“Aku enggak boleh hanya diam, apalagi terus-terusan menangis!”
“Aku harus melakukan sesuatu!”
“Aku harus menemui pak Bagas!”
Di dalam kamarnya yang ada di kediaman orang tuanya, Dini masih mondar-mandir. Kemudian, tatapannya berhenti ke Anna. Di tempat tidurnya, Anna sudah lelap. Sementara alasan Anna tidak rewel menanyakan keberadaan Levian karena Dini mengatakan, bahwa Levian sedang bekerja di luar kota.
“Sudah dinihari, mau pukul dua pagi. Belum ada kabar juga.”
Dini yang sengaja tak menutup jendela sebelah meja kerjanya, sengaja menelepon pengacara Levian. Ia menggunakan ponsel Levian yang terus ia genggam di tangan kanan, untuk melakukannya.
“Assalamu'alaikum Pak Matius. Bagaimana kabar Mas Levian?” sergah Dini tak sabar, ketika telepon suara yang ia lakukan kepada pengacara Levian, akhirnya dijawab.
“Waalaikumsalam, Mbak Dini. Pak Levian masih di dalam ruang pemeriksaan. Mbak Dini tidak perlu khawatir. Mbak Dini fokus istirahat saja, seperti pesan Pak Levian—”
Balasan dari seberang membuat Dini terduduk lemas di lantai. Tubuhnya sungguh terjatuh begitu saja, seolah tulang-tulangnya tak lagi berfungsi dengan semestinya.
Beres telepon dengan pengacara suaminya, Dini sengaja meraih ponselnya dari meja kerjanya. Dini membuka pemblokiran terhadap nomor sang dosen.
“Besok juga, aku harus menemuinya! Bagaimanapun caranya, aku harus bisa membuat pak Bagas mau menyelesaikan semua ini secara kekeluargaan. Masalah ganti rugi dan lain-lain, bisa diurus!” pikir Dini.
••••
“Dan akhirnya, ... yang ditunggu-tunggu terjadi juga!” batin pak Bagas ketika di subuhnya, melihat kontak Dini, sudah kembali online. Yang dengan kata lain, ia sudah tak lagi diblokir.
Walau Dini belum sampai menghubunginya, pak Bagas yakin, bahwa alasan Dini menghubunginya, masih berkaitan dengan penangkapan yang dialami Levian.
Dini yang semalaman terjaga, dan benar-benar tidak bisa tidur, masih bertasbih sambil duduk di pinggir tempat tidur. Dini mengawasi suasana luar melalui jendela kamar dekat meja yang tak ia tutup gordennya.
“Sepertinya sudah pagi,” lirihnya.
Dirasa Dini, musibah yang dialami sang suami dan membuat dunianya kacau, juga membuat waktunya seolah berputar sangat lambat.
“Coba sekarang jam berapa?” lirih Dini tak membiarkan tasbih di tangan kanannya, berpindah posisi. Ia tetap mempertahankan tasbih yang menemaninya terjaga menunggu kabar dari sang suami, di tangan kanannya.
“Sudah setengah lima pagi lebih ... subuhan dulu.”
Beres subuhan, Dini mendengar ponselnya yang ada di meja sebelah lampu meja, berdering. Dering tanda pesan masuk, dan membuat Dini buru-buru memastikannya. Tak disangka, ketiga dering tanda pesan masuk, semuanya dari pak Bagas.
“Sebenarnya punya masalah apa pak Bagas ke mas Levian. Apa memang, ada dendam yang belum terselesaikan? Hingga meski sudah tahu aku istrinya mas Levian, dia terkesan enggak peduli? Atau malah, ini bagian dari karma mas Levian yang sudah merebut aku dari Leon, padahal hari pernikahanku dan Leon, sudah di depan mata?” pikir Dini yang kemudian membuka pesan WA dari pak Bagas.
Pak Bagas Dosen : Assalamualaikum, Din? Sori baru ngabarin. Ponsel saya sempat r u s a k dan kembali ke setelan awal. Dapat nomor kamu saja, saya harus bongkar data mahasiswi.
Pak Bagas Dosen : Jika ada pesan yang belum saya respons, kirim ulang saja. Namun untuk skripsi kamu, aku udah kasih Yes, ya 👌🏼
Pak Bagas Dosen : (Foto nilai skripsi A+)
“Masa sih, hapenya r u s a k? Beneran r u s a k, atau hanya bagian dari modusnya?”
Dini : Waalaikumsalam, Pak. Oke, terima kasih banyak untuk waktu dan kesempatannya. Sekalian, saya ingin bertemu. Saya ingin membahas apa yang sudah Pak Bagas lakukan kepada suami saya 🙏
“Kenapa Dini harus menyebut Levian, suami saya? Enggak tahu apa, aku muak banget ke panggilan manis yang para wanita berikan kepada Levian. Apalagi semua wanita yang aku suka, selalunya lebih memilih Levian!”
Meski dongkol setengah mati, pak Bagas yang sampai rela membawa ponsel padahal sedang menggosok gigi di wastafel yang dilengkapi cermin, tetap langsung membalas WA Dini.
Pak Bagas Dosen : Oke, hari ini juga kita bertemu. Kamu bisa datang ke kamar hotel aku tinggal untuk sementara waktu.
Kaget, pesan yang ia terima dari sang dosen, sempat membuat Dini tak bisa berkata-kata. “Kenapa harus menemuinya di kamar hotel dia tinggal?”
Dini : Mohon maaf, Pak. Tolong jangan di kamar hotel. Di tempat lain saja bertemunya.
Pak Bagas Dosen : Hari ini sampai dua minggu ke depan, saya benar-benar sibuk. Banyak skripsi yang harus saya urus.
Pak Bagas Dosen : Jika kamu tidak mau, ya sudah. Beberapa orang termasuk mahasiswi yang ingin bertemu saya, juga datangnya ke sini.
“Aduh ... ini jebakan, kan? Ya sudah lah ... aku ajak papa, tapi enggak usah bilang ke dia!” batin Dini yang jadi kesal setengah mati kepada sang dosen.
Dini : Kalau begitu, baik Pak. Saya usahakan sebelum jam makan siang. Tolong kirim alamatnya saja.
Pak Bagas Dosen : 👌🏼, bentar ....
Belum apa-apa, dan masih belum beres gosok gigi, pak Bagas jadi sibuk senyum sendiri. “Akhirnya, ... yang aku incar-incar akan kumiliki juga. Kalau gini caranya, berarti aku harus langsung beli obat t i du r buat Dini.”
Semua rencana untuk m e n j e b a k Dini, langsung pak Bagas rancang. Ia juga sampai keluar dari kamar hotel dirinya menginap untuk membeli obat t i du r. Di apotek yang buka selama dua puluh empat jam, pak Bagas membelinya. Selain itu, pak Bagas juga membeli beberapa k o n d o m.
***
“Papa mau pergi buat cari stok barang di toko, Sayang. Papa enggak bisa temenin kamu. Memangnya kamu mau ke mana? Harus hari ini?” ucap pak Badarudin kepada sang putri.
“Aduh ... iya, Pa. Beneran harus ini. Soalnya aku mau ketemuan sama dosenku yang sudah laporin mas Levian,” ucap Dini kepada sang papa yang langsung merenung serius.
“Kalau gitu ya sudah, Papa antar.” Pak Badarudin yang sampai menaruh kembali cangkir berisi kopi hitamnya di lambar, yakin dengan keputusannya. Tidak ada yang lebih penting dari Levian menantunya. Apalagi, Levian juga yang sudah memberi keluarganya kehidupan layak.
Setelah mengatur kembali jadwalnya, pak Badarudin pun siap-siap karena Dini juga memintanya untuk sesegera mungkin mengantar.
Karena Levian yang sangat berharga untuk keluarga Dini, ibu Syamila mama Dini juga dengan senang hati menjaga Anna. Selagi Dini masih harus mengurus kepentingan di luar, ibu Syamila yang akan menjaga Anna. Apalagi sejauh ini, Anna yang penurut juga langsung dekat dengan ibu Syamila, dan bocah itu panggil oma.
Pak Badarudin mengantar Dini menggunakan motor. Beberapa kali, Dini mendadak merasa pusing jika harus menghirup asap kendaraan. Dini yang tak memakai masker, sengaja menggunakan ujung pashminanya untuk menutupi hidung. Karena meski ia memakai helm dengan benar hingga kacanya menutupi wajah, aroma asap di sana, tetap bisa ia hirup.
“Kok gini banget sih, jadi lemah rapuh gara-gara terbiasa naik mobil mahal apa gimana. Bau asap kendaraan saja pusing, mual!” keluh Dini ketika mereka terjebak di lampu merah. Sang papa menertawakannya sambil menepuk-nepuk lutut kanannya.
“Kalau yang lain tahu, kamu bisa dikatain, OKB sombong!” ucap pak Badarudin dan langsung membuat Dini tersipu malu.
“Aku mau WA pengacara mas Levian lagi. Masa Mas Levian diperiksanya lama banget. Kira-kira mas Levian sudah makan belum. Kok belum dijawab apalagi telepon?” bawel Dini sambil mengambil ponsel Levian dari tas tote bag kuning di pangkuannya.
“Doanya dikencengin saja, Ni!” ucap pak Badarudin menasihati.
“Ini sudah kenceng banget, Pa!” yakin Dini.
Setelah sekitar satu jam mengarungi perjalanan menggunakan motor, akhirnya mereka sampai di depan hotel pak Bagas tinggal.
“Sudah datang ...?” Senyum semringah di wajah segar pak Bagas, langsung berkurang bahkan hilang. Hanya karena Dini yang menjadi lawan bicaranya, menoleh ke sebelah. Sementara di lorong sebelah, ada seorang bapak-bapak memakai batik panjang. Bapak-bapak berpenampilan sederhana itu Dini panggil “papa".
“Papa teleponnya udah, kan?” lembut Dini memastikan kepada sang papa yang melangkah menghampirinya sambil menyimpan ponsel di saku samping kanan celana hitam panjangnya.
“Pantas tadi enggak kelihatan di kamera CCTV. Tadi yang kelihatan cuma Dini. Ya sudah lah. Berarti teh isi obat t i d u r-nya dua. Buat Dini dan papanya," batin pak Bagas yang segera bersikap santun kepada pak Badarudin. Ia menyalami pak Badarudin dengan takzim, sementara Dini mundur dan menolak jabat tangan yang akan ia lakukan.