Di ruang makan yang sepi dan masih ada di dapur kediaman orang tua Dini, Dini dan Levian duduk bersebelahan. Keduanya berhadapan dengan Anna yang sedang sarapan bersama mereka.
Suasana di luar sana masih berkabut dan mungkin akibat hujan semalaman. Walau dingin, adanya kabut di pagi kali ini membuat mereka merasakan kesegaran dari dampaknya. Terlebih semua jendela maupun pintu sengaja dibuka. Udara di sana jadi amat sangat segar. Aroma debu yang biasanya selalu mewarnai di sana, mendadak tak lagi mereka rasakan kehadirannya.
Di hadapan Dini dan Levian, Anna mengunyah setiap buah apelnya yang dipotong kecil-kecil dengan sangat bersemangat. Anna tak hentinya menatap bahagia kebersamaan papa mamanya. Di hadapannya, walau Levian tampak sibuk dengan ponsel, Dini tak membiarkan mulut sang suami berhenti mengunyah. Selain itu, Levian juga kerap menempelkan bibirnya di kepala maupun pipi Dini. Anna akan makin bahagia ketika di setiap kecupan yang papanya lakukan, sukses membuat pipi Dini jadi kemerah-merahan, selain Dini yang akan selalu tersipu malu.
Acara sarapan selesai. Levian juga baru saja menaruh ponselnya di meja makan. Dini yang memergokinya berangsur meraih tangan Kiri Levian kemudian menggenggamnya erat penuh kemanjaan menggunakan kedua tangan. Dini menyimpan genggaman tangan mereka di pangkuannya. Selain itu, Dini juga berangsur bersandar pada d**a sang suami mengikuti tuntunan tangan kanan Levian yang tidak ia genggam.
“Alhamdullilah ... aku menerima, mencintai suamiku dengan ikhlas. Karena andai aku mencari kesempurnaan yang lain hanya karena setitik kekurangannya, aku tak mungkin mendapatkan yang lebih baik atau setidaknya setara dengannya. Mas Levian sudah berlevel terlalu tinggi. Tak ada yang bisa menyaingi!” batin Dini.
Dirasa Levian, keputusannya mengejar Dini ke rumah orang tua Dini, dan terus mencintai Dini dengan caranya, pada akhirnya membuat Dini percaya. Keromantisan sungguh telah sepenuhnya mewarnai hubungan mereka, walau semuanya masih serba ia yang memulai.
“Hari ini aku tetap harus kerja walau masih dari rumah. Aku ganti baju dulu,” ucap Levian karena kini, ia hanya memakai kaus oblong warna putih dan membuatnya terlihat sangat santai.
“Sekalian pakai celana panjang juga. Enggak lucu kalau atasan sampai pakai dasi sama jas, tapi bawahannya masih boxer,” ucap Dini sambil merapikan bekas sarapan mereka.
Levian yang baru akan meraih ponselnya lagi, refleks memastikan apa yang ia maksud. Baru ia sadari, ia hanya memakai boxer, padahal kini ia tengah ada di rumah orang tua Dini. Karena meski rumah tersebut merupakan rumah pemberiannya, di sana ada orang tua Dini bahkan keluarga kakak Dini.
“Thank you udah ngingetin!” manis Levian yang lagi-lagi mengabsen wajah Dini menggunakan bibir, searah jarum jam.
Padahal sebelumnya saja, Dini sudah melarang Levian melakukannya di depan Anna. Takut berdampak ke Anna.
“Enggak apa-apa, Papa Mama sayang-sayangan terus. Kami sudah menikah, sudah dewasa. Namun Anna enggak boleh ikut-ikutan sebelum Anna menikah dan itu Papa yang urus juga!” tegas Levian mencoba memberi arahan.
Anna mengangguk-angguk, dan sangat bersemangat membereskan bekas sarapannya. Dengan sangat hati-hati, Anna memboyong piring dan gelas berikut sendok dan garpunya ke wastafel. Ia mengikuti arahan dari Dini. Karena ia masih kecil, sang mama belum mengizinkannya mencuci gerabah. Dini yang mencucinya, sementara Anna hanya diminta melihat bagaimana proses mencuci gerabah.
Levian yang awalnya buru-buru pergi demi menghindari kedatangan mertua dan iparnya lantaran ia hanya memakai boxer, jadi terusik oleh kebersamaan manis di depan wastafel. Usia Dini yang terbilang masih muda, tak menghalangi perhatian sekaligus peran wanita itu menjadi seorang ibu. Dini bisa menempatkan posisinya dengan baik, dan mungkin efek lingkungan tumbuh sekaligus didikan orang tua Dini.
“Syukur lah ... anak-anakku akan memiliki mama idaman. Mama yang bisa sepenuhnya mengurus sekaligus membahagiakan anak-anaknya!” batin Levian.
Hingga jam makan siang tiba, baik Levian maupun Dini, masih sibuk di depan laptop masing-masing. Levian duduk di depan meja belajar Dini, sedangkan Dini bertahan di tengah-tengah tempat tidur. Dini mengurus ulang skripsinya sambil menemani Anna bermain ponsel.
Lagu anak-anak yang Anna tonton, menghiasi kamar tempat kebersamaan mereka. Sesekali, Levian akan meminta Anna untuk mengecilkan volume ponselnya lantaran Levian harus melakukan meeting lewat zoom.
“Kecilin suaranya, ya. Papa mau meeting dulu,” ucap Levian dan membuat Dini yang sempat terkantuk-kantuk, bergegas melepas kacamatanya, menaruhnya di sebelah laptop. Dini memilih menggendong Anna dan membawanya pergi dari kamar.
“Mas, kami nonton tivi dulu di bawah. Aku ngantuk banget enggak bisa fokus urus skripsi,” pamit Dini.
“Kamu enggak enak badan?” tanya Levian langsung menatap cemas sang istri. “Kalau ngantuk ya tidur dulu. Anna biar sama aku!” sergah Levian masih memperlakukan sang istri dengan manis. Ia sampai melepas kacamata beningnya kemudian menghampiri Dini.
“Mas yakin? Ini aku beneran boleh tidur?” tanya Dini ragu.
“Tidurlah ... ngantuk, daripada puyeng. Anna sama Papa, ya!” sergah Levian yang langsung mengambil alih sang putri dari Anna.
Dalam hatinya, Anna baru bersyukur karena ia yang tengah mengantuk, akan tidur dengan leluasa. Namun, hadirnya sang mama yang panik mengabarkan ada polisi datang mencari Levian, mengubah segalanya.
Sempat berpikir hubungan mereka akan mulai manis atau setidaknya normal layaknya pasangan lain. Hadirnya polisi yang melakukan penangkapan terhadap Levian membuat Dini menjadi orang yang paling kacau.
“M—Mas ...?” Air mata Dini makin sibuk berjatuhan, padahal Levian dengan sangat kooperatif mengikuti arahan polisi.
“Enggak apa-apa ... enggak apa-apa. Aku akan segera pulang!” yakin Levian yang sudah mengantongi ponselnya. Selain itu, Levian juga sudah menghubungi sang pengacara maupun orang kepercayaannya.
“Sayang, pegang hape aku. Sandinya pakai telunjuk tangan kanan kamu juga bisa. Nanti orang kepercayaanku bakalan serba laporan ke kamu. Kamu cukup cek semua hasil.” Levian memberikan ponselnya kepada Dini, tapi Dini sibuk menggeleng dan buru-buru memeluknya erat.
Di hadapan keluarga Dini dan tiga orang polisi yang datang melakukan penjemputan karena surat panggilan sebelumnya, Levian abaikan. Kebersamaan Levian dan Dini menjadi sangat menyayat hati. Tak ada yang tidak menangis, termasuk mama Dini yang mengintip dari terali lantai atas depan kamar Dini.
Mama Dini sengaja menahan Anna di kamar Dini, agar Anna tidak melihat sang papa dibawa polisi.
“Padahal baru bilang alhamdullilah ... eh, Mas beneran harus berurusan dengan polisi karena apa yang Mas lakukan dengan pak Bagas!” ucap Dini tersedu-sedu. Tubuhnya sampai terguncang pelan layaknya menggigil, meski kini ia tak sedang kedinginan.
“Aku pastikan, aku bisa lolos dari ini. Kamu enggak usah khawatir!” tegas Levian masih memeluk erat Dini, yang tak biasanya menjadi memeluknya sangat erat. “Kalau Anna rewel, antar ke mama papa saja. Biar kamu enggak kecapaian!” lanjut Levian.
Mendengar itu, Dini buru-buru menarik wajahnya dari d**a Levian. Ia menengadah dan menatap Levian. “Enggak, Mas. Anna tetap tanggung jawabku. Nanti aku yang urus Anna. Termasuk jadwal cuci darah pun, nanti aku yang urus. Paling nanti sekalian tetap ajak mama Mas!” yakinnya, dan sang suami yang menyimaknya penuh ketenangan, mengangguk-angguk kemudian mengabsen wajahnya menggunakan bibir, searah jarum jam. Hal yang juga buru-buru Dini lakukan juga kepada Levian.
Selain Dini sampai berjinjit dan membingkai wajah Levian menggunakan kedua tangan, termasuk tangannya yang memegang ponsel. Levian juga sampai menunduk guna mempermudah ulah istrinya.
“Istirahat, ... jangan sampai kecapaian!” pesan Levian sebelum dirinya benar-benar diboyong polisi. Namun sebelumnya, kedua tangannya harus diborgol.
Dini tidak bisa untuk tidak menangis. Rasanya sangat sesak, dan d a d anya terasa sangat sakit. Lebih menyakitkan dari ketika untuk pertama kalinya Levian nekat m e r e n g g ut kesuciannya.
“M—Mas!” Saking sakitnya, sekadar bersuara saja, Dini tak lagi bisa. Hanya air mata Dini yang bisa menggambarkan suasana hati Dini yang sangat hancur.
Kedua kaki Dini tak kuasa berhenti melangkah menyusul Levian. Berbeda dari biasanya, kali ini Levian tak menemui Dini lagi, atau setidaknya menoleh ke Dini. Levian terus maju dan buru-buru duduk di tempat duduk penumpang yang sudah disediakan. Levian duduk di tengah, diapit oleh dua orang polisi.
“Maaf Din, aku sudah bikin kamu sesedih bahkan hancur seperti sekarang,” batin Levian tak sudi untuk menangis, meski apa yang ia alami, sangat menyakitkan. Apalagi melihat Dini yang tak hentinya menangis dan perlahan berlari mengejar polisi yang membawanya.
Di belakang sana, Dini ditenangkan oleh papa dan kakaknya. Levian mengawasinya dari kaca spion mobil bagian depan sebelah kanan.
Levian ditangkap polisi karena dilaporkan oleh pak Bagas. Dalam laporan, selain Levian telah meratakan rumah pak Bagas menggunakan eksavator. Levian juga dilaporkan karena melakukan penganiaya*an berat kepada pak Bagas.