"Kapan Zyzy datang ke sini, Sakha?"
Kunyahan di dalam mulut Sakha terhenti mendengar tanya yang dilontarkan oleh Prameswari. Lelaki itu menghela napas pendek. Tak ingin menatap pada sang mama karena jelas Sakha tidak ingin jika Prameswari curiga atau terus menerus berharap bahwa menantunya akan datang. Nyatanya, Zyzy tetaplah Zyzy yang dengan sesuka hati akan bersikap. Tak peduli bahwa status mereka berdua masihlah suami istri. Yang seharusnya Zyzy bisa menghargai dia sebagai suami dan kepala rumah tangga. Namun, hingga detik ini pun tak ada kabar yang menyenangkan yang dapat Sakha dengar. Mungkin tentang sebuah berita yang mengatakan bahwa istrinya itu akan datang karena merindukannya.
"Mungkin dalam waktu dekat, Ma. Tapi ... Aku harap mama tidak terus menerus berharap bahwa Zyzy akan datang karena dia masih sangat sibuk dengan pekerjaannya."
Selalu seperti itu jawaban yang Prameswari dengar. Sampai wanita itu sudah bosan mendengarnya. Helaan napas berat terdengar di telinga Sakha. Dan dia tahu bahwa untuk kali sekian mamanya pasti kecewa.
"Kenapa sih Zyzy itu tidak mau mengalah sedikit pun denganmu. Tujuh tahun lebih kalian menikah. Tapi tetap saja begini-begini saja. Tak ada perkembangan. Andai saja Zyzy mau melahirkan seorang anak untukmu, pasti kamu tak akan merana seperti ini Sakha."
"Ma, Aku baik-baik saja. Sama sekali tidak merana atau semenyedihkan yang ada dalam pikiran Mama. Aku bahagia, Ma. Dan aku juga tak akan terlalu banyak menuntut pada Zyzy. Sudah menjadi komitmen ketika aku memutuskan menikahinya dulu. Jadi, tak akan ada yang berubah dari hubungan kami berdua."
"Mungkin kamu tidak masalah dengan itu semua karena yang Mama lihat selama ini bahwa kamu sudah dibutakan oleh cinta. Tapi mau sampai kapan kehidupan rumah tangga kalian akan seperti ini. Justru yang Mama lihat, pernikahan kalian berdua jauh dari kata harmonis."
"Ma ...." Jika Prameswari sudah berbicara yang mengarah pada kejelekan Zyzy, sudah pasti Sakha tidak pernah suka mendengarnya. Bagaimana pun Zyzy adalah istrinya. Wanita pilihannya sendiri yang tidak boleh dibuka kejelekannya. Meski dalam hati terkadang Sakha sendiri membenarkan akan perkataan sang mama.
"Maafkan Mama, Sakha. Mungkin mama hanya kasihan melihatmu. Lebih kasihan lagi jika Mama tak mampu berharap akan hadirnya penerus keluarga Rahardian. Mama hanya memiliki satu orang anak. Yaitu kamu. Jika kamu memang benar-benar tetap berada di kubu istrimu yang tidak menginginkan hadirnya sosok anak, maka kamu akan menjadi orang terakhir dalam silsilah keluarga kita."
Jika mamanya sudah melantur bicaranya ke mana-mana maka Sakha yang akan memilih mengalah. Tidak mau mengikuti kata hati untuk berdebat dengan Prameswari. Sakha tahu jika kondisi mamanya sangat rentan akan hal-hal yang hanya akan menjadi beban pikiran. Oleh sebab itulah, meletakkan sendok untuk mengakhiri sesi makannya adalah pilihan tepat untuk menghindari perbincangan dengan sang mama.
"Ma, aku minta maaf karena harus segera berangkat ke kantor. Karena masih menjabat sebagai direktur baru, jadi aku tak ingin terlambat. Sebagai atasan harus memberikan contoh yang baik buat para karyawannya bukan?"
"Tapi makananmu belum habis."
"Tidak apa, Ma. Aku sudah kenyang."
Sakha beranjak berdiri dari duduknya lalu menyalami punggung tangan mamanya.
Melihat punggung kokoh sang putra dengan tatapan nanar. Prameswari tahu jika Sakha menghindarinya dan tak ingin dicecar banyak hal. Sudah hafal sekali Prameswari dengan tabiat sang putra. Namun, mau sampai kapan Sakha dan Cheezy akan terus hidup seperti itu. Saling berjauhan dan saling tidak perduli satu dengan yang lainnya. Rumah tangga macam apa yang tengah dijalani oleh sang putra dan menantunya. Heran lagi, mereka berdua bisa bertahan hingga hampir delapan tahun lamanya berumah tangga. Haruskah Prameswari kembali diam dan memilih menjadi penonton saja tanpa mau repot-repot mendoktrin ini dan itu terutama pada Sakha. Ataukah dia harus melakukan sesuatu untuk kebahagiaan sang putra.
••••
Di rumah sewa yang sudah lebih dari dua tahun lamanya Moza tinggali. Gadis itu masih mematut dirinya di depan cermin setelah merias diri. Bukan riasan yang berlebihan. Namun, hanya riasan sederhana agar wajahnya tidak terlihat kucel, itu saja.
Masih teringat di dalam ingatan bagaimana semalam Edham yang hampir saja lepas kendali dengan rakus menciumnya. Sejujurnya, keintiman seperti cium pipi, pegangan tangan, sudah sering Moza dan Edham lakukan. Namun, jika ciuman bibir, selama masa mereka menjalin hubungan, hanya beberapa kali saja dilakukan itupun terkadang karena ketidak siapan atau saat Moza tidak menyadarinya. Moza memang berpegang teguh untuk tidak atau jangan sampai kebablasan dalam berhubungan sebab dia yang seoarang janda tidak ingin dipandang rendah oleh lelaki mana pun juga. Termasuk itu adalah sang kekasih, Edham Linggarjaya. Beruntungnya Edham tak pernah protes padanya. Tapi ya itu tadi, terkadang dengan nakal Edham justru mencuri-curi kesempatan yang Moza tak mampu mengelak.
Dirasa penampilannya sudah rapi, wanita itu meninggalkan meja rias. Meraih tas ransel yang cukup berat karena di dalamnya tak hanya berisi barang-barang pribadinya tapi juga ada laptop kerja yang sering dia bawa ke mana-mana. Memastikan sekali lagi kamar dalam keadaan bersih ketika dia tinggalkan.
Penuh semangat berjalan menuju pintu keluar dan napasnya tercekat karena sosok pria yang semalam sanggup membuat kinerja jantungnya jumpalitan, sudah berdiri sambil bersandar pada bodi mobil yang terparkir di depan pagar.
Entah kenapa mendadak Moza gugup hanya demi menatap mata Edham. Bahkan lelaki itu melemparkan senyuman untuknya.
"Pagi, Moz! Gimana tidurmu semalam? Nyenyak?" tanya Edham ketika pria itu berhasil mendekat dan mencondongkan wajah pada telinga Moza. Edham mengatakan itu menyerupai sebuah bisikan di telinga Moza.
Memaksakan senyuman meski sebenarnya dia sedang dilanda kepanikan. Edham pagi ini terlihat sedikit genit.
"Pagi juga, Mas. Tidurku setiap malam selalu nyenyak."
"Oh, ya?"
Moza menganggukkan kepalanya. "Ya."
"Kau tahu, Moz. Semalam justru aku kesusahan memejamkan mata."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena aku tidak sabar untuk segera melamarmu dan kita menikah."
Moza lagi-lagi tersenyum kikuk. "Mas!"
"Moz! Please. Jangan lagi mengelak. Aku sungguh serius dengan hubungan kita. Dan jika statusmu yang kau takutkan ... kamu tenang saja. Keluargaku pasti bisa menerimanya."
"Apa kamu yakin, Mas?"
Moza merasa tidak yakin dengan ucapan kekasihnya. Hati kecilnya merasa tidak enak saja acapkali ajakan menikah dilontarkan oleh sang kekasih.
"Minggu depan aku akan mengatakan pada papa dan mama mengenai rencanaku melamarmu. Jadi, kamu tenang saja. Semua pasti akan berjalan dengan lancar. Percaya padaku, Moz."
Lagi-lagi yang Moza bisa lakukan adalah memaksakan seulas senyuman demi menghargai ketulusan serta keseriusan Edham padanya.