"Mas..." Sisi berucap lirih saat Ali datang dengan wajah garangnya.
"I-ini Mas Irwan. Dia yang udah nolongin Ai dari penculik waktu itu, Mas." Wanita itu berusaha memberi penjelasan pada Ali.
Ali menatapnya dengan dahi berkerut. Pria itu kemudian menoleh pada Irwan. Mengulurkan tangannya. "Saya Ali. Ayahnya Aisha."
Irwan menyambut tangan Ali sambil tersenyum tipis. "Saya Irwan, Mas. Sena-"
"Makasih sudah menolong istri dan anak saya waktu itu. Saya benar-benar berterima kasih." Ali menyela perkataan Irwan
"Sama-sama, Mas. Sudah kewajiban saya untuk menolong Aisha dan Sisi."
Ali melirik Sisi yang terdiam di sampingnya. Wanita itu meringis kecil mendapat tatapan tajam dari Ali. "Ayo kita pulang! udah sore. Aisha pasti udah nunggu!"
Sisi mengangguk pelan. Ganti menoleh pada Irwan. Berpamitan padanya. Sedangkan Ali sudah lebih dulu berjalan menuju kasir. Meninggalkan Sisi di belakang.
Wanita itu berdecak pelan. Mengatai Ali yang tidak sopan dalam hatinya. Setelah mengucapkan terima kasih pada Irwan langsung berlalu begitu saja. Tanpa perkenalan dan basa-basi.
"Maaf ya, Mas. Aku duluan. Udah sore. Takutnya Aisha nyari." Ujar Sisi sedikit tidak enak
Irwan mengangguk."Iya, silahkan. Semoga nanti kita bisa ketemu lagi ya, Si!" balasnya.
Sisi tersenyum tipis. Lalu beranjak menjauh setelah mengucapkan salam. Irwan menatap punggung Sisi yang menjauh dengan senyuman kecil.
Mengamati interaksi Sisi dan Ali dari kejauhan. Wanita itu terlihat begitu takut pada suaminya. Irwan jadi menduga-duga, seperti apa kehidupan mereka. Jika wanita yang manis dan santun seperti Sisi memiliki suami yang galak seperti Ali.
Irwan menggeleng pelan. Buat apa dia malah memikirkan Sisi?
***
"Kamu ini, bilangnya mau ngambil biskuit buat Mama. Kenapa jadinya malah ngobrol sama cowok!" Ali mengomel di saat mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang.
"Maaf, Mas. Tadi aku nggak sengaja ketemu Mas Irwan pas ngambil biskuit. Lagian Mas Ali sih, nggak mau nungguin aku. Malah jalan duluan."
Ali mendelik pada Sisi. "Kamu nyalahin aku?" ujarnya kesal.
Karena Sisi sekarang sudah berani membantah ucapannya. "Maaf..." balas Sisi lirih.
Ali menghela nafas panjang. Membelokkan setirnya memasuki area komplek perumahan mewah tempat mereka tinggal.
Setelah sampai di depan gerbang rumahnya, Ali membunyikan klakson berkali-kali. Namun Pak Rahmat, satpam yang bekerja di rumahnya tak kunjung keluar dan membukakan gerbang.
Ali menjadi geram sendiri. Pria itu kembali membunyikan klakson dengan kesal. Sisi yang berada di sampingnya pun merasa terganggu. Wanita itu memprotes tindakan Ali.
"Sabar dong, Mas."
"Sabar.... sabar... ini udah aku bunyiin berkali-kali tapi Pak Rahmat nggak muncul-muncul! Gimana mau sabar!" gerutunya.
Sisi menggeleng pelan. Melepas seatbelt yang dipakainya. Wanita itu beranjak membuka pintu mobil. "Biar aku aja yang buka gerbangnya," ujarnya.
Ali buru-buru menahan lengannya. "Eh... jangan! Kamu disini aja! Buatapa aku bayar pegawai, kalo akhirnya harus buka pintu sendiri!"
"Tapi Mas..."
"Udah! Diem disini!"
Sisi menghela nafas panjang. Ali melarangnya membuka pintu gerbang, tapi pria itu terus membunyikan klakson dan tak henti menggerutu. Membuat kepalanya sakit.
Untung aku cinta, kalo nggak, udah aku timpuk pake sepatu, batinnya.
"Kenapa kamu?" tanya Ali tajam pada Sisi yang sedang memegangi sepatunya.
"Hah?"
"Kenapa sepatunya kamu pegangin gitu?"
Sisi tersentak kaget saat menyadari memang dirinya sedang memegangi sepatunya. Wanita itu meringis pada Ali. Buru-buru menjauhkan tangan dari sepatu berwarna biru yang dia pakai.
Ali melengos. Pria itu membuka kaca mobilnya begitu Pak Rahmat muncul dari dalam dengan tergesa-gesa.
"Dari mana aja sih, Pak? Saya udah nunggu lama loh!" omelnya pada pria paruh baya itu.
Sisi merasa kasihan melihat Pak Rahmat yang membuka pintu gerbang dengan tergesa-gesa. Pria itu menunduk takut saat Ali keluar dari mobilnya dan menghampirinya.
"Maaf, Tuan. Tadi saya bantuin Bi Mumun gantiin lampu yang mati di belakang," ujar Pak Rahmat sembari menunduk.
Ali menghela nafas panjang. Pria itu pun akhirnya mengangguk maklum. "Ya udah. Pak Rahmat balik ke pos aja! Biar saya yang ganti lampunya."
Pak Rahmat pun menurut pada perintah Ali. Pria itu kembali ke pos satpam. Sisi mendesah lega. Dia pikir tadi suaminya akan marah besar. Tapi syukurlah ternyata Ali masih punya hati. "Kamu ngapain senyam-senyum disitu?" sergah Ali pada Sisi.
Wanita itu tersentak kaget. Sisi meringis kecil. Kemudian menggeleng pelan."Gapapa Mas," jawabnya.
Ali mendengus. "Udah kamu masuk sana!"
"Aku bantuin ya, Mas?" Sisi berjalan menghampiri Ali yang membuka pintu belakang mobil. Mengeluarkan belanjaan mereka tadi. Namun Ali buru-buru mencegahnya.
"Nggak usah! Kamu masuk aja! Ntar jadi makin lama kalo kamu bantuin!" tolaknya.
"Mana bisa makin lama? Yang ada justru makin cepet kalo aku bantuin Mas," balas Sisi.
Ali mendelik, menatap garang istrinya yang kini mengambil dua kantong plastik belanjaan dari mobil. Pria itu mendengus kencang karena Sisi seakan tidak peduli dengan larangannya.
Wanita itu bahkan enggan menatap wajahnya. Ali menggeram marah. Dia kira Sisi wanita penurut. Tapi nyatanya, istrinya itu tidak bisa dilarang. Semakin dilarang, semakin dia akan melanggar.
Sepertinya dia salah pilih istri.
***
"Ai... ayo mandi, dong! Udah sore ini!" Wanda berusaha membujuk Aisha. Namun bocah itu diam tak bergeming dengan muka masamnya.
Wanda menghela nafas panjang. Dia lelah setelah hampir setengah jam merayu Aisha agar mau mandi. Entah apa yang diinginkan anak itu sampai ngambek tidak mau mandi. Padahal tadi kan baik-baik saja.
"Ai..." suara Ali membuat Aisha dan Wanda menoleh bersamaan. Pria itu masuk dengan senyuman lebar.
"Daddy!" Aisha memekik kegirangan. Bocah itu langsung turun menyongsong kedatangan Ali.
"Ai kok masih bau, sih? Ai belum mandi ya?" tebak Ali.
Aisha menggeleng pelan. Wanda berdecak. "Kamu kayak nggak tau anakmu aja! Dia kan paling susah mandi. Apalagi kalo lgi ngambek kayak gini!" cibirnya.
Ali menghela nafas panjang. "Aisha kenapa nggak mau mandi? Emangnya nggak risih apa kalo badan kotor dan bau gitu?" omel Ali.
Aisha hanya diam sambil menunduk. Diam-diam bocah itu melirik ke arah pintu. Seperti sedang berharap seseorang akan datang melalui pintu itu.
"Ayo Ai mandi sama Daddy ya!"
Aisha menggeleng. Ali pun menjadi jengkel. Pria itu memarahi Aisha. Hingga bocah itu menangis sesenggukan. Wanda yang melihatnya sebenarnya merasa kasihan pada Aisha. Tapi dia membiarkannya saja.
Karena Aisha memang tidak boleh dimanja terus-terusan. Anak itu harus diajari agar patuh dan menurut pada orang tua.
"Ma..." tiba-tiba Sisi muncul dari balik pintu.
Wanda dan Ali sama-sama menoleh pada Sisi. "Ya Si?"
"Dicari Papa. Katanya ada telfon."
Wanda menepuk dahinya pelan. "Astaga! Itu pasti dari temen Mama. Dia pasti nanyain arisan." Wanita itu buru-buru beranjak menuju pintu.
"Makasih ya, Sayang," ujarnya pada Sisi sebelum keluar dari kamar Aisha.
Sisi mengangguk pelan. Pandangannya ganti tertuju pada Aisha yang menangis sesenggukan sambil menatapnya.
"Loh, Mas. Aisha kenapa?" tanyanya.
"Biasa. Dia nggak mau mandi," jawab Ali datar.
Sisi menghela nafas panjang. "Ai nggak mau mandi lagi? Kenapa?" tanyanya pada Aisha.
Namun bocah itu tidak menjawab dan terus menangis. Ali berdecak kesal mendengar tangisan Aisha yang tidak kunjung berhenti.
"Udahan nangisnya! Ayo mandi sama Daddy!" perintahnya. Pria itu menarik tangan mungil Aisha menuju ke kamar mandi.
Aisha membelot. Anak itu mengibaskan tangan Ali sambil terus menangis. Aisha berlari menubruk Sisi. Bocah itu memeluk erat pinggang Sisi. Menenggelamkan wajahnya di perut Sisi.
"Aisha!" ucap Ali marah.
"Mas... udahlah! Jangan marah-marah terus! Biar Aisha mandi sama aku!" ucap Sisi.
Wanita itu ganti menunduk menatap Aisha. "Ai mandi sama Bunda ya?" tawarnya seraya mengusap lembut rambut Aisha.
Aisha manggut-manggut dengan terisak. Sisi tersenyum tipis. Kemudian menuntun Aisha ke kamar mandi. Ali mengusap wajahnya kasar. Meninggalkan kamar Aisha sambil menahan terus mengumpat.
Entah kenapa dia sekarang jadi sering marah. Semenjak dia tau ada seorang wanita bernama Sisilia Humaira yang sangat mirip dengan mantan istrinya.
Dia jadi sering gelisah. Resah. Tidak bisa tidur nyenyak. Makan pun Ali rasanya tidak bernafsu. Dia frustasi saat menemukan kenyataan jika Sisi memang bukan Selly.
Awalnya dia mengira wanita itu adalah mantan istrinya yang menyamar. Atau mungkin Selly mengalami kecelakaan. Lalu hilang ingatan dan mengubah namanya menjadi Sisi.
Gila. Sungguh. Ali meninju tembok kamarnya dengan kencang. Menarik rambutnya kuat-kuat. Dia sudah tidak mampu berpikir lagi. Kepalanya rasanya mau pecah karena terlalu banyak memikirkan Sisi.
***
"Ai kenapa tadi nggak mau mandi?" tanya Sisi di sela kegiatannya memandikan Aisha.
Aisha mengendikkan bahunya sekilas. Kebiasaannya jika ditanyai Sisi. Anak itu malah sibuk memainkan busa di bathup tempatnya berendam. Sementara Sisi menggosok punggungnya.
