Bab 9 - Selamat Datang Kota Menakutkan

1707 Words
Bab 9 – Selamat Datang Kota Menakutkan Gio berdiri berjalan menuju ke balkon menatap ke angkasa. Hatinya begitu sepi dan dingin semenjak kekecewaan yang begitu besar atas perbuatan Selena. Wajah tampan, dingin dan angkuhnya tampak sendu. Jo hanya bisa mengesah melihat bosnya, karena setiap ada kesempatan, dia hanya menatap angkasa dari balkon. Malamnya “Tuan, ayo kita berangkat semua sudah beres.” Jo berkata dengan sopan. Tanpa menjawabnya, Gio berjalan meninggalkan Jo lebih dulu menuju ke tempat parkir. Mereka sudah duduk di dalam mobil, Jo mengendarainya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan apartemen mewah di negara X. Setelah menempuh perjalanan hampir lima belas jam, mereka pun sampai di bandara tanah air. Di tempat lainnya. “Bagai mana apa kamu mau menikahi Kiara?” Pak Darma kembali bertanya. “Saya akan menikahi Kiara, saya akan membawanya ke kota A. Tapi, tidak bisa secepat ini. Bukankah restu orang tua juga diperlukan.” “Saya harus berbicara kepada keluarga saya dulu, mohon bapak mengerti.” Rama berkata dengan sopannya. “Saya percaya sama kamu, Nak Rama. Tapi, Kiara adalah gadis. Terlebih kepahitan yang pernah dialaminya, kami takut.” Pak Darma mengesah, dahinya tampak berkerut. “Saya akan mengikatnya dalam tali pertunangan dulu, bagaimana?” Rama melanjutkan perkataannya dengan sopan. “Apa kamu yakin mau menikahi Kiara, dia itu sudah pernah dilecehkan,” ucap Adnan ragu. “Saya yakin.” Rama berkata dengan tegas. “Tapi, kalau hanya karena rasa kasihan, saya tidak rela kamu menikahinya,” ucapan Adnan kembali menusuk jantung Rama. Rama mengembuskan napas pelan. “Saya menyukai dia seperti seorang pria kepada wanita, entah kapan rasa itu datang. Tapi, saya yakin dengan hati saya. Dan itu bukan karena rasa kasihan,” Rama meyakinkan Adnan. “Izinkan saya membawanya ke kota A, nanti di sana, saya akan mengenalkannya kepada orang tua saya dan setelah itu saya akan segera menikahinya,” lanjut Rama. Pak Darma manggut-manggut. Adnan masih sedikit ragu sebenarnya. “Nan, panggil Kia kemari,” ucap Pak Darma kepada Adnan. Adnan segera berdiri menuju pintu. Baru juga dia berdiri di depan pintu, pintu langsung dibuka dari dalam. Tampak Kiara dan ibu yang sudah berdiri di hadapannya. “Kalian pasti menguping kan?” Andan tersenyum miring. Ibu dan Kiara tersenyum malu. Mereka, kembali berkumpul di teras. Duduk di kursi rotan. “Yah, apa tidak sebaiknya bicara di dalam saja.” Bu Maya berbisik kepada Pak Darma. “Iya juga, mah,” jawab Pak Darma. “Nak Rama, kita lanjutkan di dalam.” Pak Darma berdiri terlebih dulu, melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu. Yang lainnya mengekori dari belakang. Mereka sudah berkumpul di ruang tamu. “Kia, bagaimana? Apa kamu bersedia jadi istri Rama?” tanya Pak Darma. Matanya lekat menatap Kiara dengan lembut. Kiara mengedarkan pandangannya, menatap satu demi satu anggota keluarganya. Mulai dari ayahnya, kakaknya, ibunya dan berakhir pada Rama. Ada rasa bahagia di sana, tapi bayangan wajah seseorang tiba-tiba berkelebat di benaknya. Kiara menggelengkan kepalanya dengan kuat. “Kia ada apa?” Rama menatapnya khawatir. Ibu segera menghampiri Kiara dan duduk di sampingnya. Merengkuh tubuh Kiara dengan lembutnya. “Kalau kamu gak mau, ya gak usah. Kami nggak maksa kok.” Ibunya membelai kepalanya lembut. “Bu bukan itu Bu. Aku mau kok, aku mau. Dan aku mau ikut Kak Rama ke kota A.” Kiara berkata dengan yakin. “Kamu yakin?” tanya Ayah, dengan tatapan lekat dan penuh selidik. “Ini menyangkut kehidupanmu kedepannya, Kia. Jangan gegabah!” Adnan berkata dengan tegas dan dingin. Kiara menatap Adnan sedikit takut, lalu menatap Rama. Rama balas menatapnya dengan lembut. Ada keyakinan yang besar di hati Kiara untuk Rama. “Kia, yakin. Kak Rama orang yang sangat baik. Kia menyukai kak Rama.” Kiara menjawab dengan malu-malu, pipinya sampai merah merona. Setahun lebih bersama Rama, dia merasa sangat nyaman, yang dia artikan dengan rasa cinta. Padahal belum tentu itu cinta! Selain sebagai dokter yang profesional mengobatinya, sikap Rama memang berbeda kepada Kiara. Rama menunjukkan perhatian yang lebih. Dia memperhatikan Kiara secara pribadi, awalnya dari rasa iba, hingga berakhir cinta. “Menurut Nak Rama bagaimana? Apa pergi ke kota A, tidak akan membuat Kiara teringat masa pahit itu? Dan apa Nak Rama bisa menjamin keamanannya?” ujar Pak Darma, yang tampak resah. “Justru itu, saya ingin menghilangkan traumanya secara menyeluruh dengan cara memberikan terapi di tempat kejadian,” sahut Rama. “Kita akan lihat bagaimana perkembangannya, apakah Kiara akan bisa mengatasi ketakutannya itu atau tidak,” jawab Rama. Setelah perbincangan yang cukup lama, akhirnya mereka sepakat untuk mengizinkan Kiara ikut untuk menjalani terapi di kota A, dengan syarat Rama mengikatnya dalam suatu hubungan yang jelas. Bukan tanpa alasan Pak Darma melakukan itu. Dia sudah sering melihat mereka begitu dekat. Apalagi Rama, sepertinya pria itu sering berusaha memeluk Kiara untuk menenangkan hati Kiara. Ditambah, Kiara yang terlihat begitu nyaman di dekat Rama. Pak Darma dan Bu Maya sangat menyukai Rama sebenarnya, pria itu begitu baik dan sopan. Juga seorang dokter yang bisa mengobati psikis putrinya. Adnan sangat ingin mendampingi adiknya, tapi pekerjaannya ada di sini, di kota ini. Dan tak bisa ditinggalkan begitu saja. Rama akhirnya menghubungi keluarganya, mengatakan akan pulang sore hari. Tidak lupa mengatakan akan melamar pacarnya dulu. Rama dalam sambungan telepon bersama mamanya. “Mam, aku nanti pulang bawa calon menantu.” Rama berkata dengan semringah. “Ah, yang bener Ram?” Mamanya juga tampak heboh. “Beneran, hari ini aku akan lamar dia dulu, supaya bisa aku ajak ke kota A.” Rama menjawab. “Apa? Lamaran itu kan harusnya sama keluarga,” terdengar nada kesal dari suara mamanya. “Iya, nanti kita bisa ulangi lamaran resminya,” ucap Rama. “Oke, nanti mama mau bicara banyak sama kamu di rumah.” Mama menyahuti. “Kak Gio masih di luar negeri?” tanya Rama. “Katanya, hari ini dia akan sampai di sini. Kakakmu itu, mamah sampai kesal. Selama empat tahun tidak pernah mau pulang, huh. Tapi syukurlah akhirnya hari ini dia mau pulang juga.” Mama menggerutu. Mereka pun mengobrol cukup lama di telepon. Pagi ini Rama benar-benar datang ke rumah Kiara bersama Aisyah. Membawa sebuah cincin, sebagai bukti pengikat hubungannya dengan Kiara. Selama acara, Adnan dan Aisyah saling curi-curi pandang. Dan sesekali saling lempar senyum. Acara hanya di hadiri keluarga Kiara ditambah saudara Pak Darma yang rumahnya kebetulan dekat dengan mereka. Cincin tanda pengikat hubungan mereka sudah tersemat di jari manis mereka masing-masing. Untuk pernikahan, mereka akan membahasnya lagi setelah ini. “Bapak tidak usah khawatir, kami tidak akan tinggal satu kamar kok,” kekeh Rama, yang paham kecemasan mertuanya. “Artinya kalian akan tinggal satu rumah?” tanya bapak sedikit bimbang. “Bisa saja beda tempat tinggal, tapi apa Kiara mau? Dia pasti akan merasa tidak nyaman, apalagi di kota asing sendirian.” Rama berusaha meyakinkan keluarga Kiara. “Saya akan memastikan, tidak akan menyentuh Kiara sebelum halal,” lanjut Rama. Akhirnya semua mempercayai Rama. Mereka setuju. Perjalanan Rama dan Kiara berangkat usai acara lamaran. Perjalanan lumayan jauh menempuh waktu lebih dari empat jam, menuju kota A tempat tinggal Rama. “Jangan tegang begitu, kamu tenang aja ada aku di sini.” Rama berkata tanpa menoleh, dia sedang fokus nyetir. “Iya, terima kasih kak. Kakak, udah menjadi dewa penolongku,” mata Kiara berkaca-kaca. “Jangan bicara begitu, aku tulus menyayangimu.” Rama melirik sekilas dengan seulas senyuman lembut, lalu fokus kembali nyetir. Senyuman manis mengembang dari bibir merah muda Kiara. Dia merasa di cintai. Di perjalanan, mereka mampir dulu ke rumah makan. Untuk mengganjal perut yang terasa lapar, karena perjalanan yang cukup jauh. Sekitar jam empat sore mereka tiba di sebuah apartemen mewah. Apartemen tempat tinggal Rama selama di kota A, sebelum ia pergi ke kota dimana Kiara tinggal. Tempatnya rapi dan bersih, karena setiap hari memang ada yang bertugas untuk membersihkannya. “Kamu tidur di kamar yang ini, dan aku yang itu,” tunjuk Rama. Kiara mengangguk. “Kakak, tidak tinggal di rumah Mamanya?” tanya Kiara, sambil mengedarkan pandangannya. “Enggak, semenjak kuliah. Kakak, tinggal di sini, karena selain dekat kampus, Kakak lebih suka menyendiri. Lebih nyaman,” ucap Rama, dia mulai mengeret koper Kiara dan meletakkannya di dalam kamar yang akan Kiara tinggali. Kiara mengekorinya. Setelah itu, Kiara mulai merapikan barang- barangnya. Rama mengeret koper miliknya ke dalam kamarnya sendiri. Lalu, dia merebahkan diri di atas tempat tidur, hingga tanpa sadar mulai terlelap. Mungkin karena capek. “Selamat datang kembali kota A, kota yang menakutkan! Yang menorehkan kepedihan di jiwa dan ragaku.” Kiara memejamkan matanya sejenak. Tiba-tiba saja wajah itu kembali berkelebat di benaknya. Dengan cepat dia mengusir wajah itu dari pikirannya. “Apakah aku akan bertemu orang itu lagi? Semoga saja tidak,” pikirnya, dengan seribu kecemasan. Kiara berjalan memasuki kamar mandi, menyalakan keran air dingin, mengisikannya ke bathub. Setelah cukup, Kiara segera mematikan keran. Mulai membuka pakaiannya, dan merendam diri untuk mengusir lelah dan juga pikirannya yang masih sering di hantui wajah pria b******k yang membuatnya trauma. “Um, segarnya,” gumam Kiara dalam bathub. Sementara itu Gio yang sudah sampai di tanah air. Dia sudah duduk di dalam mobil bersama dengan Jo. Tadi sopir suruhan mamanya sudah datang menjemput. “Kita mau ke mana? Apartemen atau rumah nyonya besar?” tanya Jo. “Apartemen?” Gio menjawab dengan nada dingin. “Baiklah,” jawab Jo. “Apartemen Rama, aku ingin ketemu adik ku dulu, entah kenapa. Tapi, sepertinya aku rindu pada adikku yang katanya sudah jadi dokter sukses itu,” bibirnya tersenyum tipis. “Pak sopir ke apartemen Tuan Rama!” Jo kemudian memberi perintah kepada Pak sopir. “Baik tuan.” Sopir pun melajukan kendaraannya menuju apartemen Rama. Dia sudah tau alamat apartemen Rama, karena sudah sering pergi ke sana untuk sekedar mengantar nyonya besar, ibunya Gio dan Rama, saat ingin bertemu dengan putra bungsunya itu. Mobil yang membawa Gio dan Jo, kini sudah sampai di depan apartemen Rama. “Jo, kamu boleh pulang. Aku akan menginap di sini malam ini. Besok pagi jemput aku, ambil mobilku di rumah mama,” perintah Gio. “Baik tuan.” Jo segera pergi ke rumah nyonya besar, untuk mengambil mobil Gio, bersama Pak sopir. Setelah itu, dia pulang ke rumahnya menggunakan mobil Gio. Sementara itu, kini Gio sudah berdiri di depan pintu apartemen milik Rama. Berdiri dengan angkuhnya, raut dingin dan datar tak lepas dari sosoknya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD