Chapter 7 : Beauty and the Beast

1881 Words
"Kok Beauty nggak takut sama monsternya sih? Kan monster itu serem." Sisi terkikik geli mendengar pertanyaan Aisha. Wanita itu mengusap lembut rambut panjang Aisha. Mengecupnya sekilas. "Soalnya Beauty sayang sama Beast. Jadi meskipun Beast mukanya jelek, Beauty nggak takut." "Beast kan juga jahat. Kok Beauty mau sih tinggal di istananya Beast?" Aisha kembali bertanya. "Biarpun Beast jahat, tapi Beauty masih tetep sayang sama Beast. Dan mau tinggal di istana bareng sama Beast." Aisha bergidik ngeri. "Kalo Ai sih nggak mau tinggal sama monster. Udah jahat, jelek lagi. Hiii..." Sis terkikik geli mendengar ocehan Aisha. Wanita itu mengecup pipi Aisha yang membuatnya gemas setengah mati. "Kalo Mommy tiri mau nggak tinggal sama Beast?" tanya Aisha tiba-tiba. Sisi tertawa. Wanita itu mengangguk mantap. Aisha pun terheran. "Kok mau sih tinggal sama Beast?" protesnya. "Soalnya Bunda udah sayang sama Daddynya Ai. Jadi, Bunda akan tetep tinggal meskipun Daddynya Ai jahat," jawab Sisi Aisha terbengong. "Kok Daddy Ai sih?" Sisi menepuk dahinya pelan, dia keceplosan kan. Wanita itu buruburu meralat perkataannya. "M-maksud Bunda, karena Bunda sayang sama Beast, Bunda pasti akan selalu tinggal sama-sama Beast. Bunda nggak akan ninggalin Beast, kecuali..." ucapan Sisi terhenti seketika. Kecuali dia yang meminta Bunda untuk pergi. Atau jika nanti Bunda sudah nggak mampu bertahan lagi, lanjutnya di dalam hati. "Kecuali apa?" tanya Aisha penasaran. Sisi mencubit hidung Aisha dengan gemas. "Ai kepo deh. Udah sekarang Ai tidur ya? Bunda temenin Ai tidur," ucapnya. Aisha menurut. Anak itu berbaring sesuai perintah Sisi. Menarik selimut hingga sebatas lehernya. Aisha kembali bertanya sebelum menutup matanya. "Tapi nanti akhirnya Beauty sama Beast hidup bahagia ya?" Sisi tersenyum tipis kemudian menganggu. "Iya. Mereka akhirnya hidup bahagia selamanya. Karena akhirnya Beast bisa berubah. Dia jadi pangeran tampan dan baik hati." Aisha tersenyum senang. "Kalau gitu Ai mau juga jadi Beauty ya? Biar nanti bisa tinggal sama Pangeran Beast." Sisi menggeleng tak setuju. "Nggak mudah menjadi Beauty, Sayang. Beauty harus mengalami penderitaan dulu sebelum bahagia," ujarnya lirih. Pikiran Sisi menerawang. Membandingkan kisah beauty dengan dirinya. Beauty harus tinggal bersama Beast yang jelek dan jahat. Namun Beast begitu mencintainya. Dia tidak mau kehilangan Beauty. Sedangkan dirinya, tinggal di istana bersama pangeran tampan yang jahat. Dan juga tidak menginginkannya. Entah bagaimana kelanjutan hidupnya nanti, Sisi hanya bisa berharap, semoga nasibnya nanti tidak akan lebih buruk dari ini. Pandangan Sisi kembali pada Aisha yang menatapnya. "Ai tidur ya?" ujarnya. "Mau dinyanyiin," balas Aisha. "Nyanyi lagu apa?" Aisha mengendikkan bahunya. Sisi mengusap kepala Aisha dengan lembut. "Bunda nyanyiin, tapi Aisha tidur ya?" Aisha mengangguk. Anak itu langsung memejamkan matanya. Sementara Sisi mulai bernyanyi. Ambilkan bulan, Bu Ambilkan bulan, Bu Yang selalu bersinar di langit Ambilkan bulan, Bu Ambilkan bulan, Bu Yang slalu bersinar di langit Di langit, bulan benderang Cahyanya sampai ke bintang Ambilkan bulan, Bu Untuk menerangi Tidurku yang lelap Di malam gelap Sisi menghela nafas panjang setelah melihat Aisha tertidur pulas. Matanya melirik pada jam dinding di kamar Aisha yang menunjukkan pukul sembilan malam. Hatinya bimbang. Haruskah dia kembali ke kamarnya dan bertemu Ali? Pria yang sudah membuat hatinya hancur. Pria yang selalu membuatnya sakit, namun begitu dia cintai sepenuh hatinya. Tidak sekarang, pikir Sisi. Lebih baik untuk sementara dia dia menjauh terlebih dahulu dari Ali. Lagi pula pria itu tidak akan mencarinya kan? Sisi merebahkan dirinya di samping Aisha. Berbaring miring memeluk bocah mungil itu. Memeluknya dengan erat. Tubuh Aisha yang semula berbaring terlentang pun bereaksi tanpa sadar. Bocah itu balas memeluk Sisi. Menelusupkan kepalanya di d**a Sisi. Tangan Sisi terulur mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Kemudian dia ikut terlelap bersama Aisha. *** Ali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul duabelas malam. Tapi Sisi belum juga masuk ke kamar. Bukannya dia hanya menidurkan Aisha sebentar saja? Lantas kenapa sampai tengah malam wanita itu belum juga kembali, pikirnya. Pria itu pun menjadi gelisah. Haruskah dia mencari Sisi? Lantas apa yang harus dia lakukan setelah bertemu Sisi? Apa dia akan meminta Sisi kembali ke kamar dan tidur dengannya? Ali mengumpat pelan. Mau ditaruh dimana mukanya kalau Sisi menolak tidur di kamar mereka. Ali mengusap wajahnya dengan kasar. Tidak. Sisi tidak mungkin menolak. Wanita itu kan selalu menuruti perkataannya. Tapi, kadang-kadang sih. Kebanyakan dia membantah larangannya. "Bodo amat ah!" gumam Ali pelan. Dia harus mencari Sisi. Wanita itu pasti akan menurut jika dia suruh kembali ke kamar. Lagi pula, mau tidur dimana lagi dia jika tidak tidur di kamar Ali? Ali berdecak. "Ngerepotin aja sih! Lagian dia itu kemana? Udah tau malem gini, tapi nggak balik-balik ke kamar! Ngeluyur kemana sih dia?" gerutu Ali seraya keluar dari kamarnya. Pria itu mencari Sisi ke kamar Aisha. Ali terpaku melihat pemandangan yang begitu indah di depan matanya. Sisi dan Aisha sedang tidur dengan saling berpelukan. Seolah tak ingin terpisah satu sama lain. Tentu saja pemandangan ini terlihat begitu indah buat Ali. Sejak dulu dia selalu membayangkan, akan seperti apa jika hal itu terjadi pada Selly dan juga Aisha? Dan kini dia sudah bisa melihatnya. Melihat Selly dan Aisha tidur saling berpelukan. Betapa indah dimatanya. Namun hanya sesaat. Karena Ali langsung teringat jika yang sedang dipeluk Aisha bukan Selly, melainkan Sisi, istri barunya. Ali mendesah lemah. Betapa bodohnya dia, bisa menyamakan Selly dan Sisi. Padahal mereka jelas-jelas berbeda. Tak mau berpikiran lebih bodoh lagi, Ali segera berjalan menuju ke ranjang Aisha. Pria itu duduk di pinggir ranjang tepat di samping Sisi tertidur. Ali menatap wajahnya yang begitu cantik ketika tertidur. Sisi terlihat begitu manis. Sangat mirip dengan Selly ketika sedang terlelap. Lagi-lagi Ali berpikiran bodoh. Pria itu menggeleng pelan. Dia tidak boleh terus membayangkan Selly saat melihat Sisi. Karena itu pasti akan melukai hatinya jika suatu saat nanti Sisi tau. Tangan Ali terulur menuju ke lengan Sisi. Hendak menyentuhnya. Namun pria itu kemudian menarik kembali tangannya saat tersadar jika selama ini, dia tidak pernah menyentuh Sisi sedikitpun. Tidak pernah bersentuhan dengannya. Tangan