Bisa-bisa dia malu calon istrinya udah kayak tulang sama kulit aja!"
"Ibu! Sekarang senjatanya Mas Ali terus! Apa-apa Mas Ali! Emangnya hidup Sisi cuma seputaran Mas Ali?" gerutu Sisi.
"Eh... kan emang cuma Mas Ali yang bisa bikin kamu nurut," goda ibu Sisi yang membuat gadis itu tersenyum malu.
Dielusnya kepala Sisi yang tertutup hijab berbahan katun itu. "Semoga kamu bahagia ya, Nduk. Ibu harap pernikahan kamu ini diridhoi Allah."
Sisi mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca menatap ibunya. "Insyaallah, Bu. Sisi yakin Mas Ali pria yang baik. Yang bisa menjadi suami dan Imam untuk Sisi."
Gadis itu memeluk ibunya dengan erat. Membiarkan air matanya menetes deras. Dalam hatinya dia berharap Ali memang jodohnya. Aliansyah Fathan, seorang duda beranak satu yang resmi melamarnya minggu lalu.
Dan pria itulah yang seminggu ke depan akan resmi pula menjadi suaminya. Ali sosok yang lembut menurut Sisi. Pendiam juga berwibawa. Meskipun umurnya terpaut sepuluh tahun
dengannya, namun Sisi langsung jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat foto Ali yang diberikan oleh ayahnya.
Ali adalah putra tunggal dari bos ayahnya, Erik Sastrawijaya. Entah bagaimana mulanya, Sisi pun tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba Pak Erik melamar Sisi untuk putranya yang duda.
Padahal menurut Sisi, dia yang berasal dari keluarga biasa, berprofesi sebagai guru SD, tidak pantas menikah dengan Ali yang seorang konglomerat dan mewarisi beberapa perusahaan yang didirikan oleh ayahnya.
Kadang Sisi menyesal menerima lamaran Pak Erik. Dia merasa minder dengan keadaannya. Dia gadis biasa. Anak seorang supir pribadi calon mertuanya. Gadis yang tidak punya keistimewaan apa-apa.
Tapi bukankah Allah menentukan takdir seseorang tanpa menilai kekayaan dan kehormatannya. Yang kini Sisi yakini, bahwa pria yang baik hanya untuk wanita yang baik. Karena itu dia yakin Ali adalah yang terbaik pilihan Allah SWT untuknya.
***
Seorang pria menatap lurus ke luar jendela kaca ruangan kerjanya. Matanya tak berkedip melihat sekumpulan awan yang bergerak di langit yang biru. Pikirannya sedang tidak di tempat. Sudah hampir satu jam yang lalu pria itu melamun.
Memikirkan keputusan yang dia ambil hampir dua minggu lalu. Meminang seorang gadis yang baru dia kenal. Gadis yang tidak dia cintai. Namun terpaksa harus dia nikahi seminggu lagi.
Demi putrinya, Aisha. Juga demi orang tuanya. Seminggu lagi dia harus menjadi seorang suami untuk yang kedua kalinya. Padahal jauh di lubuk hatinya, dia masih sangat mencintai mantan istrinya. Yang menghilang entah kemana. Tanpa kabar berita, meninggalkan dia dan putrinya yang saat itu masih berusia dua bulan.
"Li?" Pria itu tersentak kaget saat melihat sepasang suami istri tengah duduk di sofa ruangannya.
"Kalian? Kapan dateng? Kok nggak ngetuk pintu dulu sih?"
Si wanita mendengus menatap Ali. "Gue udah ngetuk-ngetuk dari tadi, lo nggak respon. Ya gue masuklah!" omelnya.
"Lo ngelamun ya, Li?" Kini gantian sang pria yang berbicara pada Ali.
Ali tergagap. Namun pria itu berusaha menutupinya dengan bersikap biasa.
"Mungkin Ali grogi kali mikirin ijab kabulnya minggu depan," goda Ira, sepupu Ali.
Ali terlihat salah tingkah. "Apaan sih, Ra!" ujarnya.
"Oh... iya. Bisa jadi. Atau mikirin malam pertamanya. Pasti Ali udah nggak sabar mau malam pertama sama siapa itu namanya?" Gio, suami Ira ikutan menggoda Ali.
"Sisi!" sahut Ira.
"Iya, Sisi! Dia kan kelihatan pendiem. Pasti nanti Ali yang mendominasi deh. Aww-" Gio mengaduh saat kepalanya terkena lemparan majalah.
"Tega lo Li! Sakit tau!" gerutu Gio.
Ira terkikik. Wanita itu mengusap kepala suaminya dengan lembut. "Makanya kamu jangan godain Ali. Dia kan sensitif. Maklum, udah lima tahun menduda. Kurang belaian," timpalnya.
"Nih ya, gue kasih tau. Punya istri itu asyik. Ngapa-ngapain ada temennya. Ada yang sayang-sayang. Elus-elus. Bisa buat manja-manjaan. Kayak gue gini!"
Ali memutar bola matanya malas melihat tingkah sepupu dan iparnya sok mesra seperti itu. "Dulu gue juga punya istri kali!" gumam Ali.
"Istri lo yang pergi tanpa kabar itu? Hm?" ucap Gio membuat Ali menoleh dengan cepat.
Ali menelan ludahnya kaku. Melihat ekpresi wajah Gio yang tegang. Buru-buru pria itu mengalihkan pandangannya. "Gue kasih tau ya, Li. Mending lo lupain mantan istri lo itu. Cobalah menerima Sisi apa adanya! Gue yakin dia bisa jadi ibu yang baik buat Ai. Dan juga tolong-" ucapan Gio terhenti.
Pria itu menatap lekat sepupu iparnya yang tengah berwajah sendu. "Jangan anggap dia Selly! Karena Sisi bukan Selly. Jangan nikahi dia karena dia mirip sama Selly! Terima dia apa adanya, Li. Cobalah berdamai dengan hati lo sendiri. Lupakan masa lalu! Dan maju melangkah ke masa depan!"
Ali terdiam. Menatap Gio dan Ira dengan tatapan datarnya. Dia tau jika dia harus melupakan Selly. Wanita itu tidak boleh berada dalam hatinya lebih lama. Karena sebentar lagi akan ada wanita baru dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri dan juga ibu untuk putri semata wayangnya, Aisha.
Entahlah dia bisa mencintainya atau tidak nanti. Yang pasti untuk sekarang Ali akan mencoba menerimanya demi Aisha. Dan juga demi Mama dan Papanya.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Sisilia Humaira binti Abdul Hasan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan sebuah cincin berlian dibayar tunai." Suara lantang Ali terdengar menggema memenuhi ruangan masjid Al Hikmah pagi itu.
"Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu yang menjabat tangan Ali bertanya pada para saksi ijab kabul.
"Sah!" jawab para saksi dengan lantang.
"Alhamdulillah." Semua orang yang hadir dan menjadi saksi berucap syukur.
Ali pun ikut berucap syukur. Kemudian ikut berdoa bersama para tamu dan juga orang tua dan sanak saudaranya. Setelah itu barulah seorang wanita berpakaian kebaya berwarna putih dengan hijab di kepalanya masuk dibantu oleh ibunya.
Ali menahan nafasnya saat melihat wajah Sisi yang mengingatkannya pada mantan istrinya, Selly. Tanpa sadar Ali terus menatapnya lekat. Dia tidak sadar jika Sisi kini tengah mengulurkan tangannya pada Ali.
"Mas Ali?" Ali tergagap. Pria itu buru-buru mengulurkan tangannya pada Sisi. Membiarkan wanita itu mencium tangannya begitu lembut.
Entah bagaimana mulanya, Ali dengan berani merengkuh tubuh Sisi ke dalam pelukannya. Memeluknya erat sembari menciumi kepalanya. Pria itu tidak memperdulikan tatapan geli sekaligus tatapan nyalang Mamanya saat melihatnya memeluk Sisi.
Ira dan Gio juga keluarga Ali yang lain terdiam. Berusaha menahan amarah akan tingkah laku Ali. Mereka tau Ali memeluk Sisi karena menganggap Sisi adalah Selly.
"Mas Ali kayaknya udah nggak tahan, nih!" goda seorang saksi nikah pada Ali.
Sosok Ali langsung melepaskan pelukannya pada Sisi. Pria itu tersadar dari khayalannya. Sedangkan Sisi kini menunduk malu dengan wajah merah padam. Jantungnya berdebar-debar karena pelukan Ali tadi.
"Ya sudah. Ayo kedua mempelai sungkem sama orang tuanya dulu!" Suara si penghulu menginteruksi Ali dan Sisi untuk segera menghampiri kedua orang tua mereka guna meminta restu.
***
Sisi mendesah lemah. Matanya sudah terlalu berat untuk terus membuka. Dia sudah sangat mengantuk saat ini. Namun Ali tak kunjung masuk ke kamar pengantin mereka. Padahal sudah hampir jam duabelas malam. Itu artinya sudah dua jam Sisi menunggunya.
Kemana Ali? Bukankah pesta pernikahan mereka sudah usai sejam jam sembilan malam tadi? Lalu kenapa sampai saat ini Ali belum juga masuk ke kamar? Beribu pertanyaan berada di benak Sisi.
Ceklek. Suara pintu terbuka membuat Sisi langsung menoleh ke arah pintu. Gadis itu sontak berdiri. Menghampiri Ali yang baru masuk ke kamar mereka.
Dengan senyum tipisnya Sisi menghampiri suaminya yang terlihat lelah. "Mas dari mana aja? Aku tungguin dari tadi loh! Mas mau mandi sekarang?" tanyanya.
Ali hanya berdehem. Melepaskan kemeja tanpa menoleh pada Sisi. Lalu mengambil handuk dari dalam lipatan lemari. Beranjak menuju kamar mandi.
"Mas," Sisi buru-buru menyusulnya.
"Biar aku siapin air hangat ya, Mas?" tawarnya.
Ali hanya mengangguk pelan. Mundur perlahan dan membiarkan Sisi menyiapkan air hangat untuknya mandi. Pria itu menatap punggung tubuh Sisi yang menghilang di pintu kamar mandi.
Batinnya bergejolak. Saat melihat wajah Sisi, dia begitu ingin memeluknya. Mendekapnya erat agar wanita itu tidak bisa menjauh darinya. Tapi saat teringat jika dia adalah Sisi, istri barunya, Ali seakan ingin menjauh sejauh-jauhnya dari Sisi.
Ali mengacak rambutnya frustrasi. Dia begitu bingung harus berbuat apa. Jika Selly terus mendominasi pikirannya. Apakah selamanya dia harus menjaga jarak dengan Sisi? Lantas bagaimana nasib rumah tangganya nanti?
"Mas Ali..." Suara lembut Sisi menyadarkan Ali dari lamunannya.
Untuk sesaat pria tersebut terpaku melihat Sisi di hadapannya. Tersenyum begitu lembut padanya. Ali menahan nafasnya saat bertatapan dengan mata hitam yang bersinar cantik milik gadis itu.
Dia bersyukur ada satu hal yang membedakan Sisi dengan Selly. Mata mereka berbeda. Jika Selly bermata hazel yang indah. Lain halnya dengan Sisi. Bola mata hitam kelam nan jernih dan sendu milik Sisi begitu menenangkan.
Membuat hatinya yang bimbang merasa tenang. Binar-binar di matanya membuat Ali sejenak merasa terpesona. Bola mata yang menghanyutkan Ali dalam kedamaian. Memberi sejuta rasa nyaman untuknya.
"Airnya udah siap. Mas Ali bisa mandi sekarang."
Ali mengangguk cepat. Kemudian tanpa mau berlama-lama pria itu meninggalkan Sisi untuk masuk ke kamar mandi. Selama di kamar mandi pun pikirannya tentang Sisi tidak juga hilang.
Menggeram tertahan, Ali meninju tembok kamar mandi dengan kencang. Meluapkan emosinya. Kenapa ada wanita yang wajahnya begitu mirip dengan mantan istrinya?
Lalu bagaimana Ali harus menjalani hidupnya bersama gadis itu? Bisakah dia melalui hari-harinya dengan terus menundukkan kepalanya. Agar tidak bertatapan dengan Sisi?
Sial! Dia bisa gila kalau terus-terusan memikirkannya, batin Ali. Saat cukup lama dia mandi, kulitnya sudah kisut dan pucat, barulah Ali mematikan shower. Beranjak keluar dari kamar mandi.
Pria itu membeku di tempatnya berdiri. Pandangannya terpaku pada sosok jelita dengan rambut panjangnya yang hitam tengah tertidur pulas di ranjangnya. Ali berjalan perlahan mendekatinya.
Duduk di pinggiran ranjang, Ali menatap wajah istrinya lekat-lekat. Saat tanpa hijab di kepalanya, Ali seperti benar-benar melihat sosok Selly dalam diri Sisi. Pria itu terheran, kenapa bisa ada dua orang yang tidak ada hubungan darah, namun bisa semirip ini?
Ali buru-buru menjauh saat Sisi bergerak dalam tidurnya. Gadis itu menggeliat lembut. Kemudian tertidur kembali. Ali menghela nafas lega. Cepat-cepat dia naik ke atas ranjang. Berbaring membelakangi Sisi. Dia tidak mau terjadi sesuatu antara dia dan Sisi untuk saat ini.
***
Sisi terbangun dari tidurnya saat mendengar suara adzan shubuh. Buru-buru gadis itu turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudlu.
Saat dilihatnya sang suami masih tertidur, Sisi pun membangunkannya. Menyentak lengan Ali dengan lembut.
"Mas... Mas Ali! Bangun Mas! Sholat shubuh dulu!" ucapnya.
Ali menggeliat pelan. Matanya mengerjap perlahan. Pria itu mengernyit melihat Sisi yang sudah memakai mukenah. "Kenapa?" ucapnya serak.
"Kita sholat subuh dulu yuk! Udah adzan barusan."
Ali menghela nafas panjang. Kemudian bangkit dari tidurnya. Dan turun dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi dan mengambil air wudlu. Sisi tersenyum tipis, Ali bahkan tidak mengatakan apapun padanya. Atau sekedar menjawab pertanyaannya.
Mungkinkah pria itu masih belum terbiasa akan kehadirannya? Ya, mungkin saja, batin Sisi. Gadis itu berjanji akan membuat Ali mau menerimanya suatu hari nanti.
Dia akan berusaha sebaik mungkin menjadi istrinya. Agar dia layak menjadi istri seorang Aliansyah Fathan. Dan juga menantu Erik Sastrawijaya. Juga ibu dari Aisha Michelle Sastrawijaya.
Sisi juga tak akan berhenti berdoa agar suatu saat dia bisa diterima dengan setulus hati. Ya, hanya doa dan harapan yang dia miliki saat ini.