"Ai harus rajin mandi, Nak. Kalo nggak mandi, badan Ai bisa gatel-gatel loh. Karena banyak kumannya," ujar Sisi.
Aisha menatap Sisi lekat. Memperhatikan wajah ibu tirinya itu. Sisi menyilangkan jilbabnya ke atas agar tidak terkena cipratan air sabun Aisha.
"Kebersihan itu sebagian dari iman. Anak yang sholehah, nggak boleh males mandi, males bersih-bersih. Soalnya Allah nggak suka anak yang kotor. Anak yang bau," imbuhnya lagi.
"Ayo bangun, Nak! Kita bilas badan Ai. Berendemnya udahan. Nanti masuk angin."
Sisi menarik Aisha untuk berdiri. Menyiram tubuh mungil Aisha dengan air shower. "Ayo Ai bilas rambutnya! Biar bunda yang kasih air!" perintahnya.
Aisha menurut. Bocah itu membilas rambutnya sendiri sesuai ucapan Sisi. Setelah selesai, Sisi menyelimuti Aisha dengan handuk besar. Mengajaknya keluar kamar mandi.
"Sini! Biar bunda keringin rambutnya!" Sisi menarik Aisha agar mendekat dengannya yang duduk di pinggir ranjang. Mengusap rambut Aisha dengan handuk kecil. Aisha hanya diam menatap wajah Sisi.
Cukup lama Sisi mendadani Aisha. Kini anak itu sudah terlihat cantik dan segar. Sisi mencium pipi Aisha dengan gemas. Membuat Aisha tersenyum malu.
Sisi kembali memberikan kecupan di pipi dan dahi Aisha. Sisi senang karena kini sepertinya Aisha sudah mulai bisa menerimanya. Wanita itu menarik tubuh Aisha. Mendudukkannya di pahanya.
Sisi memeluk Aisha dengan sayang. Sesekali mengecupi pipinya. "Bunda sayang sama Ai," ucapnya.
Aisha hanya diam menatap wajah Sisi. Anak itu balas memeluk Sisi dengan erat. Sejujurnya dia sangat suka pelukan Sisi yang hangat.
Sejak merasakan pelukan Sisi saat dia hampir diculik waktu itu, Aisha selalu berharap Sisi memeluknya lagi. Pelukan hangat dan penuh kasih sayang yang tidak pernah dia dapatkan dari seorang ibu.
***
"Ali!"
Langkah Ali yang menuju ke dapur terhenti saat mendengar panggilan mamanya. Pria itu harus menggagalkan niatnya untuk mengambil air minum.
Wanda mendekati Ali dengan senyumannya. Wanita itu menyodorkan dua lembar kertas pada Ali. "Nih ambil!" ujarnya.
Ali mengernyit. "Apaan nih?"
"Tiket," jawab Wanda singkat.
Ali berdecak. "Ali tau ini tiket, Ma. Maksudnya tiket buat apa?" ketusnya.
"Ya buat liburanlah," ujar Wanda. Wanita itu mendekati Ali. Berbisik di telinga putranya, "Tiket buat bulan madu."
Ali mendelik melihat Wanda terkikik geli. Pria itu menggeleng tak setuju. Mengembalikan tiket tadi ke tangan Wanda.
"Nggak, ah. Bulan madu apaan!" sentaknya.
Wanda menggertakkan giginya kesal. "Pokoknya kamu harus pergi bulan madu sama Sisi! Mama nggak mau tau! Mama udah beliin tiketnya!" omelnya pada Ali.
Ali tertawa mengejek. "Kan aku nggak nyuruh Mama beliin tiket buat bulan madu."
"Ali! Kamu itu ya! Pokoknya kamu sama Sisi harus berangkat ke Paris besok! Nggak ada penolakan!" ucap Wanda menekankan.
"Nggak!" bantah Ali cepat.
"Ali!" seru Wanda kencang.
"Ali nggak mau, Ma! Jangan maksa!"
"Li... kamu ini! Mau jadi suami durhaka kamu! Jangan kamu kira Mama nggak tau, ya! Kamu sama Sisi belum ngapa-ngapain kan? Kalo kamu gini terus, kapan Mama bisa punya cucu lagi, Li?"
Ali menghela nafas panjang "Ma..."
"Li... Mama mohon. Tolong jangan egois! Sisi berhak mendapatkan nafkah lahir batin dari kamu. Dia istri kamu yang sah. Ingat kewajiban kamu, Li!"
"Aku nafkahin Sisi, Ma. Aku transfer uang ke tabungannya. Jumlahnya nggak sedikit. Cukup buat beli satu mobil mewah! Jadi Mama jangan asal ngomong aku nggak nafkahin dia!" bantah Ali.
Wanda menggeleng lirih. Dia tidak menyangka putranya akan berpikiran sepicik itu. Wanita itu menatap dalam-dalam wajah Ali. "Kalau bagi kamu nafkah itu cuma materi, kamu salah besar, Li. Mama nggak nyangka akan punya anak sepicik ini! Kamu terlalu membanggakan uang! Kamu kira kebahagiaan bisa dibeli dengan uang!" bentaknya.
Ali terdiam melihat Wanda meneteskan air matanya. Sedikit sesal muncul di hatinya. Selama ini Wanda tidak pernah menangis karenanya.
"Maafin Ali, Ma...." pria itu berusaha mendekati Wanda yang menangis tersedu.
Namun Wanda malah menepis kasar tangannya. "Jangan pernah akui Mama sebagai Mama kamu! Sebelum kamu bisa menghilangkan sifat egois kamu itu!"
Kemudian wanita itu bergegas pergi dari hadapan Ali.
Membiarkan Ali termenung sendiri. Bersandar di tembok dengan helaan nafas kasarnya.
Ali sungguh menyesal sekarang. Dia tidak tau harus bagaimana. Apa dia memang harus memenuhi permintaan mamanya? Dengan mengajak Sisi berbulan madu? Lalu membuatnya hamil agar mamanya mendapatkan seorang cucu?
Bisakah dia melakukannya? Ali membenturkan kepalanya ke tembok belakangnya. Frustrasi. Bingung. Tidak tau harus berbuat apa. Dia benar-benar merasa tertohok dengan ucapan mamanya.
Dia tau, dia memang keterlaluan. Menjaga jarak dengan Sisi. Melimpahi wanita tidak bersalah itu dengan kata-kata kasar dan menyakitkan. Tapi dia melakukan itu juga karena terpaksa.
Dia harus melindungi hatinya bukan? Ali tidak mau menjadi lemah saat ada bersama Sisi. Dia takut jatuh ke dalam pesona wanita itu. Ali tidak mau mengulang kesalahan yang sama seperti dulu.
Dia tidak ingin merasakan lagi sakitnya ditinggalkan. Karena hingga detik ini pun, luka yang diberikan oleh mantan istrinya masih terasa jelas. Menganga. Berdarah. Terasa sakit. Perih tak tertahankan.
Hatinya hancur. Sangat. Namun dia tidak sadar jika ada seseorang yang lebih hancur saat ini.
Sisi membekap mulutnya rapat-rapat. Menahan isakan agar tidak keluar dari bibir mungilnya itu. Air matanya mengalir deras.
Mendengar percakapan Ali dan Wanda, membuat hatinya terluka.
Perlahan, Sisi melangkah dengan hati-hati. Menuju ke kamarnya. Menutup pintu dan menguncinya. Tubuhnya ambruk ke bawah. Sisi memegangi dadanya yang terasa sesak. Nyeri di dalam dadanya.
Wanita itu tidak tau dimana tepatnya yang terasa sakit. Yang dia tau, kini dia benar-benar sakit. Sisi membatin, mungkinkah dia sudah salah memilih imam?