Ali menyentuh lengan Sisi perlahan. Entah kenapa jantungnya berdebar-debar saat akan menyentuh Sisi. Padahal kan itu hanya sentuhan biasa. Sentuhan untuk membangunkan Sisi. Ali menggigit bibirnya gugup. Pria itu menghirup nafas dalamdalam. Dan menghembuskannya perlahan. Ayo, Li! Lo bisa! Lo bisa! Ali menggeleng pelan. Menyingkirkan segala pemikiran konyolnya. Dia kan hanya mau membangunkan Sisi. Dan menyuruhnya pindah ke kamar. Kenapa sekarang malah dia terkesan akan pergi berperang? Ali mengeplak kepalanya sendiri. Sepertinya otaknya perlu direparasi agar bisa berjalan sebagaimana mestinya. "Si... Sisi!" Ali mengguncang lengan Sisi dengan pelan. Namun wanita itu tidak merespon. Sisi tertidur begitu lelap. Ali kembali mengguncang lengannya. Kali ini lebih kencang sembari berbisik di telinga Sisi. "Sisi! Sisi bangun!" Sisi melenguh pelan. Perlahan matanya berkedip. Kemudian membuka seluruhnya. Wanita itu membelalak begitu melihat Ali duduk di sampingnya. "Mas..." lirihnya dengan suara serak. "Bangun! Ngapain kamu tidur disini?" balas Ali ketus. "Maaf, Mas. Tadi aku ketiduran." Ali mendengus. "Bangun! Balik ke kamar sana!" perintahnya pada Sisi. Wanita itu menurut. Dia segera turun dari ranjang Aisha. Membenarkan selimut Aisha. Kemudian mematikan lampu kamarnya. Sisi sempat mengecup dahi Aisha sekilas sebelum keluar kamarnya untuk ikut dengan Ali. Ali membuka pintu kamarnya dengan terus mendumel. Membuat Sisi risih dan jengkel sendiri. Wanita itu tanpa kata-kata segera bergegas menuju ranjang dan langsung merebahkan diri disana. Sisi menutup kepalanya dengan selimut. Enggan mendengar ocehan Ali yang membuat telinganya sakit. Lebih baik dia melanjutkan tidurnya. Sisi berbaring membelakangi Ali. Matanya menutup sempurna. Tidak menghiraukan Ali yang berdecak kesal karena diacuhkan olehnya. Pria itu ikut berbaring di samping Sisi. Ali menghentikan omelannya. Menatap punggung kecil Sisi yang naik turun dengan gerakan halus. Tidak biasanya wanita itu tidur memunggunginya. Biasanya meskipun Ali tidur memunggunginya, Sisi tidak pernah melakukan hal yang sama padanya. Ali merapatkan tubuhnya ke tubuh Sisi. Mengangkat tangannya untuk menyentuh punggung Sisi. "Si..." panggil Ali dengan berbisik. Pria itu kembali menyentuh punggung Sisi saat tak mendapatkan jawaban darinya, "Sisi... Si..." panggilnya lagi. Ali menghela nafas panjang. Pria itu memutuskan untuk membalik tubuhnya membelakangi Sisi. Tak lama Ali pun terlelap dalam mimpi. Sisi membuka matanya setelah mendengar dengkuran halus keluar dari bibir Ali. Dalam hatinya dia benar-benar merasa berdosa sudah tidur membelakangi suaminya. Apalagi berpura-pura tidak mendengar saat Ali memanggilnya. Tapi saat ini dia memang harus seperti itu. Menghindari Ali untuk sementara waktu hingga sakit hatinya berkurang. Dan bisa kembali menerima semua sikap Ali padanya. *** Paginya, Sisi sudah siap untuk memandikan Aisha. Sisi menyiapkan baju Ali terlebih dahulu sebelum pergi ke kamar Aisha. Ali sangat suka kemeja yang berwarna biru. Karena itu separuh dari kemeja yang dia miliki berwarna biru. Sisi mengeluarkan kemeja penjang berwarna biru polos dan dasi batik. Serta celana juga jas berwarna hitam. Setelahnya, Sisi mengambilkan sepatu kerja Ali. "Si..." langkah Sisi yang hampir mencapai pintu pun terhenti. Wanita itu menoleh pada Ali yang kini baru keluar dari dari kamar mandi dengan piyama handuknya. "Ya Mas?" balasnya. "Kamu siap-siap ya! Nanti sore kita berangkat ke Paris," ujar Ali seraya melepaskan piyama handuknya. Sisi terbengong mendengar ucapan Ali. Paris? Mau ngapain kesana? "Kita kesana mau ngapain ya, Mas?" tanyanya. Gerakan Ali yang akan mengancingkan kemeja pun terhenti. Pria itu mengernyit menatap Sisi. "Emang kalo aku ngajak kamu ke luar negri harus ada alasannya? Kan aku suami kamu. Boleh dong suami ngajak istrinya jalan-jalan keluar negeri?" balas Ali. Sisi membatu di tempatnya berdiri. Wanita itu begitu kaget mendengar kata-kata yang dikeluarkan Ali. Aku kan suami kamu. Matanya berkaca-kaca. Sisi hampir saja menangis saat mendengarnya. Ali mengakui dia sebagai istrinya. Ali menyebut dirinya sendiri sebagai suami Sisi. Ada rasa bahagia yang menyeruak ke dalam dadanya. Sisi mengepalkan tangannya dengan kencang. Menahan air mata yang mendesak ingin keluar dari kedua mata indahnya. Sungguh, jika saja dia tidak malu, pasti dia sudah berlari ke arah Ali dan menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. "Si... kamu denger yang aku bilang kan?" tanya Ali saat Sisi tak kunjung menjawab. Wanita itu malah terbengong. Sisi mengangguk pelan. "Aku denger Mas," sahutnya lirih. Ali menghela nafas kasar. Pria itu pun melanjutkan memakai pakaian. Tanpa menghiraukan Sisi lagi. Sementara wanita itu berlalu dengan segera keluar kamarnya. Setiba di kamar Aisha, Sisi meneteskan air mata. Dia sangat bahagia. Karena untuk pertama kalinya, Ali menyebut suami saat berbicara dengannya. Sisi menekan dadanya kuat-kuat agar tidak meledak karena saking bahagianya. "Mommy tiri!" suara Aisha menyentak Sisi. Wanita itu buru-buru menghapus air matanya. Lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Aisha. "Ya Sayang? Ai udah siap mandi?" Aisha mengangguk. Matanya memperhatikan wajah Sisi yang basah karena air mata. "Mommy tiri habis nangis ya?" tanyanya. Sisi menggeleng pelan. Kembali mengelap bekas air mata dengan ujung jilbab panjangnya. "Nggak, kok. Bunda tadi kelilipan. Jadi keluar air mata," ucapnya beralasan. "Ooh...." Aisha manggut-manggut, "Ai kira Mommy tiri nangis karena habis dimarahin sama Daddy Ai," ujarnya. Sisi terkikik geli. Dicubitnya hidung mancung Aisha dengan gemas. "Ai kok mikirnya gitu sih!" tegurnya. "Habis, Daddy Aisha kan galak. Suka marah-marah. Serem lagi. Kayak Beast," celotehnya. Sisi tertawa terbahak-bahak. Wanita itu sampai memegangi perutnya yang terasa nyeri karena tertawa. Benar juga yang dibilang Aisha. Ali memang jahat dan pemarah. Sama seperti Beast. "Terus kalo Daddy Ai kayak Beast, Bunda kayak apa dong?" ujar Sisi sembari membelai rambut Aisha. Aisha memutar bola matanya ke atas. Seolah sedang berpikir keras. Tak lama, anak itu tersenyum senang. "Mommy tiri kayak Beauty dong. Kan Mommy tiri cantik kayak Beauty!" serunya girang. Sisi tertawa geli. Wanita itu mencium pipi Aisha berkali-kali karena gemas. Sisi menggendong tubuh mungil itu lalu membawanya ke kamar mandi. "Iya. Dan Aisha jadi anaknya Beast," ujar Sisi seraya menggelitiki pinggang Aisha. Membuat anak itu tertawa kegelian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD