BAB 8

1039 Words
Sakha pulang ke rumah langsung di sambut senyum hangat dari sang mama. Hal seperti itulah yang membangkitkan semangat Sakha agar bisa terus berjuang demi membahagiakan mamanya. Wanita yang tak lagi muda usianya, berada di atas kursi roda tengah menunggu di ruang tamu. "Kenapa malam sekali pulangnya, Sakha?" tanya yang terlontar dari mulut wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Kulit Prameswari pun juga nampak keriput. Sungguh, sejujurnya Sakha tidak tega melihatnya. Lelaki itu berjongkok di depan kursi roda sang mama lalu mengambil tangan Prameswari. Sakha mencium punggung tangan mamanya dengan penuh rasa sayang. "Hari ini adalah hari pertamaku di perusahaan baru. Jadi masih butuh penyesuaian. Selain itu macet di mana-mana." Meninggalkan Indonesia delapan tahun lamanya, tak melupakan fakta jika di negara ini kemacetan sudah bukan menjadi hal yang langka. "Ya, sudah. Kamu pasti capek. Sebaiknya segera mandi lalu makan. Mama akan menunggumu." "Mama belum makan malam?" Kepala Prameswari menggeleng. "Mama menunggumu pulang." "Kenapa harus menungguku, Ma. Bukankah mama harus mengkonsumsi obat. Jadi sebaiknya Mama makan dulu dengan suster. Jangan menungguku pulang. Untung saja kan pulangku hari ini tidak seberapa malam." "Tapi Mama susah menelan makanan jika memikirkan kamu yang belum pulang. Jadi, ya sudah. Mama putuskan menunggumu saja agar kita bisa makan bersama." "Baiklah. Jika begitu aku ke kamar dulu. Mandi. Gerah sekali." Sakha beranjak berdiri. Mendorong kursi roda mamanya dan menghentikan di depan televisi. Ada perawat yang Sakha pekerjakan untuk mengurus sang mama, sedang duduk di atas sofa. "Sus, temani mama dulu, ya?" "Iya, Pak." Sakha melesat pergi menaiki anak tangga di mana kamarnya ada di lantai dua rumah. Rumah ini terbilang masih baru karena dia pun membelinya baru sekitar tiga bulan lalu ketika dirinya memutuskan untuk membawa sang mama pindah ke Indonesia. Sementara rumah miliknya yang dulu pernah dia tinggali bersama Moza, sudah dia jual ketika pergi ke luar negeri. Dan rumah mamanya, mereka sewakan untuk orang lain. Prameswari tak ingin menjual rumah peninggalan papanya Sakha karena di rumah itu penuh dengan kenangan masa lalu yang begitu indah. Di dalam kamar yang sunyi dan sepi. Mungkin kehidupannya akan jauh lebih baik andaikan ada sosok anak dan istri yang menyambutnya ketika dia pulang seperti ini hingga dapat mengenyahkan rasa lelah setelah seharian bekerja. Namun, pada kenyataannya hanya sepi yang mendera. Tidak ada sambutan hangat juga senyuman manis yang dapat menghalau rasa capeknya. Sakha embuskan napas panjang. Membuka kancing kemeja satu per satu sebelum dia tanggalkan. Dia harus segera mandi dan membersihkan tubuhnya. Tidak ingin sang mama menunggunya terlalu lama untuk makan malam. Bagaimana pun hanya mama yang dia punya sekarang. Jadi Sakha sebisa mungkin harus membahagiakan wanita yang sangat dia cintai itu. •••• Lain halnya dengan Moza. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu tengah menikmati makan malam dengan kekasihnya. Hal yang sering dia lakukan ketika tak banyak pekerjaan menyita waktu mereka berdua. Karena hanya dengan makan malam seperti ini, baik Moza dan juga Edham akan memiliki waktu lebih untuk bersama. Banyak bertukar cerita mengenai apa saja yang mereka lakukan selama seharian. Dan karena dua hari Moza berada di luar kota, jadi makin banyak saja cerita yang dapat Moza juga Edham bagi dalam acara makan malamnya kali ini. Memilih sebuah cafe sebagai tempatnya menghabiskan waktu malam ini. Keduanya tak hanya bisa makan malam tapi juga menikmati suguhan live musik yang semakin menghangatkan suasana. "Gimana Dirut barumu? Enak nggak orangnya?" Di tengah acara makan, Edham melontarkan pertanyaan. Moza yang masih sibuk mengunyah hanya mengedikkan bahunya. "Entahlah. Baru juga hari ini menjabat. Jadi belum kelihatan apakah orangnya sebaik Pak Gunawan atau tidak." Ya, Moza memang tidak tahu bagaimana perilaku Sakha Rahardian yang sekarang. Apakah masih se-arogan dulu ataukah sudah berubah jadi pria yang lembut seiring bertambahnya usia yang tak lagi muda. Moza tak tahu. Meski dalam ingatan Moza masih jelas terekam bagaimana dulu Sakha bersikap dan memperlakukannya. Bisa dikatakan buruk. Namun, masih ada sisi positif yang dapat Moza rasakan. Memang Sakha tak pernah memperlakukannya sebagai seorang istri ketika dulu mereka menikah. Lebih banyak menganggapnya anak kecil dan sesuka hati Sakha marahi dan dibentak-bentak. Akan tetapi, Sakha adalah sosok lelaki yang bertanggung jawab jika dari segi materi. Lihat saja bagaimana Moza bisa meraih cita-cita sebagai seorang arsitek. Itu sebab juga karena Sakha. Ketika bercerai dulu, Sakha telah memberikan sejumlah uang pada Moza sebagai kompensasi dan sengaja Sakha melakukan itu sebagai bentuk tanggung jawabnya ingin Moza menuntaskan study hingga lulus. Pada akhirnya, Moza memang benar-benar memakai uang pemberian Sakha untuk membayar semua biaya kuliahnya hingga lulus menjadi seorang Sarjana Tehnik. Bahkan karena banyaknya uang yang Sakha berikan, masih bersisa dan menjadi tabungan Moza kalau-kalau gadis itu membutuhkan dana mendadak misalnya. "Sudah tua atau masih muda?" Tanpa ragu dengan cepat Moza menjawab. "Sudah tua." "Tua mana dengan Pak Gunawan?" "Tentu saja tuaan Pak Gunawan. Secara Pak Gunawan juga waktunya pensiun. Mungkin sekitar usia ...." Moza sedikit mengingat. Jika saat menikahinya dulu Sakha berusia dua puluh delapan tahun, berarti sekarang pria itu berusia sekitar tiga puluh enam atau tiga puluh tujuh tahun. "Mungkin sekitar tiga puluh enaman," lanjut Moza menjawab. "Masih muda itu sayang." Moza hanya terkekeh. Baginya, Sakha sudah tua. Tak lagi ada pembahasan penting terkait pekerjaan. Sampai keduanya memutuskan pulang. Lebih tepatnya Edham yang mengantarkan Moza sampai ke rumah sewa. Di depan pagar rumah, Edham tak lantas membuka pintu mobil begitu dia mematikan mesinnya. "Terima kasih makan malamnya, Mas." Ya, malam ini Edham lah yang mentraktir Moza. Seperti hari-hari sebelumnya di mana Edham yang akan lebih sering mengeluarkan uang ketika mereka tengah jalan. Namun, bukan berarti Moza tak pernah mengeluarkan uang selama masa pacaran mereka. Tentu saja di beberapa kesempatan Moza akan ikut andil mengeluarkan uang meskipun dengan sedikit memaksa. Namanya hubungan pacaran tak melulu prianya yang harus mengeluarkan uang. "Sama-sama." "Ya, sudah. Aku keluar dulu. Good night." Baru saja Moza akan menyentuh tuas mobil untuk membuka pintunya, akan tetapi tarikan tangan Edham pada lengannya membuat wajah wanita itu menoleh ke belakang. Tak mampu Moza mengelak ketika Edham dengan cepat menyambar bibirnya. Ingin menolak dan mendorong tubuh kekasihnya, sayangnya Edham dengan lihai menarik tengkuknya agar dapat lebih memperdalam ciuman mereka. Ah, ciuman Edham lebih tepatnya karena Moza tidak membalas ciuman itu. Bukan karena dia tidak cinta pada Edham. Bukan begitu. Hanya saja, Moza memang selalu berusaha menolak kedekatan yang lebih intim karena mereka belum resmi menjadi sepasang suami istri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD