BAB 1
“Saya terima nikah dan kawinnya Moza __ Rella, binti Brahmantio dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dengan lantang, meski ada sedikit jeda saat mempelai pria menyebutkan nama lengkap pengantin perempuan.
“Sah”
“Sah”
“Sah”
Saling bersahut-sahutan kata-kata tersebut dilontarkan oleh para saksi pernikahan Sakha dengan Moza.
Prameswari, yang tak lain adalah ibunda dari sang mempelai pria yaitu Sakha Rahardian, mengembangkan senyumnya melihat putra tunggalnya pada akhirnya berhasil menikahi seorang gadis yang bernama Mozarella. Pernikahan wasiat dari almarhum suaminya agar Sakha menikahi anak perempuan dari sahabatnya yang bernama Bramantio.
Selisih usia di antara Sakha dengan Moza yang cukup jauh, sebenarnya telah ditentang keras oleh Sakha. Pria itu sebenarnya enggan jika harus menikahi gadis belia yang sama sekali tidak dia cintai.
"Ma, bagaimana dengan Zyzy jika aku menikahi wanita lain?" protes yang pernah Sakha dengungkan waktu itu saat sang mama menagih janji Sakha akan wasiat suaminya yang telah tiada.
"Tapi ini semua permintaan dari papamu, Sakha. Kamu sendiri yang menyanggupinya waktu itu."
"Aku hanya asal menjawab demi papa."
"Jika demi papa ... mama mohon, penuhi wasiat terakhir beliau, Sakha."
Sakha menekan dadanya yang terasa sesak. Dengan satu kali tarikan napas, pria itu pada akhirnya mengalah. "Baiklah, Ma. Aku akan menikahi Moza. Tapi aku tidak bisa janji bisa membahagiakan dia. Apalagi jika harus bertahan dalam pernikahan paksa tanpa cinta."
"Apa maksudmu, Sakha?"
"Demi memenuhi wasiat papa, aku akan menikahi Moza. Tapi jika suatu saat nanti aku tidak bisa menjalani pernikahan dengan baik, mama jangan melarangku untuk bercerai."
"Sakha! Pernikahan itu bukanlah mainan."
"Aku tahu, Ma. Dan ini sudah menjadi keputusanku."
Sakha tersentak kaget sebab sentuhan tangan sang mama. Pria itu malah sibuk melamun sejak tadi, di tengah acara yang masih berlangsung.
"Sakha, jangan ngelamun terus. Sana temui para tamu undangan yang telah hadir." Permintaan Prameswari, hanya diangguki kepala oleh Sakha. Pria itu pun mulai membaur bersama keluarga Moza dan juga para tamu yang hadir dalam pernikahan sederhana ini. Tamu yang kebanyakan dari keluarga besar saja karena dalam acara yang terbilang dadakan ini, tidak banyak mengundang tamu. Yang utama adalah Sakha dan Moza telah resmi menjadi pasangan suami istri.
***
Usai pernikahan keduanya selesai digelar, Sakha dengan berat hati harus membawa Moza ikut dengannya pulang ke rumahnya. Bagaimana pun juga keduanya telah resmi menikah.
“Sakha, Ayah titip Moza. Tolong jaga dia.“ Bramantyo yang tak lain adalah ayahanda dari Moza, sebenarnya merasa berat harus berpisah dari putrinya. Namun, beliau sadar jika tanggung jawab Moza untuk saat ini ada di tangan Sakha.
“Baik, Ayah,” jawab Sakha meski dalam hati ia tak bisa berjanji bahwa bisa menjaga Moza dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi Sakha tak ada pilihan lain lagi. Protes pun tak bisa ia lakukan. Hanya bisa menurut meski di dalam hatinya ia ingin berteriak sekencangnya dan mengatakan ia tak cinta dengan Moza melainkan ia cinta dengan seorang wanita yang merupakan kekasih hatinya. Ya, Sakha memang sudah memiliki seorang kekasih yang saat ini sedang tinggal dan menetap di luar negeri. Karena sebuah impian di mana yang membuat Cheezy, begitu nama yang disandang oleh kekasih hati Sakha, harus rela menjalani hubungan jarak jauh dengan Sakha. Menjadi seorang anak konglomerat menjadikan wanita itu harus siap mengemban bisnis keluarga dan sebelum perusahaan jatuh di tangannya, maka Cheezy harus memperdalam ilmunya dengan melanjutkan study ke luar negeri.
Sakha pun tak memberitahu kekasihnya jika dirinya telah resmi menikahi seorang wanita. Biarlah ini menjadi rahasianya saja. Karena suatu ketika Sakha yakin jika akan melepaskan Moza. Tak mungkin bisa menjalani rumah tangga yang tanpa landasan cinta. Bagi Sakha, yang penting ia telah menjalankan amanat almarhum papanya.
Lain halnya dengan sosok perempuan muda yang duduk di samping kemudi. Moza sempat mengalihkan pandangan menatap seorang lelaki yang resmi menikahinya. Lelaki bernama Sakha yang kini sedang fokus pada jalanan.
Moza tak berani mengeluarkan suara. Terlalu asing berada bersama pria tersebut. Bahkan Moza juga tak bisa menebak apakah pria yang sedang bersamanya ini adalah orang baik atau bukan. Karena status sebagai istri, dengan berat hati Moza harus mengikuti pria itu pindah ke kota. Demi mengejar mimpi dan cita-cita, Moza dipaksa menikah dengan pria yang baru dikenalnya asalkan sang ayah tetap membiarkan dia melanjutkan pendidikan sampai jenjang Sarjana. Tak mengapa jika ia harus menikah sebagai syarat asalkan ia bisa mengeyam pendidikan yang lebih tinggi dan kelak ia bisa lulus dan menjadi seorang Sarjana Tehnik. Cita-cita untuk menjadi seorang perancang bangunan tak akan pernah ia pupus begitu saja karena sejak ia kecil profesi itu adalah impiannya. Aneh memang, seorang wanita tapi memiliki cita-cita setinggi itu dan hanya dapat dijangkau oleh kaum pria lebih tepatnya.
***
Perjalanan yang mereka tempuh berakhir kala mobil tersebut berhenti di sebuah rumah yang berada di kawasan perumahan elit, berjarak beberapa kilo berada di pusat kota. Rumah dua lantai yang berdiri menjulang membuat Moza berdecak kagum, akan tetapi semua sirna kala suara berat sarat akan intimidasi dari Sakha mengejutkannya.
“Turun!”
Moza, jangan ditanya apa yang sedang ia rasa sekarang. Mulai bisa menebak akan apa yang akan ia lalui ke depan. Lelaki minim ekspresi yang hanya akan menjadi momok dalam kesehariannya kelak. Ya, meski Moza masih belia akan tetapi ia bisa juga berpikiran dewasa. Moza pun akan sangat mudah membedakan mana orang yang tulus bersikap baik kepadanya dengan orang yang munafik, di mana akan bersikap baik di depan, tapi bersikap buruk di belakang. Dan Sakha adalah orang itu. Wajah boleh tampan, tapi jika kelakuan minus sedemikian rupa, maka Moza tak akan bisa memilki cara untuk menyukai lelaki itu. Sial, sayang sekali karena pria itu adalah suaminya sekarang. Suami yang harus dia hormati keberadaannya dan entah sampai kapan Moza akan terperangkap dalam hubungan yang tidak ia inginkan bersama Sakha. Dalam hati Moza hanya berharap agar nantinya Sakha bisa memperlakukannya dengan lebih baik lagi.
“Hei! Aku bilang turun!” Lagi-lagi gadis itu terjengit kaget akan bentakan yang Sakha berikan. Di luar dari perkiraan Moza, di mana lelaki itu sangat kasar dan arogant. Sungguh bukan kemauan Moza jika selama beberapa waktu ke depan ia akan menjalani harinya bersama pria super menyebalkan dan keterlaluan semacam Sakha Rahardian.
Memasuki rumah dengan menyeret koper miliknya sendiri karena Sakha sama sekali tak ada niat untuk membantunya. Moza menghela napas panjang dan tak mau merepotkan siapa saja apalagi dengan meminta tolong pada lelaki itu untuk membantunya.
“Ini kamarmu. Kau bisa tinggal di sini dan menempati kamar ini. Tapi satu hal yang harus kau ingat. Jangan pernah mencampuri urusanku dan jangan pernah membuat keributan serta merepotkanku. Kau paham, kan, dengan apa yang aku maksudkan?”
Meski tidak seratus persen paham, rupanya Moza pun hanya menganggukkan kepala. Tidak ingin melihat Sakha semakin murka kepadanya. Cukup sudah kejutan yang Moza dapatkan hari ini. Kejutan yang sangat luar biasa ia dapat dari lelaki yang kini berstatus suaminya. Ah, ralat. Rupanya Sakha tak akan pernah menganggap dirinya adalah seorang istri. Mungkin lebih tepatnya seseorang yang menumpang di rumah lelaki itu. Lebih tepat untuk menggambarkan keberadaan Moza di tempat ini.
“Masuk dan simpan barang-barangmu di dalam. Jika kau mencariku, kamarku ada di belakang.” Tunjuk Sakha pada kamar pribadinya yang hanya terpisah dengan sebuah ruang keluarga dengan kamar milik Moza. Setelahnya Sakha meninggalkan Moza, begitu pun setelah kepergian Sakha bergegas Moza masuk ke dalam kamar miliknya. Menutup pintunya dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ia sangat lelah. Mungkin memejamkan mata sebentar tak ada salahnya.
Sementara itu di dalam kamarnya, Sakha tengah memukul meja yang berada di samping ranjangnya untuk melepaskan semua kekesalan yang sudah ia tahan. Di hadapan mamanya ia bisa saja bersikap biasa saja dan menuruti apa mau sang mama. Namun, di dalam lubuk hati terdalam ia merasa sangat bersalah pada kekasih hatinya. Bagaimana mungkin ia tega mengkhianati kekasih yang telah lama menjalin hubungan dengannya. Sakha tak mau menyakiti hati siapa pun juga. Ini semua ia lakukan demi almarhum papanya. Jika tidak karena alasan itu, ia pun tak akan pernah mau menurut pada apa yang mamanya inginkan. Menikahi gadis muda yang bahkan bisa ia katakan bocah ingusan karena usia gadis bernama Moza Rela itu masih sangat belia.