Sakha menatap nanar pada punggung Moza yang pergi menjauh meninggalkannya. Helaan napas berat keluar dari sela bibirnya. Sungguh dia sendiri juga tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan mantan istri yang dia ceraikan sekitar delapan tahun silam, sebelum dia menikahi Cheezy.
Mengusap dagu dengan sebelah tangan. Setelahnya barulah dia kembali ke tempat yang tadi dia tinggalkan. Kembali berkumpul dengan para petinggi perusahaan. Mata Sakha sempat melirik mencari keberadaan sosok gadis belia yang sekarang jauh terlihat lebih dewasa. Namun, tak lagi Sakha menjumpainya. Karena Moza memang lebih memilih kembali ke lantai tiga dan duduk sambil bertopang dagu di meja kerjanya. Menggelengkan kepala lalu menepuk-nepuk kedua pipinya.
Pukulan ringan pada punggung, sampai-sampai tubuh Moza harus terdorong ke depan, hampir saja terantuk layar monitor di depannya. Dan Moza sudah tahu betul siapa pelakunya.
"Mita!"
"Habisnya kamu ini aneh. Sejak balik dari toilet malah bengong. Kesambet jin toilet baru tahu rasa."
"Lambemu, Mit!"
Dan gelak tawa Mita langsung terdengar acapkali Moza sudah kesal dan meluncur bahasa planet dari mulut sang sahabat.
Mood Moza benar-benar buruk hari ini. Dan ia enggan menanggapi kelakuan Mita yang nampak sedang menikmati secangkir kopi di tangannya.
Gadis itu meraup wajahnya sampai deringan ponsel di atas meja mengalihkan perhatiannya. Mita sendiri yang tahu jika kekasih Moza tengah menelepon, memilih melipir kembali ke ruang kerjanya sendiri.
Sementara Moza, gadis itu langsung berbinar wajahnya dan segera mengangkat panggilan telepon dari kekasihnya.
"Moz! Nanti pulang kerja aku jemput. Jangan ke mana-mana. Aku merindukanmu." Pengakuan Edham dari suara yang terdengar di telinga Moza, bagai magnet yang langsung mengembalikan mood gadis itu kembali membaik seketika. Hanya Edham yang mampu membuat pipinya merona seperti ini. Padahal mereka hanya mengobrol melalui sambungan telepon saja, bukan video call. Dengan begini Moza tak perlu malu Edham akan melihat pipinya yang sudah merona merah karena terharu akan rasa rindu yang Edham lontarkan.
Maklumlah. Dua hari ini memang Moza ada di lokasi proyek yang terdapat di luar kota hingga keduanya tak bisa saling bertemu seperti biasanya.
"Baiklah, Mas. Aku akan menunggumu nanti."
"Itu saja?"
Moza nampak mengernyit. Tak mengerti dengan perkataan Edham. "Maksudnya?"
"Kamu tak merindukanku juga, Moz?"
Duh, pipi Moza makin terasa memanas.
Mita yang menyadari jika sang sahabat sedang malu-malu kucing sehingga berdehem keras sampai membuat mata Moza melotot padanya. Dan Mita justru tertawa sengaja menggoda teman baiknya itu.
"Ya, sama, Mas. Aku juga merindukan Mas." Untuk kata terakhir itu Moza ucapkan dengan sangat lirih berharap Mita juga yang lainnya tidak mendengar.
Edham terkekeh. "Ya, sudah. Sampai ketemu nanti sore. Bye."
"Bye."
Belum juga Moza meletakkan ponselnya, suara deheman Mita kembali terdengar.
"Apaan sih, Mit! Ngiri aja, sih kerjaanmu!"
"Yang lagi kangen, dunia serasa milik berdua."
"Ya, jelas."
"Moza sialan!"
"Language, Mita!"
Dan suara tawa Mita yang terbahak memenuhi ruangan yang masih sepi karena sebagian karyawan belum kembali pada meja kerja masing-masing.
••••
Di hari pertamanya bekerja di kantor ini tak ada kesulitan yang Sakha dapat. Memang perusahaan ini lokasinya sangat jauh dari keramaian kota, tapi bukankah ini yang Sakha harapkan ketika dia kembali ke Indonesia.
Dia sudah lelah dengan kehidupan yang dia jalani beberapa tahun terakhir ini. Dan di sini Sakha ingin memulai semua dari nol. Sayangnya, kenapa harus ada Moza di kantor ini. Salah satu hal yang tak mungkin bisa Sakha abaikan begitu saja.
Jujur, ada sedikit rasa bersalah juga penyesalan karena dulu dirinya telah berbuat hal yang tidak baik dan tak adil pada Moza. Sakha pikir setelah kepindahannya ke luar negeri, Sakha tak lagi perlu bertemu dengan gadis itu. Terlalu malu jika mengingat perlakuan buruknya kala itu. Sayangnya, semesta sengaja mempertemukannya lagi dengan Moza. Mungkin sebab dia harus menebus semua kesalahannya dulu. Mungkin saja begitu. Pikir Sakha lalu mendesah panjang.
Ponsel miliknya berdenting. Sebuah notifikasi pesan muncul di layarnya. Dari sang istri rupanya.
[Gimana hari pertamamu kerja di sana?]
Membaca sebentar. Lagi-lagi embusan napas keluar dari sela bibir pria itu. Dari kata-kata yang Zyzy kirimkan, seolah mengoloknya bahwa keputusan yang telah dia buat ini tepat.
Ya, Sakha memang harus membuat pilihan berat ketika memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Semua demi mamanya. Satu-satunya orangtua yang masih dia punya.
Memilih meninggalkan Zyzy yang jelas-jelas tak mau mengikutinya tinggal di Indonesia. Selama delapan tahun Sakha telah mengalah pada istrinya itu dan mengabaikan kesehatan sang mama.
Namun, apa yang Sakha dapat tak sebanding dengan pengorbanan serta perjuangannya.
Dengan malas pria itu membalas juga pesan yang istrinya kirimkan.
[Sangat menyenangkan.]
Send
Balasan singkat yang Sakha berikan, lalu tersenyum sinis masih dengan menatap layar ponselnya.
Dalam hati pria itu menggerutu. 'Kita lihat saja, Zy. Siapa yang akan mampu bertahan. Aku atau kamu.'
Menjatuhkan punggung pada sandaran kursi kerja. Memejamkan mata sebentar. Dia merasa seolah dipermainkan oleh kehidupan. Tak ada yang perlu dia sesali karena hidup harus tetap terus berjalan. Ada sang mama yang masih membutuhkannya. Jadi Sakha tetap harus berjuang meski hatinya terombang-ambing akan kehidupan rumah tangganya bersama Cheezy, wanita yang biasa dia panggil Zyzy.
Karena jam kerjanya untuk hari ini telah usai, Sakha putuskan untuk beranjak berdiri. Sebelumnya, dia lirik ponsel yang ternyata tak lagi ada balasan dari istrinya. Sakha melanjutkan langkah keluar dari ruang kerjanya.
Hari ini belum banyak yang harus dia kerjakan karena lebih banyak masih seputar pengenalan. Mulai dari karyawan, visit factory yang lokasinya di belakang gedung perkantoran tiga lantai ini juga pengenalan produk tentunya. Dan Sakha rasa, semua ini nantinya tak akan menjadi kendala besar karena selama ini Sakha memang sudah menggeluti bidang usaha yang sama. Jangan salah, ketika dia tinggal di luar negeri dulu, perusahaan ini sudah menjadi rekanan perusahaan yang dia pimpin. Ya, selama di negara tetangga, Sakha memang diberikan mandat oleh mertuanya untuk membawahi satu lini bisnis keluarga yang cukup besar dan terkenal.
Langkah kaki Sakha yang sampai di lobi kantor harus terhenti. Selain karena sapaan beberapa karyawan yang mulai hari ini menjadi bawahannya, netra Sakha juga tertarik pada sosok Moza yang ada di luar lobi tengah bersama seorang lelaki. Sakha tidak tahu apa hubungan Moza dengan lelaki itu. Mungkin saja Moza sudah menikah. Sakha tidak tahu. Semenjak bercerai, Sakha sama sekali menutup diri dari semua berita tentang Moza. Jadi dia sungguh tak tahu menahu perihal apa yang terjadi pada kehidupan Moza pasca bercerai darinya.