Bab 8 - Kota yang Menakutkan

1663 Words
Bab 8 – Kota yang Menakutkan Rama dan Kiara duduk menikmati sore hingga langit berwarna oranye. “Sudah hampir malam, ayo kita pulang?” ajak Rama, berdiri menggenggam tangan Kiara dan menariknya agar berdiri, dengan sangat lembut. “Iya, kak. “ Kiara tersenyum. Rama selalu membuat hatinya tenang dan nyaman. Dia merasa tenang saat berada di samping Rama, tapi terkadang bayangan wajah Gio berkelebat di hadapannya. Rama sekilas mirip dengan Gio. Bedanya, Rama memiliki aura yang lembut menghanyutkan. Sedangkan, Gio memiliki aura dingin mencekam. “Huuh.” Kiara menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menghilangkan bayangan pria jahat itu. “Ada apa?” Rama menyadari, suara yang sedang gelisah. “Aku membayangkan wajah orang itu lagi!” wajahnya memucat. “Tenanglah, aku ada di sini.” Rama membelai lembut kepala Kiara, menggenggam tangannya erat. Membawanya menaiki mobil, untuk pulang. Kiara patuh kepada Rama, hatinya menghangat. Senyuman Rama yang lembut membuatnya tenang. Di sepanjang jalan, Rama melihat Kiara termenung. Hatinya mulai resah, takut beban pikiran Kiara akan membuat trauma psikisnya yang hampir seratus persen sembuh, menurun lagi. “Di depan ada pasar malam, mau lihat?” tanya Rama, dengan senyuman manisnya. “ Mau,” bola mata Kiara tampak berbinar, senang. “ Oke, kalau gitu kita mampir sebentar ya.” Menoleh sekilas ke arah Kiara, lalu kembali fokus ke depan. Dia lagi nyetir. “Iya.” Kiara mengangguk pelan. Rama melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju ke arah pasar malam. Hanya dalam sepuluh menit, Rama dan Kiara sampai di pasar malam. “Aku mau naik itu!” Kiara menunjuk kincir raksasa. “Boleh, yuk.” Rama menggenggam tangan Kiara dengan erat menuju tempat pembelian karcis untuk naik kincir raksasa itu. Setelah mengantre sebentar, mereka menaiki kincir raksasa itu. Mereka duduk saling berhadapan. Awalnya berputar lambat, lama-lama semakin cepat. Kiara tampak ketakutan. “Kamu bisa berteriak sesuka hatimu, ayo keluarkan semua emosimu biar plong.” Ucap Rama sambil tertawa. Kiara memejamkan matanya, tangannya memegang erat pada pegangan besi itu, tiba-tiba dia mengingat wajah pria yang sudah merudapaksanya dulu. Air matanya mulai menetes. Rama jadi khawatir melihatnya. Kiara mulai meluapkan segala emosinya, berteriak sekeras-kerasnya. “ Aaaaaaa, orang brengseek! Aku akan balas kamuuuu!” Rama tersenyum, dia kemudian ikut berteriak menemani Kiara. “Aaaaaa, aku mendukungmu Kiaraaaaa!” Mereka berteriak sampai suara mereka serak, tak peduli tatapan orang yang mencibir. Setelah turun dari kincir raksasa itu, mereka berdua tertawa puas. Ini kali pertamanya Kiara bisa tertawa lepas dalam empat tahun terakhir ini. Setelah itu, mereka naik biang lala. Mereka kembali berteriak dengan suara yang sekeras-kerasnya. Seperti halnya tadi, saat turun mereka tertawa kembali. Ah, rasanya hari ini sangat menyenangkan bagi Kiara. Bisa berteriak memaki orang yang sudah merusak hidupnya. Sehabis mencoba berbagai permainan, mereka membeli permen kapas dan memakannya sambil duduk di pinggiran jalan. Begitu menyenangkan, berbaur dengan rakyat jelata. Satu hal yang tidak pernah Rama lakukan selama ini, karena Rama adalah keturunan miliuner. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, dengan cepat Rama membawa Kiara pulang. “Ibu sama bapakmu pasti marah Ki.” Rama mengesah. “Em, pasti marah.” Kiara kembali sedikit bicara. “Kamu harus sering meluapkan perasaanmu, supaya hati kamu lega.” Rama melirik ke arah Kiara sekilas. Kiara tersenyum. “Aku sudah menemukan caranya, agar perasaanku lega,” jawab Kiara. “Hahah, berteriak?” Rama bertanya sambil tertawa. “Em, benar. Berteriak.” Kiara tersenyum malu. “Kalau begitu nanti di kota A, aku bakalan sering ngajakin kamu naik roller coaster. Mau?” Rama kembali meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke depan. “Ehm, mau.” Kiara menjawab pendek-pendek, karena mulai mengantuk. “Hoamm.” Kiara menguap. “Kamu ngantuk?” Rama bertanya yang tidak perlu sebenarnya. “Em, sangat ngantuk.” Kiara menjawab, sambil menutup mulutnya yang kembali menguap dengan menggunakan kedua telapak tangannya. “Tidurlah, nanti kalau sudah sampai rumah, kakak bangunkan,” ucap Rama dengan suara yang lembut. Kemudian, dia menepikan dulu mobilnya. Tangannya segera mengatur jok tempat duduk Kiara, agar lebih turun supaya lebih nyaman untuk tidur Kiara. Kiara segera menyenderkan tubuhnya dengan nyaman, memejamkan matanya, hingga ia terlelap. Rama tersenyum hangat, tangannya terangkat ingin menyentuh kepala Kiara. Tapi urung, dia takut Kiara tidak nyaman dan berprasangka dirinya hendak berbuat m***m. Rama kembali melajukan mobilnya menuju ke rumah Kiara. Tiga puluh menit berlalu, akhirnya mereka sampai di rumah. Di teras, Ayah, ibu dan Adnan sudah menanti dengan wajah cemas. Terlebih, Kiara yang pernah mengalami pelecehan, hingga trauma mendalam. Membuat keluarga semakin resah. Meski pergi bersama dokter Rama yang sudah mereka kenal selama lebih dari setahun ini, tetap saja mereka takut. Kejahatan tidak pandang bulu, dan bisa datang dari siapa dan mana saja. Rama segera membangunkan Kiara dengan lembut. “Kia, sudah sampai.” Dia mengguncang- guncang lengan Kiara pelan. Kiara menggeliat, lalu membuka matanya. “ Sampai?” Kiara mengucek matanya pelan. “Iya, tuh liat sudah tungguin dengan wajah menyeramkan,” canda Rama. Kiara tersenyum kecut. Dengan cepat dia turun dari mobil dan berlari ke arah keluarganya. “Kiaaa, kenapa jam segini baru pulang? Kamu gak apa-apa kan?” Ibu memeluk Kiara dengan erat, memeriksa dengan teliti dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Kiara menggelengkan kepalanya. “ Gak apa-apa, mah,” tersenyum geli, bergelayut di lengan ibunya itu. “Pah, kak. Maaf aku kemalaman.” Kiara menyesali perbuatannya. Ayah Kiara tak bisa marah, dia takut berdampak pada kesehatan putrinya yang baru sembuh itu. “Gak apa Kia. Lain kali jangan di ulangi, ya.” Ayahnya membelai kepalanya dengan lembut. “Masuklah dan segera tidur,” ucap Ayah kembali dengan lembut. Kiara mengangguk paham, lalu masuk bersama ibu. Rama masih mematung, setelah Kiara dan ibu masuk ke dalam, dia segera berbicara kepada Pak Darma dan Adnan. “Pah, kak. Saya mohon maaf kemalaman. Tadi, saya mengajak Kiara mampir ke pasar malam. Dia sangat antusias dan bisa melepaskan bebannya di sana.” Rama berkata dengan nada suara yang lembut dan sopan. “Duduklah!” Pak Darma menunjuk ke kursi rotan yang ada di teras, tanpa merespons perkataan Rama. Mereka bertiga pun duduk bersama, untuk mengobrol sebentar. “ Aku tau kamu dokternya Kiara, tapi tetap saja aku gak suka kamu mengajak dia lama-lama!” Adnan berkata dengan ketus. “Maafkan saya kak,” ucap Rama penuh sesal. “Lagakmu, sudah seperti bukan dokter Kiara saja. Tapi, seperti calon adik iparku!” cibir Adnan, dengan senyuman miring dari sudut bibirnya. Rama hanya diam, tak mau mendebat. “Iya benar, dokter Rama gak boleh bawa anak gadis sampai larut malam seperti ini.” Pak Darma masih berkata dengan intonasi yang biasa. “Sekali lagi saya minta maaf. Tapi tadi.... bla bla bla.” Rama pun mulai menceritakan dari awal pergi sampai berakhir di pasar malam. “Saya senang mendengar anak saya bisa lebih terbuka dan mulai mau bersosialisasi lagi, tapi kedepannya tetap saja ada batasan waktu,” ucap Pak Darma dengan nada sedikit menunjukkan rasa kesal. “Bener kata bapak, dan ingat jangan sampai kamu mengambil kesempatan di dalam kepolosan adikku itu.” Adnan mulai berkata dengan gusar. “Saya tidak seperti itu, kak.” Rama sedikit tidak suka mendengar perkataan Adnan. Diam-diam, Kiara dan ibunya mengintip dari balik tirai kaca depan rumahnya, yang tepat di belakang kursi tempat mereka duduk. Mereka ingin tau isi pembicaraan para pria itu. “Ayo minta kan ijin untuk aku ikut, Kak Rama,” dalam hati Kiara. Kiara semakin gelisah, karena Rama sama sekali tidak membahas tentang kepulangannya ke kota A, dan minta izin agar dirinya boleh ikut. “Brakkk!” Kiara membuka pintu. Bu Maya mengikutinya dengan kikuk. Ketiga pria menoleh ke arah mereka. “Ayah, boleh aku ikut Kak Rama ke kota A?” tanya Kiara dengan menggebu dan penuh harap. Dia sudah tak tahan, karena Rama masih belum juga mengatakan hal itu kepada Ayahnya. Ayahnya tercengang, matanya menatap Kiara tak percaya. Lalu gantian menatap Rama. “Glek.” Rama menelan salivanya kuat, meski serasa kepayahan. Tak percaya, Kiara bisa mengatakan hal itu, sementara dirinya dari tadi masih mencari jalan untuk mengatakannya. Ayah dan Adnan saling tatap, lalu menoleh ke arah ibu. Ibu geleng-geleng kepala tanda tidak tau. Terakhir menatap ke arah Rama. Rama tersenyum canggung. “Em, besok saya akan pulang ke kota A. Pekerjaan saya di sana untuk mengelola rumah sakit, dan harus secepatnya saya jalankan. Maaf.” Rama tersenyum hangat, namun tampak kikuk. “Saya tidak tanya tentang kamu, tapi kenapa adik saya ingin ikut? Apa kamu memprovokasinya?” Adnan merasa geram. “Tidak begitu kak, aku tidak mau jauh dari dokter Rama,” terdengar suara Kiara yang merengek. “Emm.” Rama menggusar wajahnya kasar. “Kia, apa yang kamu katakan sayang. Bukankah kota itu kota yang sangat menakutkan untukmu.” Ayah berbicara dengan lembut. “Ada kak Rama yang akan menjagaku, yah,” ucap Kiara dengan mengiba. Ayah mengesah. Matanya menatap ke arah Rama. “Biarkan ayah berpikir dulu Kia, kamu tidur saja dulu,” ucap Pak Darma. Kiara pun akhirnya masuk ke dalam kamar di antar ibu, dengan hati dongkol karena belum tau keputusan ayahnya. “dokter Rama, kamu memang baik. Sehingga membuat Kiara bisa sembuh dan terikat dengan kamu. Tapi...” Rama dan Adnan diam tanpa berkomentar. Mereka menatap lekat Pak Darma. Pak Darma berusaha menenangkan emosinya terlebih dahulu, barulah dia melanjutkan perkataannya. “ Tapi, untuk membawa Kiara ke kota bersamamu, saya tidak bisa mengizinkannya kecuali...” suara Pak Darma mulai tercekat. “Kecuali apa Pak?” Rama menatap penuh penasaran. “ Ekhm, kecuali kamu menikahinya,” setelah berdehem untuk mengusir rasa tak nyaman, barulah Pak Darma mengeluarkan kata-kata. Suara Pak Darma sedikit serak, menahan gejolak di dadanya yang bergemuruh hebat. Adnan menatap ayahnya tak percaya. Sedangkan Rama sangat terkejut, dia tampak sedang berpikir keras. Negara X “Jo, pesankan tiket pesawat sekarang juga. Aku ingin besok sudah tiba di sana.” Gio duduk santai di sofa sambil meneguk minuman bersoda yang warnanya putih itu. “Baik tuan, tapi kenapa mendadak pulang?” “Bukankah kamu yang lebih tau!” Gio mengesah kesal. “Tentu. “ Jo menyeringai, lalu segera membuat pesanan tiket pesawat terbang untuk pulang ke tanah air malam ini juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD